Wanita dalam Pandangan Islam dan Feminisme
Feminisme Salah Arah
Feminisme rasanya tidak asing lagi di telinga kita. Adalah gerakan yang diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi keperempuanan. Kartini -pahlawan Indonesia-red- biasa menyebutnya dengan Emansipasi. Pada awalnya feminisme bangkit untuk membela para wanita dari ketertindasan serta menuntut penyerataan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang.
Tapi kemudian Feminisme, yang semula lahir sebagai gerakan yang membela kaum wanita dalam meningkatkan harga diri wanita yang ingin dinilai sesuai dengan potensinya sebagai manusia tanpa harus memandang gender, kemudian mulai disalahartikan. Ingin menaikan harga diri tapi malah menjatuhkan (harga) diri sendiri.
Feminisme kemudian disalahartikan oleh kaum wanita itu sendiri. Banyak wanita yang menjadi korban salah kaprah ini. Ironis sekali, Feminisme yang katanya ingin memuliakan wanita kemudian berubah menjadi kemerosotan harga diri seorang wanita, yang lucunya -namun juga menyedihkan– si wanita itu sendiri tidak menyadarinya. Menyadari bahwa ia telah menjatuhkan harga dirinya.
Contohnya di Indonesia sendiri. Virginitas bagi sebagian wanita Indonesia, sekarang bukanlah suatu hal yang patut dipertahankan lagi. Seorang wanita yang ditanya apa yang menyebabkan wanita tak perlu lagi mempertahankan keperawanannya, ia menjawab “Kalau pria saja bisa mengobral ke-virgin-annya (keperjakaan), mengapa kita harus menjaganya? Saat kita mulai menjalani hubungan itu (pacaran), kita gak pernah tau apakah dia masih (perjaka) atau gak. Lagian bukan suatu hal yang aneh lagi jika di zaman sekarang ini banyak cewek yang gak virgin lagi”. Na’udzubillah. Benarkah jawaban atas semua itu adalah zaman semata?
Sebodoh itukah wanita-wanita sekarang? “Feminisme” telah menutup mata hati mereka untuk melihat kerugian yang mereka alami. Sebodoh itukah? Padahal banyak diantara mereka yang mengeyam pendidikan dan pengajaran.
Sering alasan yang ditampilkan aktivis persamaan gender hanya itu-itu saja, contohnya: persamaan dalam hak pekerjaan. Mereka memaksa wanita untuk bekerja sebagaimana laki-laki. Kewajiban untuk mencari nafkah pun diserahkan pada wanita. Padahal secara alami ini menyalahi tabiat mereka.
Menurut August Count, “Lelaki wajib memberikan nafkah kepada wanita. Inilah tabiat (alami) bagi manusia. Dia merupakan hukum yang sesuai dengan kehidupan asli sebagai manusia yang tercinta (wanita). “Pemaksaan” ini merupakan suatu hal yang menyerupai pemaksaan atas kelompok pekerja (laki-laki) agar member nafkah kepada kelompok pemikir, agar para pemikir itu dapat lebih konsentrasi pada tugas-tugasnya. Hanya saja, “pemaksaan” atas manusia pekerja (laki-laki) kepada manusia tercinta (wanita) itu merupakan pemaksaan yang suci, sebagai konsekuensi atas tugas wanita, yaitu wajib atasnya untuk menunaikan kehidupan rumah tangga”
Dari dulu para aktivis gender selalu berteriak “Persamaan Hak dan Kewajiban” seolah-olah dengan tinggalnya wanita di rumah, mengurusi dan mendidik anak-anak mereka dengan baik merupakan pengebirian terhadap hak wanita. Tapi pernahkah kita mendengar suara mereka akan saudari-saudari mereka yang diperjualbelikan layaknya barang komoditas lewat jalur prostitusi? Mana suara mereka untuk menutup tempat-tempat hiburan dan klub-klub di mana wanita dihargai hanya dengan beberapa lembar uang! Itukah keberhasilan atau itukah tujuan mereka?
Apakah para “pejuang” ini tidak sadar bahwa mereka diperalat oleh sekelompok orang yang mengeruk keuntungan dari bisnis “gender” ini?
Tidakkah mereka melihat berapa banyak korban akibat mereka telah “menyeret” wanita untuk keluar dari rumahnya dan bekerja seperti laki-laki? Contoh yang paling nyata adalah pelecehan bahkan pembunuhan terhadap TKW yang marak akhir-akhir ini. Ini sebagai akibat karena mereka bekerja jauh dari keluarga dan perlindungan walinya.
Bolehkah wanita Bekerja di Luar Rumah?
Sesungguhnya Islam yang memuliakan wanita dengan sebaik-baiknya, membolehkannya untuk melakukan pekerjaan mulia di dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Hal ini agar ia menjadi unsur penting yang berkiprah aktif dalam membangun keluarga, umat, dan negara muslim. Dengan demikian, Islam tidak secara mutlak melarang wanita untuk bekerja. Akan tetapi Islam memberikan ketentuan jenis pekerjaan yang sesuai dengan tabiat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan untuknya.
Menurut Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah syarat-syarat yang akan menjaga kehormatan wanita jika bekerja di luar rumah:
1. Hendaknya di dalam kerjanya itu tidak terjadi ikhtilat (bercampur baur) antara pria dan wanita. Karena ikhtilat ini akan membahayakan pria dan wanita itu sendiri.
2. Hendaknya pekerjaan itu disertai dengan persetujuan suami, ayah, saudara laki-laki atau orang yang bertanggung jawab terhadap urusannya.
3. Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan sifat/tabiatnya dan tidak sampai membuatnya begitu kelelaham dan kesulitan.
4. Hendaknya seorang wanita bekerja di medan-medan yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat, seperti:
- Lapangan pendidikan dan pengajaran, agar anak-anak perempuan dapat diajar oleh guru wanhta dan tidak oleh guru pria.
- Lapangan pengobatan dan keperawatan, agar kaum wanita diobati atau dirawat juga oleh wanita, tidak oleh pria.
- Pembuatan busana wanita, agar para wanitalah yang membuatkan busana untuk kalangan mereka. Sehingga mereka tidak perlu pergi kepada pembuat busana dari kalangan pria.
5. Hendaknya pekerjaan tersebut tidak menyita sebagian besar waktunya. Sehingga ia dapat menyisihkan waktu untuk menunaikan kewajiban-kewajiban rumah tangga, melayani suami dan memperhatikan pendidikan anak-anak.
6. Hendaknya ia tidak berhias ketika keluar rumah. Juga tidak menggunakan bedak wajah dan parfum. Akan tetapi ia mengenakan jilbab yang panjang dan lebar. Dan kalau perlu ia menutup wajah saat berhadapan dengan laki-laki non mahram.
Keistimewaan Wanita dalam Islam
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki” (H.R. Ibnu Majah, Imam Ahmad, Abu Dawud). Betapa kita harus ingat bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah manusia yang bertakwa. Ibadah dan ketakwaanlah yang membuat mulianya manusia di hadapan Allah Azza Wa Jalla, bukan karena seorang pria atau wanita, bukan karena pangkat jabatan, juga bukan karena rupa penampilannya. Wanita punya hak dan kewajiban untuk bertakwa dan beribadah, biarpun “siklus bulanan” datang tetapi yang namanya Ibadah dan takwa tidak semerta-merta libur, masih bisa bertakwa dan beribadah dalam bentuk lain.
Betapa Shahabiyyat pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa gelisah dan khawatir karena kaum wanita tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha sampai menanyakan hal ini langsung kepada beliau. Sampai akhirnya beliau bersabda di mimbar masjid, yang didengarkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dari dalam rumahnya:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab (33) : 35)
Turunnya ayat ini akhirnya menjawab kekhawatiran dan kegelisahan kaum wanita, tentang derajat dan kedudukan wanita dalam Al-Qur’an. Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam usaha mencapai derajat mulia di hadapan Rabb-Nya, serta dalam memperoleh pahala serta ampunan-Nya. Wanita pun tetap punya hak dan kewajiban harus menjalankan 5 Rukun Islam dan mengimani 6 Rukun keimanan.
Dalam berumah tangga. Hak dan kewajiban dalam hal mengasuh dan mendidik anak juga sama, biarpun dalam porsi berbeda.
Sadarkah para wanita diberi keistimewaan dan kebahagiaan yang tidak akan pernah dimiliki oleh kaum pria jika Ikhlas mengharap Ridha-Nya dalam menjalaninya? Diantara keistimewaan tersebut adalah mengandung, menyusui dan saat dipanggil Ibu, Mama, atau Ummi oleh anak-anaknya.
Laki-laki bisa saja mengerjakan semua yang biasa dikerjakan wanita rumah tangga. Masak, menyuci, menyetrika pakaian dan pekerjaan rumah tangga lainnya, namun ia tetap tidak bisa melakukan pekerjaan istimewa yang bisa membuat wanita (khususnya kaum Ibu) sampai derajatnya 3 tingkat di atas kaum Ayah. wallahu a’lam. (ZL)
Dari berbagai sumber
——————————
Anda punya tulisan berupa artikel, opini ataupun kisah nyata yang ingin dipublikasikan di website ini? Silahkan kirim ke admin [at] wahdahmakassar.org