Oleh: Ustadz Aswanto Muhammad Takwi, Lc.
Terkadang kita dengarkan terjadi perceraian diakibatkan perkara sepele, misalnya karena si istri tidak menyiapkan makan siang, tidak mencuci atau menyeterika pakaian suami, tidak menjaga kebersihan rumah dan semisalnya. Alasan sang suami mengambil keputusan itu karena sang istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Namun muncul tanda tanya, apakah benar hal tersebut menjadi kewajiban sang istri menurut tinjauan syariat? Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab. Dalam buku “almausu’ahalfiqhiyahalkuwaitiyah (ensiklopedi fikih kuwait)”[1]disebutkan bahwa ulama berselisih, apakah wajib bagi sang istri untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga atau tidak?.
Pendapat pertama: pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hambali dan sebagian Maliki memandang hal itu tidak wajib, hanya saja sebaiknya sang istri mengerjakan apa yang biasanya dikerjakan oleh ibu rumah tangga. Dasarnya adalah bahwa konsekuensi dari akad nikah tidak lebih dari sekedar menikmatiistri dan suami berkewajiban memberikan nafkah terhadap istri yang mencakup pakaian, makanan dan tempat tinggal. Adapun tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, ketika dikerjakan oleh sang istri maka itu dikerjakan hanya secara sukarela dan bukan kewajiban.
Pendapat kedua:Sebagian ulama dari kalangan mazhab Hanafi memandang wajib bagi istri untuk memberikan pelayanan (secara mutlak) untuk suaminya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallammembagi tugas kepada Ali dan Fatimah –radhiyallahu’anhuma-, kepada Fatimah diharuskan melaksanakan pekerjaan rumah dan kepada Ali diharuskan bekerja di luar rumah mencari nafkah dan kebutuhan rumah tangga.
Pendapat ketiga: mengambil jalan tengah, yaitu istri wajib menjalankan pekerjaan rumah yang lazim dikerjakan oleh istri dalam rumah, berdasarkan perintah Rasulullah terhadap istrinya untuk membuat makanan dan kisah Ali dan Fatimah sebagaimana yang disebutkan di atas. Di samping itu, ketika dilangsungkan akad nikah dan sang istri menerimanya itu berarti ia menerima secara tidak langsung bahwa ia bertugas untuk mengerjakan pekerjaan rumah sebagaimana lazimnya seorang ibu rumah tangga -selama ia tidak mempersyaratkan pada saat akad nikah bahwa ia tidak bersedia menjalankan hal itu, karena inilah yang menjadi ‘urf (kebiasaan yang berlaku) dalam akad nikah.
Ibnu Taimiyah berkata: “wajib bagi wanita untuk melayani suaminya dalam hal yang lazim dilakukan oleh wanita serupa dengannya terhadap suami sepertinya, bentuk pelayanan itu bervariasi sesuai kondisi, maka beda bentuk pelayanan yang harus dilakukan oleh wanita badui dengan pelayanan wanita desa, dan pelayanan wanita berfisik kuat dengan wanita lemah”[2]. Ibnu Qayyim berkata: “Ketika Ali dan Fatimah datang kepada Rasulullah mengadukan pekerjaan rumah, maka Rasulullah menetapkanbagi Fatimah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan bagi Ali pekerjaan luar rumah (mencari nafkah), lalu Ibnu Habib berkata: pekerjaan rumah adalah mengadon roti, memasak, membersihkan tempat tidur, menyapu rumah, menyiapkan air minum dan seluruh pekerjaan dalam rumah”[3].
Kalau dikatakan bahwa apa yang dilakukan istri dalam rumahnya berupa pekerjaan rumah dari memasak, mencuci sampai membersihkan rumah adalah sekedar perbuatan baiknya yang dikerjakan secara sukarela dan bukan sebagai kewajiban –sebagaimana yang dilakukan Fatimah misalnya-, maka hal ini tidak dapat diterima karena Fatimah pada saat itu mengeluhkan beratnya pekerjaan rumah yang dikerjanya kepada Rasulullah namun beliau tidak mengatakan kepada suaminya, Ali, “aku tidak wajib mengerjakan pekerjaan ini!”, justru sebaliknya, Rasulullah mendiamkannya sebagai tanda setuju dan mengajarkannya dzikir yang dapat memberikannya kekuatan dalam menjalankan kewajiban rumah tangga tersebut. Jika pekerjaan rumah juga menjadi kewajiban suami maka pada hakikatnya suami yang memberikan pelayanan untukistri, dengan demikian seakan-akan istri menjadi pemimpin dalam rumah tangga, padahal Allah berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّـهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (anNisaa:34).
Demikian juga akan menimbulkan problema baru, yaitu sang suami akan disibukkan dari mencari nafkah dan kemaslahatan lainnya yang hanya dapat dikerjakan di luar rumah. Pendapat ini cukup kuat dasar dan alasannya, dengan demikian wajib bagi istri untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, yaitu mengerjakan pekerjaan dalam rumah, diantaranya memasak, mencuci dan menjaga kebersihan rumah. Namun demikian, istri menjalankan kewajiban tersebut sebatas kemampuannya. Ibnu ‘Utsaimin berkata: “adapun pelayanan yang diberikan istri kepada suaminya maka hal ini kembali kepada kebiasaan yang berlaku, apa saja yang sudah menjadi kelaziman dikerjakan istri maka itulah yang wajib dikerjakan, selain itu tidak wajib dikerjakan, dan tidak boleh bagi suami memaksanya untuk melayani ibunya atau ayahnya lalu marah jika istri tidak melaksanakannya”[4]. Dan berkata Ibnu Jibrin: “sudah menjadi tradisi umat Islam bahwa istri wajib melayani suaminya dalam hal-hal yang lazim dikerjakan, seperti memasak, mencuci pakaian membersihkan rumah dan semisalnya, semuanya tergantung kondisi, tradisi ini telah berlaku sejak zaman Rasulullah sampai sekarang tanpa ada yang mengingkarinya, namun tidak boleh membebankan istri dengan pekerjaan yang berat dan sulit, segalanya sebatas kemampuan dan tradisi”[5].
Ini tidak berarti bahwa suami melimpahkan sepenuhnya pekerjaan rumah kepada istri tanpa membantunya sedikitpun, terlebih disaat-saat istri membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sangat dibutuhkan kerjasama dan saling pengertian dalam hal ini yang dengannya kehidupan rumah tangga akan berjalan dengan baik dan lestari. Sungguh Rasulullah sebagai panutan yang patut kita contohi dalam hidup berumah tangga. Aisyah pernah ditanya tentang aktivitas Rasulullah di rumah, maka ia menjawab: “beliau membantu (pekerjaan) keluarganya”[6]. Dalam riwayat lain ia berkata: “beliau menjahit baju dan sepatunya serta mengerjakan pekerjaan yang lazimnya dikerjakan laki-laki di rumahnya”[7].