Ustadz Zaitun: Tetap Berukhuwah Meski Berbeda
WahdahMakassar.org- Jakarta, (25 Safar 1435 H /29 Desember 2013). Perbedaan pendapat (ikhtilaf) diantara sesama orang beriman, khususnya aktivis Islam tidak sepantasnya merusak ukhuwah. Hal ini dinyatakan oleh ketua umum DPP Wahdah Islamiyah, Ustad Muhammad Zaitun Rasmin pada Dauroh Du’at Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Persatuan Islam (Persis) di Jakarta (28/12). “Ukhuwah harus tetap terjalin meski terdapat perbedaan, sekalipun perbedaan itu cukup tajam”, tegas wakil ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini. Menurutnya, “sikap seperti ini telah dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum jami’an. Dalam beberapa persolan mereka terlibat perbedaan yang cukup tajam. Salah satu yang masyhur adalah perbedaan mereka dalam memahami dan menyikapi titah Nabi yang berbunyi, “La Yushaliyanna ahadukum ‘ashra illa fiy bani Quraidzah”. Sebagian memahami larangan tersebut secara hakiki, bahwa tidak boleh shalat kecuali setelah sampai di bani Quraidzah. Sementara sebagian yang lain memahami bahwa larangan tersebut sekadar isyarat untuk bergegas mempercepat langkah agar sampai di bani Quraidzah sebelum waktu shalat ‘ashar berakhir. Sehingga diantara mereka ada yang shalat di perjalanan, sedangkan sebagian yang lain shalat di bani Quraidzah meski waktu ‘ashar telah lewat. Namun demikian, mereka tetap berukhuwah”.
Oleh karena itu ustad Zaitun mengajak agar “kita tidak perlu alergi dan apriori secara berlebihan terhadap perbedaan. Karena para sahabat pun berbeda pendapat. Akan tetapi hal ini bukan bermaksud melegitimasi setiap perbedaan yang terjadi. Karena pada prinsipnya, tidak semua perbedaan dapat diterima dan ditolerir. Perbedaan yang dapat diterima adalah ikhtilaf yang bukan dalam masalah pokok dan prinsip”. Yang terpenting menurut anggota Ikatan Ulama Muslim Sedunia ini adalah berusaha menyikapi perbedaan secara bijak dan mengelolanya dengan baik agar tidak memicu konflik. “Di sini dibutuhkan idaratul khilaf atau seni mengelola perbedaan pendapat”, tambahnya.
Dalam daurah yang mengambil tema, “Fiqh dan Manajemen Da’wah” ini beliau enam sikap yang harus dikembangkan untuk mengelola perbedaan pendapat, yakni (1) menanamkan kesadaran bahwa perbedaan tidak harus merusak uhuwah, (2)Berprasangka baik terhadap pihak yang berbeda pendapat. Artinya kita harus bersangka baik bahwa sebenarnya orang yang tersebut menginginkan kebaikan dan kebenaran. Ia tidak menyukai dan menginginkan kesalahan, (3) Menjaga niat saat akan menasihati dan mengoreksi kesalahan orang yang berbeda pendapat, (4) Memilih waktu yang tepat saat melakukan nasihat dan koreksi terhadap kesalahan, (5) Memilih cara terbaik dalam bernasihat dan koreksi, serta (6) Mendokan kebaikan dan hidayah untuk pihak yang berbeda. [sym/wahdah.or.id].
Lihat makalah