Tugas Utama Pesiden Kita
Sebelum terjadi perang Qadisiah, Panglima Perang Sa’ad bin Abi Waqash mengirimkan utusan bernama Rabi’ bin Amir untuk menemui Jenderal Rustum, panglima Perang Persia. Rabi’ masuk ke tenda Rustum yang bergelimang kemewahan dengan tetap memegang tombak dan menuntun kudanya. Ketika Rustum bertanya, “Apa tujuan kalian?” dengan tegas Rabi’ menjawab, “Allah telah mengutus kami untuk membebaskan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan Allah semata, dan membebaskan manusia dari kesempitan menuju kelapangan hidup di dunia, dan dari penindasan berbagai agama yang sesat menuju agama Islam yang menuh keadilan.”
Kita ingat sebuah cerita terkenal, ketika Ja’fay bin Abdul Muthalib dan kawan-kawan sedang berada di Habsyah, sejumlah pemuka Quraish juga mengejar mereka. Raja Najasyi diprovokasi untuk mengusir kaum Muslim itu. Kepada Najasyi dan para pendeta Kristen, Amr bin Ash dan Amarah menyatakan, bahwa orang-orang Islam tidak akan mau bersujud kepada Raja. Ketika kaum Muslim dipanggil menghadap Raja, mereka diperintahkan, “Bersujudlah kalian kepada Raja!”. Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah semata.”
Sejumlah cerita tentang kezuhudan dan kegigihan generasi-generasi awal Islam itu diungkap oleh Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dalam bukunya, “Maa Dzaa Khasiral ‘Aalam bi-inkhithaathil Muslimin. (Terjemah versi Indonesia oleh M. Ruslan Shiddieq, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1988). Melalui bukunya, Ali an-Nadwi memang ingin menggugah kaum Muslim, bahwa kebangkitan dan kemenangan kaum Muslim hanya akan bisa diraih jika umat Islam memiliki keimanan yang kokoh, dan tidak goyah dengan berbagai godaan dunia.
Hilangnya semangat berkorban –jiwa, raga, harta, dan sebagainya– di tengah umat Islam bersamaan dengan munculnya sikap cinta dunia (hubbud-dunya). Sikap ini muncul karena ilmu yang salah, yang melihat dunia sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang kehidupan akhirat. Kapan saja sikap ini muncul, maka umat Islam tidak akan pernah mengenyam kejayaan. Rasulullah saw sudah mengingatkan, umat Islam akan menjadi sampah (buih), ketika sudah terjangkit penyakit “al-wahnu” (hubbud-dunya dan takut mati) dalam diri mereka. Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menyebutkan, jika umat Islam sudah mengagungkan dunia, maka dicabutlah kehebatan Islam.
Di tengah hiruk pikuk pemilihan presiden RI 2009-2014 saat ini, kaum Muslim Indonesia seyogyanya tidak boleh kehilangan arah perjuangan. Jika hendak berkaca pada perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka sejatinya, yang dibangun oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukanlah sekedar sebuah negara di Madinah. Tetapi, yang dibangun oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebuah bangunan peradaban yang sangat tinggi, yakni bangunan peradaban Islam. Bangunan ini ditopang oleh satu komunitas yang memiliki ciri-ciri yang khas, diantaranya ialah sikap “haus ilmu” dan “semangat berkorban” yang sangat tinggi demi sebuah cita-cita.
Mengapa Madinah bukan sekedar sebuah kekuasaan? Kekuasaan bisa diraih jika suatu kelompok memiliki kekuatan untuk berkuasa. Siapa pun yang memiliki angkatan perang terkuat, maka akan bisa dengan mudah meraih kekuasaan. Bangsa Mongol bisa menaklukkan Baghdad pada 1215, meskipun tingkat peradaban mereka jauh di bawah umat Islam. Pasukan Salib mampu merebut Jerusalem pada 1099 karena kemampuan dan semangat berperang mereka jauh lebih tinggi dibanding kemampuan kaum Muslim ketika itu. Tetapi, karena tingkat peradaban mereka rendah, maka mereka akhirnya justru banyak terpengaruh oleh peradaban Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyiapkan para jagoan untuk mendirikan sebuah bangunan negara Madinah. Tetapi, yang disiapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia-manusia yang beradab, yang memiliki keyakinan dan keimanan yang sangat kuat dan haus ilmu pengetahuan. Karena itulah, Rasulullah dan para sahabat sesudah beliau, tidak kesulitan kader-kader pemimpin umat untuk ditempatkan di berbagai wilayah yang dikuasai umat Islam ketika itu.
Manusia-manusia Muslim yang unggul dan beradab itulah yang harus disiapkan kaum Muslim untuk terjun ke berbagai lapangan kehidupan: pendidikan, ekonomi, sosial, militer, juga politik. Ketika banyak yang mengeluhkan kualitas para politisi Muslim, harusnya kita berkaca pada diri sendiri, apakah selama ini ada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang secara serius menyiapkan kader-kader umat yang unggul. Silakan diteliti, apakah ada satu Perguruan Tinggi Islam yang bisa diharapkan untuk menyiapkan kader umat semacam itu? Jika belum ada, harusnya umat Islam berkewajiban untuk menyiapkannya.
Umat Islam kini hidup di bawah suatu hegemoni peradaban Barat yang meterialistis yang memuja empat hal: kekayaan, kekuasaan, kecantikan dan kepopuleran. Tugas lembaga pendidikan Islam adalah mencetak kader-kader umat yang siap terjun ke tengah masyarakat sebagai mujahid dalam berbagai lapangan kehidupan. Dan tentunya, kader-kader umat itu haruslah terbebas dari penyakit cinta dunia dan takut mati. Sebab, penyakit inilah yang sangat merusak umat. Jika penyakit ini menggejala di tengah masyarakat, maka hancurlah bangsa itu.
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!” (M. Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008, cet. Ke-2).
Peringatan M. Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa Indonesia. Bahwa, baru beberapa tahun saja kemerdekaan berlalu, banyak orang Indonesia sudah kehilangan orientasi, egois, serba pamrih, dan tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Mereka berpikir, bahwa perjuangan sudah selesai, dan seolah-olah tujuan bangsa sudah tercapai. Sudah merdeka. Cukup!. Maka, tiap tahun rakyat dihibur dengan pesta-pesta 17 Agustusan. Kini, bukan saat untuk berjuang, tetapi saatnya untuk menikmati hasil perjuangan. Karena itulah, kata Natsir, jika bangsa ini tidak mau tenggelam dihantam gelombang tantangan zaman, maka bangsa ini tidak boleh berhenti ”mendayung”.
Dan apakah penyakit yang paling berbahaya bagi umat Islam dan bangsa Indonesia saat ini? Kepada Amien Rais dan kawan-kawan yang mewawancarainya pada 1986-1987, dengan tegas M. Natsir menyatakan: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Juga, kata Natsir: ”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” (A. Watik Pratiknya (ed.), Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, (Jakarta-Yogya: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989).
Kita sebenarnya berharap, para politisi Muslim lebih mengedepankan isu ”iman” daripada urusan perut. Ekonomi tentu saja penting. Tetapi, aqidah lebih penting. Sebab, misi utama kenabian adalah meluruskan aqidah. Mudah-mudahan, presiden yang terpilih nanti, juga menaruh perhatian soal aqidah. Bukan hanya urusan ”perut”. Sebab, ”perut” tidak akan pernah puas. Jika seseorang kehilangan orientasi akhirat dan terjangkit penyakit cinta dunia, maka setelah perutnya kenyang, dia akan mengejar ”kepuasan” lain.
Jiwa yang sehat bagi seorang Muslim adalah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan tidak terjangkit penyakit hubbud-dunya (cinta dunia). Itulah tugas utama pemimpin Indonesia masa depan. Mudah-mudahan, ke depan, kita akan mampu menyiapkan pemimpin-pemimpin yang mampu mewarisi amanah perjuangan para Nabi. Pemimpin seperti itu harus disiapkan, dan bukan hanya ditunggu-tunggu. [Diringkas dari Catatan Akhir Pekan, Dr. Adian Husaini, www.hidayatullah.com]