Tiga Kewajiban Seorang Muslim terhadap al-Qur’an
Oleh: Syekh. Prof. Dr. Nashir ibn Sulaiman al-‘Umar
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya, Amma ba’du..
Sungguh, seorang Muslim tentu menyadari bahwa al-Qur’an merupakan firman yang diturunkan oleh Allah. Seorang Muslim juga menyadari bahwa mengagungkan al-Qur’an merupakan bentuk pengagungan terhadap Dzat Yang Berfirman (yakni Allah Ta’ala). Di samping Seorang Muslim juga menyadari bahwa ia memiliki kewajiban terhadap al-Qur’an saat membaca dan berinteraksi dengannya. Diantara kewajiban tersebut antara lain:
Pertama; Mewujudkan keikhlasan dan menghadirkan niat ketika berinteraksi dengan al-Qur’an
Saat membaca, menghafal, mendengarkan atau mengamalkan al-Qur’an, seorang Muslim wajib menghadirkan niat yang tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚوَذَٰلِكَدِينُالْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5).
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Umar bin al-Khaththab radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إِنَّمـَاَ الأَعْمَــالُ بِالنِّــيَاتِ، وَإِنَّمَاَ لِكُلِّ امْرِيءٍ مَاَ نَوَى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan memperoleh balasan sesuai niatnya.”
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhuma, bahwa beliau bersabda, “ Seseorang sanggup menghafal sesuai dengan kadar niatnya”. Maksudnya, seseorang mendapatkan pahala dari yang dihafal, tergantung dari niatnya yang baik. Inilah yang akan memberikan manfaat baginya.
Para ulama menjelaskan bahwa orang yang membaca dan belajar Al Qur’an, tidak boleh menjadikan ibadah tersebut sebagai jalan untuk menggapai tujuan-tujuan duniawi. Baik wujudnya berupa harta, jabatan, pangkat, kedudukan terhormat di tengah-tengah kerabatnya, pujian orang-orang, menarik perhatian orang lain, dan sejenisnya.
Para salaf rahimahumullah sangat antusias untuk menjaga kesucian niat mereka ketika melakukan ketaatan, terlebih lagi saat berinteraksi dengan al-Qur’an. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengotori niat mereka dengan noda apapun, baik berupa sum’ah (ingin amalnya didengar orang lain, pent) ataupun riya. Salah satu contohnya adalah kisah tentang Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah, jika beliau berbicara atau membaca al-Qur’an dan hatinya tersentuh hingga meneteskan air mata, maka beliau khawatir terjatuh ke dalam riya, beliau mengusap wajahnya lalu berkata: “betapa berat demam ini”. Ibrahim An-Nakha’i jika membaca mushaf, lalu ada orang yang masuk menemuinya, beliau menyembunyikan mushafnya.
Mereka tidak mengenal perilaku yang dibuat-buat bahkan tidak terlintas dalam benak mereka. Perbuatan baik sudah menjadi karakter mereka. Beginilah, tabiat orang-orang yang ikhlas.
Faktor utama yang membantu mereka mewujudkan makna ikhlas dalam interaksi mereka dengan Al Qur’an adalah keyakinan mereka bahwa ketika mereka membaca Al Qur’an, pada hakikatnya sedang berkomunikasi dan bermunajat dengan Rabb (Tuhan)nya.
Kedua, Mengagungkan al-Qur’an
Mengagungkan firman Allah merupakaan ciri orang-orang saleh, baik pada umat ini maupun umat-umat terdahulu. Pengaruhnya tercerminkan dalam diri mereka. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا [١٧:١٠٧]
“Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Israa’: 107).
Hal ini hanya terjadi pada orang yang Allah karuniai hati yang terbuka terhadap berbagai makna yang Allah firmankan. sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ [٢٢:٣٢]
“Demikianlah (perintah Allah). Dan siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Ini merupakan nikmat agung yang tidak diperoleh kecuali oleh orang yang dipilih oleh Allah untuk mendapatkan hidayah-Nya. Sebagaimana firman Allah:
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا ۚ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا [١٩:٥٨]
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58).
Sikap mengagungkan Al-Qur’an menuntut seseorang untuk memiliki adab terhadap al-Qur’an, antara lain:
Pertama; Mengagungkan al-Qur’an bermakna mengagungkan perintah dan larangan yang terkandung di dalamnya dengan menjaganya dari distorsi orang-orang berlebihan, pengrusakan orang-orang yang menyebarkan kebatilan dan ta’wil orang-orang yang jahil.
Kedua, Menjaga adab saat membaca al-Qur’an. Hendaknya seseorang membaca al-Qur’an dalam keadaan suci secara lahir dan batin. Membersihkan mulut, badan, dan pakaiannya. Hendaknya tempat membaca al-Qur’an benar-benar bersih dan suci. Sangat dianjurkan membaca dengan menghadap qiblat dengan khusyu’ dan tenang.
Ketiga, Mengagungkan para pengemban al-Qur’an.
Diriwayatkan bahwa Umar ibn al-Khaththab berkata kepada Nafi’ ibn Abdul harits saat menemuinya di Usfan. Saat itu Umar menunjuknya sebagai gubernur Mekkah. Umar bertanya kepadanya; “Siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin untuk penduduk Wadi?” Dia menjawab; “Aku angkat untuk mereka Ibnu Abza.” Umar bertanya; “Siapa Ibnu Abza?” Dia menjawab; “Dia adalah salah seorang dari hamba sahaya kami.” Umar berkata; “Kamu angkat untuk mereka seorang budak?” Dia menjawab; “Sesungguhnya dia seorang yang hafal Al Qur’an dan pandai dalam masalah fara`idl (warisan).” Maka Umar berkata; “sesungguhnya Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ”Sesungguhnya Allah memuliakan suatu kaum dengan kitab [al-Qur’an] ini dan menghinakan kaum yang lain dengan al-Qur’an ini pula. (HR. Muslim, 1/559. No. 817).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya termasuk sikap mengagungkan Allah adalah memuliakan orang yang sudah beruban (orang tua) muslim, memuliakan ahli Qur’an dengan tidak berlebihan dan tidak menyepelekannya, dan memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Daud, 2/677. No. 4846. Dihasankan oleh Al Albani).
Bahkan Allah mengagungkan kitabnya dalam banyak ayat, diantaranya;
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ [١٥:٨٧]
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung. (QS. Al Hijr: 87).
ص ۚ وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ [٣٨:١]
Shaad, demi Al Quran yang mempunyai keagungan. (QS. Shad: 1)
ق ۚ وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ [٥٠:١]
Qaaf Demi Al Quran yang sangat mulia. (QS. Qaf:1)
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ [٥٦:٧٧]فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ [٥٦:٧٨]لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ [٥٦:٧٩]تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ [٥٦:٨٠]
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.(QS. Al Waqi’ah: 77-80)
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ [٨٥:٢١]
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, (QS. Al-Buruj: 21)
dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mengharuskan sikap ta’zhim terhadap Firman Rabbul ‘alamin.
Ketiga; Tadabbur dan tafakkur Makna-Makna al-Qur’an
Siapa yang membaca dan menyimak tapi tidak mentadaburi, boleh jadi al-Qur’an akan menjadi hujjah atasnya. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang yang seperti itu,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا [٤٧:٢٤]
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”(QS. Muhammad: 24).
Hasan al-Basri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian memandang al-Qur’an sebagai surat dari Tuhan mereka, oleh karena itu mereka mentadaburinya pada malam hari dan mengamalkannya pada siang hari”
Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seorang pengemban al-Qur’an hendaknya dikenali [dengan shalatnya] pada waktu malamnya saat orang-orang sedang tidur, [dengan puasanya] pada siang hari saat orang-orang sedang makan, dengan sedihnya saat orang-orang bergembira ria, dengan tangisannya saat orang tertawa, dengan diamnya saat orang-orang berbicara dan dengan khusyu’nya saat orang-orang angkuh.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Pengemban al-Qur’an adalah pembawa panji Islam, tidak sepantasnya ia bebuat sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, tidak lalai bersama orang-orang yang lalai, tidak berkata berbuat yang tidak bermanfaat seperti orang-orang yang berkata dan berbuat yang tidak bermanfaat. Sikap ini sebagai bentuk mengagungkan al-Qur’an.
Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah wahai Muslim dalam menunaikan kewajiban-kewajiban penting terhadap al-Qur’an ini. Tentunya dengan mengikhlaskan niat kepada Allah saat tilawah atau menyimaknya, mengagungkan dan menghormati al Qur’an dan para pengembannya, mentadabburi dan memikirkan makna-maknanya, serta bersungguh-sungguh dalam merealisasikan dan mengamalkannya.
(Diterjemahkan dari artikel dengan judul Tsalats Wajibat al-Muslim Ma’a al-Qur’an, yang dipublikasikan oleh https://www.almoslim.net/node/137355/)
[sym]