Taubat Jalan Menuju Keselamatan
Taubat. Entah sudah berapa sering kita mengangkat topik ini. Di sisi lain, topik ini justru selalu aktual untuk kita bahas. Betapa tidak, dalam kondisi ummat yang carut marut seperti ini pertolongan Allah sangat kita nanti-nantikan.
Masalahnya, mungkinkah kita ditolong dalam keadaan kita berlumuran dosa dan maksiat?. Nah, di sinilah urgennya materi ini untuk kita angkat. Selamat menyimak Bertaubat dari dosa-dosa dengan cara kembali kepada Allah yang menutupi segala aib dan cela, yang Maha Mengetahui yang ghaib, adalah pangkal jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh dan modal orang-orang yang memperoleh keuntungan dan kejayaan serta awal dari kemajuan orang-orang yang belajar. Taubat juga merupakan kunci untuk beristiqomah dan penyebab terpilihnya orang-orang yang dekat kepada Allah. Taubat adalah langkah awal, langkah tengah dan langkah akhir. artinya, seorang hamba yang menempuh jalan akan senantiasa bertaubat, tak pernah tinggal sampai dia mati. dan bila ia pindah ke tempat lain, taubat pun akan ikut bersamanya dan selalu menyertainya.
Jadi taubat merupakan langkah permulaan seorang hamba dan juga merupakan langkah terakhir. Allah Ta’ala Berfirman : “Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian menjadi orang-orang yang berjaya.” (QS, An-Nur, 24:31) Ayat ini terdapat dalam surah Madaniyah dan berisi seruan Allah kepada orang-orang yang beriman sebagai manusia yang paling baik, supaya bertaubat kepada-Nya setelah mereka beriman dan sabar, dan setelah mereka hijrah dan berjihad. Di sini Allah menyatakan kemengangan bergantung kepada taubat. Dia menggunakan kata-kata la’alla yang berarti mudah-mudahan atau supaya , sebagai suatu perkenaan dan restu bahwa orang-orang yang beriman boleh mengharapkan kemenangan apabila mereka bertaubat. Selanjutnya Allah Berfirman : ” Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS, Al-Hujurat, 49:11).
Maka manusia terbagi dalam dua kelompok , yaitu : orang yang bertaubat dan orang yang zalim. Dan Allah menyebut orang-orang yang tidak bertaubat dengan sebutan ‘orang-orang yang zalim’ dan tak ada yang lebih zalim dari mereka, karena mereka tak mengenal tuhan , tak tahu hak-hak-Nya dan tidak mengetahui cela dirinya. Dalam sebuah hadist shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah bersabda : “Wahai manusia! Bertaubatlah kalian kepada Allah. demi Allah, aku bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali!” (HR. Bukhari ) Adapun yang dimaksud dengan taubat ialah kembalinya seorang hamba kepada Allah, meninggalkan jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. taubat mempunyai tiga syarat jika dosa yang dilakukan menyangkut hak Allah, yaitu:Pertama, Menyesali dosa yang dilakukannya. Kedua, Meninggalkannya, dan Ketiga, Berniat untuk tidak mengerjakannya lagi.
Menyesali dosa yang telah diperbuat adalah syarat mutlak bagi realisasi taubat, sebab orang yang tidak menyesali perbuatan jahat (dosa)nya berarti senang terhadapnya dan terhadap kesinambungannya. Meninggalkan perbuatan dosa yang telah dilakukan juga merupakan syarat mutlak, sebab taubat mustahil bisa dilakukan seiring dengan mengerjakan dosa. Dengan niat untuk tidak akan mengulangi perbuatan dosa yang telah dilakukan, berarti bahwa taubat itu bertumpu atas keikhlasan dan kebenaran niatnya.
Sebagian ulama menetapkan syarat yang ketiga ini. Mereka mengatakan bahwa apabila hamba mengerjakan dosa itu lagi, maka taubatnya batal dan tidak sah. Tetapi mayoritas ulama tidak menetapkan syarat yang seperti ini. Apabila dosa yang dilakukan menyangkut hak manusia (makhluk), maka si pelaku wajib memperbaiki apa yang telah dirusaknya, memohon kerelaan orang yang telah ia zalimi atau sakiti. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;” Barangsiapa yang berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap hartanya maupun dirinya, hendaklah ia minta dihalalkan (minta maaf) hari ini (di dunia-pent) sebelum tiba saat di mana uang tidak ada lagi kecuali hanya amal saleh dan jahat.” (HR. Bukhari ) Jadi dosa itu menyangkut dua hak, hak Allah dan hak manusia. Bertaubat dengan cara minta maaf kepada manusia yang dizalimi adalah untuk memenuhi hak manusia yang bersangkutan, sedangkan penyesalan (bertaubat) dari dosa tersebut adalah untuk memenuhi hak Allah.
Disamping itu ada taubat-taubat yang khusus diantaranya : Apabila dosa yang diperbuat bersangkut-paut dengan hak manusia berupa ghibah (menbicarakan orang lain) atau memfitnah, para ulama berbeda pendapat, apakah si pelaku wajib mengungkapkan perbuatannya itu? Madzhab abu Hanifah dan imam Malik menyatakan wajib, dengan berdasar pada hadist di atas. Madzhab yang lain tidak mewajibkan untuk memberitahukan kepada orang yang bersangkutan tentang materi ghibah atau fitnah yang dilakukan terhadapnya, cukuplah jika ia bertaubat kepada Allah sambil mengingat perbuatan yang telah dilakukannya terhadap orang yang bersangkutan dan meminta maaf kepadanya. inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Alasannya ialah memberitahukan materi ghibah tersebut adalah mafsadat (kerusakan) besar, dan Allah tidak membolehkannya apalagi mewajibkan.
Orang yang mengambil harta milik orang lain adalah disamping ia taubat, dia harus mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya, bila ini tidak mungkin, misalnya pemiliknya itu tidak diketahui lagi di mana rimbanya, maka ia wajib mensedekahkannya atas nama pemiliknya itu.
Adapun tentang taubat orang yang berjual beli barang yang haram seperti menjual minuman keras, atau seperti penyanyi dan saksi palsu, yang setelah bertaubat uang hasil jual-beli barang haram tersebut masih berada ditangannya, maka satu pendapat mengatakan bahwa ia harus mengembalikan uang itu kepada pembelinya, karena uang itu merupakan hak milik pemiliknya dan ia tidak mengambilnya berdasarkan aturan yang halal, dan si pemilik juga tidak memperoleh manfaat yang halal dari pembelian tersebut. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa taubatnya ialah dengan cara menyedekahkan uang tersebut, sebab bagaimana mungkin ia mengembalikan uang tersebut kepada si pemiliknya. Bukankah ia telah membantunya dalam bermaksiat kepada Allah? Begitu juga taubatnya orang yang mencampuradukkan harta yang haram dengan yang halal, yang tidak mungkin lagi untuk dipisahkan. Dia juga harus mensedekahkan sesuai dengan kadar harta yang haram. setelah itu haruslah ia menjaga kebersihan hartanya yang masih tinggal.
Akhirnya, kita bermohon kepada Allah semoga Ia selalu menerima taubat-taubat kita. Sebab, dengannya kita akan senantiasa bersih; lahir maupun batin. Dengan kebersihan itu kita berharap Allah memberi jalan keluar atas berbagai problem yang melilit kita.
(Al Balagh Edisi 88/ 19 Radjab 1428 H)