Tata Cara Shalat Istisqa

0

Istisqa artinya meminta hujan. Shalat Istisqa adalah shalat sunnah yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar diturunkan hujan.

Beberapa Jenis Istisqa Kepada Allah

Memohon kepada Allah agar diturunkan hujan berdasarkan apa yang ditetapkan oleh syari’at, dapat dilakukan dengan beberapa cara:

Pertama, shalat istisqa secara berjama’ah ataupun sendirian. (Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504)

Kedua, imam shalat Jum’at memohon kepada Allah agar diturunkan hujan dalam khutbahnya. Para ulama ber-ijma’ bahwa hal ini disunnahkan senantiasa diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana diceritakan sahabat Anas Bin Malik Radhiallahu’anhu:

Seorang lelaku memasuki masjid pada hari jum’at melalui pintu yang searah dengan daarul qadha. Ketika itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang berkhutbah dengan posisi berdiri. Lelaki tadi berkata: ‘Wahai Rasulullah, harta-harta telah binasa dan jalan-jalan terputus (banyak orang kelaparan dan kehausan). Mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan!’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan: Allahumma aghitsna (3x). Anas berkata: ‘Demi Allah, sebelum itu kami tidak melihat sedikitpun awan tebal maupun yang tipis. Awan-awan juga tidak ada di antara tempat kami, di bukit, rumah-rumah atau satu bangunan pun”. Anas berkata, “Tapi tiba-tiba dari bukit tampaklah awan bagaikan perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan pun menyebar dan hujan pun turun”. Anas melanjutkan, “Demi Allah, sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari’” (HR. Bukhari no.1014 dan Muslim no.897)

Ketiga, berdoa setelah shalat atau berdoa sendirian tanpa didahului shalat. Para ulama ber-‘ijma akan bolehnya hal ini. (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi 6/439, Al Inshaf 5/436, Al Mughni 3/348)

Tempat Shalat Istisqa

Shalat istisqa lebih utama dilakukan di lapangan, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Mazini:

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat” (HR. Bukhari no. 1024)

Namun boleh melakukannya di masjid, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani: “Perkataan Imam Al Bukhari: ‘Bab Shalat Istisqa di Masjid Jami‘, menunjukkan tafsiran beliau bahwa keluar menuju lapangan bukanlah syarat sah shalat istisqa.” (Fathul Baari, 1/582)

Waktu Pelaksanaan Shalat Istisqa

Shalat istisqa tidak memiliki waktu khusus namun terlarang dikerjakan di waktu-waktu terlarang untuk shalat. Akan tetapi yang lebih utama adalah sebagaimana waktu pelaksanaan shalat ‘Id, yaitu ketika matahari mulai terlihat. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha disebutkan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai terlihat” (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Tata Cara Shalat Istisqa

Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara shalat istisqa. Ada dua pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama, tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat ‘Id. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu:

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu’, dan kerendahan hati hingga tiba di tempat shalat. Lalu beliau berkhutbah tidak sebagaimana biasanya, melainkan beliau tidak henti-hentinya berdoa, merendah, bertakbir dan melaksanakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melakukan shalat ‘Id” (HR. Tirmidzi no.558, ia berkata: “Hadits hasan shahih”)

Tata caranya sama dengan shalat ‘Id dalam jumlah rakaat, tempat pelaksanaan, jumlah takbir,jahr dalam bacaan dan bolehnya khutbah setelah shalat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama diantaranya Sa’id bin Musayyab, ‘Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, dan Imam Asy Syafi’i.

Hanya saja berbeda dengan shalat ‘Id dalam beberapa hal:

Hukum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Namun shalatistisqa berbeda dengan shalat ‘Id dalam hal hukum shalat Istisqa adalah sunnah, sedangkan shalat ‘Id adalah fardhu kifayah”. Sebagian ulama muhaqqiqin juga menguatkan hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain.( Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183)

Pendapat kedua, tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan takbir. Hal ini didasari hadits dari Abdullah bin Zaid:

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat” (HR. Bukhari no.1024, Muslim no.894).

Zhahir hadits ini menunjukkan shalat istisqa sebagaimana shalat sunnah biasa, tidak adanya takbir tambahan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Al Auza’i, Abu Tsaur, dan Ishaq bin Rahawaih.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini beliau mengatakan:

“Mengerjakan yang mana saja dari dua cara ini adalah boleh dan baik”.( Al Mughni, 3/335 – 337)

Khutbah Istisqa

Khutbah istisqa hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Namun para ulama berbeda pendapat apakah lebih dahulu shalat kemudian khutbah ataukah sebaliknya:

Pendapat pertama, shalat dahulu kemudian khutbah lalu berdoa. Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anahu:

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam keluar untuk melakukan istisqa’. Beliau shalat 2 raka’at mengimami kami tanpa azan dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri pada bagian kanan” (HR. Ahmad 16/142, hadits ini dinilai dhaif oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah, 5360)

Dalil lain yang menunjukkan hal ini adalah riwayat lain dari hadits Abdullah bin Zaid Al Mazini Radhiallahu’anahu:

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar bersama orang-orang untuk istisqa’. Beliau lalu shalat mengimami mereka sebanyak 2 raka’at dengan bacaan yang dikeraskan pada kedua raka’at. Kemudian beliau membalik posisi selendangnya, lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa meminta hujan sambil menghadap kiblat” (HR. Abu Daud no.1161, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat kedua, khutbah dahulu, lalu berdoa, kemudian shalat. Diantara dalilnya adalah hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas yang telah disebutkan.

Namun perbedaan ini adalah jenis khilaf tanawwu atau perbedaan dalam variasi, artinya dibolehkan mendahulukan shalat dulu ataupun khutbah dulu. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Apa yang diperselisihkan ini dapat digabungkan dari segi riwayat. Yaitu sebagian riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai dengan doa kemudian shalat 2 rakaat kemudian khutbah. Lalu sebagian rawi mencukupkan diri pada riwayat tersebut. Sebagian riwayat lagi menyebutkan dimulai dengan khutbah yang di dalamnya ada doa, sehingga terjadilah perbedaan pendapat” (Fathul Baari, 2/500).[*]

Share.

Leave A Reply