Syarah Hadits: Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawal
Redaksi Hadits:
عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر).
“Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa ramadhan lalu melengkapinya dengan puasa enam hari dari bulan syawal, maka seakan-akan ia telah berpuasa setahun penuh”.
Takhrij Hadits:
Hadits ini adalah riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, ia berkata : Yahya bin Ayyub memberitahukan kepada kami, ia berkata : Isma’il bin Ja’far mengabarkan kepada kami, ia berkata : Sa’ad bin Sa’id bin Qais memberitahukan kepada kami dari Umar bin Tsabit bin Al harits dari Abu Ayyub al Anshari radhiyallahu’anhu. Hadits ini, diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dan Ahli Sunan (Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Majah).
Sebagian ulama mengkritik ke-shahih-an hadits ini dan menilainya sebagai hadits dhaif karena dalam sanadnya terdapat rawi : Sa’ad bin Sa’id bin Qais. Imam Ahmad, Nasai dan selainnya berkata tentang rawi ini : Sayiul hifdz (hafalannya buruk). Akan tetapi rawi ini telah dikuatkan (lewat mutaaba’ah) oleh jalur lain yaitu dari rawi Shafwan bin Sulaim dalam Sunan Abu Daud, dan ia merupakan rawi tsiqah, dan haditsnya telah diriwayatkan oleh Jama’ah (Pemilik Kutub Sittah).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Nasai dari jalur Imam Syu’bah dari Abdu Rabbihi bin Sa’id dari Umar bin Tsabit dari abu ayyub. Adapun derajat Abdu rabbihi bin Sa’id, maka Imam Ahmad berkata : Laa ba’sa bihi.
Hadits yang senada dengan ini juga diriwayatkan dalam hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
( صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ست من شوال بشهرين فذلك صيام سنة )
Artinya : “Puasa Bulan Ramadhan menyamai (pahala) puasa sepuluh bulan,dan puasa enam hari bulan syawal menyamai (pahala) puasa dua bulan, maka semuanya menyamai (pahala) puasa satu tahun penuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasai dalam As Sunan Al-Kubra dari jalur Yahya bin al Harits dari abu Asma’ Al Rahabi dari Tsauban, dan haditsnya dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan selainnya akan tetapi penilaian mereka tidak tepat. Dalam masalah ini juga terdapat hadits riwayat Jabir radhiyallahu’anhu dalam Musnad Ahmad akan tetapi haditsnya tidak shahih.
Fiqih atau Syarah Redaksi Hadits:
Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam “Barangsiapa yang puasa Ramadhan…”
Maknanya adalah barangsiapa yang puasa Ramadhan secara sempurna, jadi tidak bisa melakukan puasa Syawal kecuali harus terlebih dahulu menyempurnakan puasa Ramadhan, dan hal ini bukan bermakna larangan mendahulukan perkara sunnah atas perkara wajib karena masalah ini adalah perkara khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama yaitu apakah seorang muslim boleh mendahulukan puasa sunnah sebelum puasa wajib? Pendapat jumhur ulama adalah boleh, dan pendapat inilah yang benar. Akan tetapi masalah kita dalam hadits ini adalah bukan bagian dari pembahasan perkara ini karena larangan berpuasa syawal sebelum menyempurnakan puasa Ramadhan adalah dilihat dari segi pembahasan bahwa puasa enam hari syawal tidak sah kecuali setelah menyempurnakan puasa ramadhan dengan dalil sesuai keumuman redaksi hadits “Barangsiapa yang berpuasa ramadhan lalu melengkapinya dengan puasa enam hari dari bulan syawal…”.
Adapun orang yang memiliki utang qadha puasa ramadhan, maka ia tidak dibenarkan melengkapi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari syawal (kecuali kalau mengganti utang puasanya terlebih dahulu –pent).
Kemudian apakah puasa enam hari syawal ini wajib dilakukan secara berurutan?
Jawaban yang shahih adalah tidak wajib berurutan, seandainya seseorang melakukannya secara tidak berurutan maka puasanya sah, dan ini sesuai keumuman redaksi hadits “puasa enam hari di bulan Syawal”, akan tetapi yang lebih utama dan sempurna adalah ia melakukannya secara berurutan agar tidak dihalangi oleh beberapa hal yang bisa menghalangi dirinya dari puasa, dan Allah Ta’ala juga telah berfirman :
( فاستبقوا الخيرات … )
Artinya : Berlomba-lombalah dalam kebaikan.
Para ulama rahimahumullah telah berbeda pendapat tentang hukum puasa syawal, dan hadits di atas telah cukup sebagai dalil istihbab/sunatnya puasa ini, pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian besar para ulama, dan mereka diselisihi oleh Imam Malik yang berpendapat bahwa puasa syawal hukumnya makruh dengan dalil agar puasa bulan ramadhan jangan disambung dengan puasa yang bukan merupakan bagian dari bulan ramadhan. Dalam Kitabnya “Al Muwaththa’ ” beliau menegaskan bahwa ia belum mendapati seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan fiqh melakukan puasa syawal, dan belum sampai kabar kepadanya dari seorang salaf bahwa mereka berpuasa syawal, dan bahwasanya ahli ilmu memakruhkan puasa ini karena khawatir ia merupakan suatu bid’ah dan juga khawatir jangan-jangan orang-orang jahil dan ahli ghuluw (berlebih-lebihan dalam ibadah) menyambung puasa ramadhan dengan puasa yang tidak termasuk dari ramadhan.
Kesalahan pendapat Imam Malik dalam masalah ini (bahwa puasa syawal makruh) disebabkan beberapa kemungkinan; 1.Hadits sunnahnya puasa syawal ini belum sampai kepada beliau, 2.Atau haditsnya telah sampai kepada beliau namun dengan jalur yang tidak shahih menurutnya, 3.Atau haditsnya sampai kepada beliau dengan jalur shahih namun ia melihat bahwa amalan salaf menyelisihi hadits ini sehingga beliaupun tidak berpendapat dengannya.
Namun, tentu hadits keutamaan puasa enam hari syawal ini tetaplah tsabit/shahih, adapun pendapat para ulama maka ia perlu dicarikan hujjah/dalil dan tidak dijadikan sebagai hujjah (karena hujjah hanyalah al-Quran dan Sunnah). Wallaahu a’lam.
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka -Pahalanya- seperti puasa setahun penuh”.
Maksud dari Al Dahr dalam hadits ini adalah satu tahun, dikarenakan puasa Ramadhan menyamai pahala puasa 10 bulan, dan puasa enam hari syawal menyamai pahala puasa dua bulan, dan semuanya menyamai satu tahun penuh (12 bulan).
Ini sebagai dalil bahwa wajib menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu (sebelum puasa syawal) dan bahwasanya puasa enam hari syawal tidaklah sah kecuali setelah sempurnanya puasa Ramadhan.
Jika ada orang berkata : Jika seorang wanita bersalin di bulan Ramadhan, maka tentu ia tidak bisa melakukan puasa Syawal, maka apakah ia harus meng-qadha’nya di luar Syawal?
Maka dikatakan kepadanya : bahwa puasa enam hari Syawal merupakan puasa sunah raatibah/rawatib (yang mengikuti puasa wajib Ramadhan) yang muqayyadah (terikat dengan waktu yaitu bulan syawal) . Jadi, jika seseorang tidak bisa melakukan puasa Syawal dengan uzur Syar’i maka ia boleh meng-Qadha’nya/menggantinya di bulan lain selain Syawal sebagaimana hukum sunat-sunat Rawatib lainnya dengan dalil : Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqadha shalat sunat ba’diyah zuhur pada waktu setelah Ashar sedangkan ini adalah sunnah rawatib yang terikat (muqayyadah) dalam waktu tertentu maka demikian pula sunnah rawatib puasa enam hari syawal (boleh diqadha di selain bulan syawal kalau ada uzur). Kesimpulannya, jika seorang wanita tidak bisa berpuasa enam hari Syawal dengan uzur syar’i, maka boleh baginya mengqadhanya di bulan lain, adapun wanita nifas yang bersalin dalam Ramadhan, maka ia harus mengqadha puasa Ramadhan yang ia tinggalkan terlebih dahulu lalu mengqadha puasa enam hari Syawal (walaupun diluar bulan Syawal-pent). Namun apabila ia suka mengundur-undur qadha puasa enam hari Syawal ini (padahal nifasnya telah habis) sehingga sampai pada bulan Muharram misalnya, maka kita katakan padanya bahwa waktu qadha puasa enam syawal telah lewat karena ia tidak bersegera meng-qadhanya, ini sama halnya jika seseorang lupa shalat sunat rawatib zuhur, lalu ia mengingatnya setelah ashar terus ia tidak bersegera mengqadhanya setelah ashar, maka waktunya telah lewat.
Perkara yang sama dengan ini adalah ‘aqiqah, jika hari ketujuh telah lewat sedangkan seseorang belum melaksanakan ‘aqiqah padahal tidak ada uzur syar’i baginya, maka waktunya telah lewat (dan ia tidak perlu lagi ‘aqiqah kecuali kalau ada uzur syar’i –pent) karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (Setiap anak yang lahir tergadaikan dengan hewan ‘aqiqahnya yang disembelih baginya pada hari kelahirannya…). Hadisnya shahih. Andai hari ke tujuh dan hari ke sepuluh sama saja dalam perkara ‘aqiqah ini, maka hadits menetapkan hari ‘aqiqah pada hari ke tujuh ini, tidaklah bermakna apa-apa.
(Disadur dari Syarah Bulughul Maram oleh Syaikh Muhaddits Sulaiman bin Nashir Al’Ulwan hafidzhahullah)
(WahdahMakassar.org/darul-anshar.com)