Sunni-Syi’ah Perang Ideologi (2)
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan “Sunni-Syi’ah Perang Ideologi”. Selamat menyimak.
Sungguh sangat mengherankan bila ada orang yang mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu membenci orang-orang yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang yang terjadi pada Syi’ah rafidhoh -la’anallahu dinahum-. Mengaku-ngaku cinta pada Rasulullah, lalu dengan sangat entengnya mencela sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan yang lebih mengherankan dari itu istri Rasulullah yang tercinta juga tak luput dari celaan bahkan boleh dikata telah dicela habis-habisan sehingga tak tersisa lagi kehormatan untuk beliau radhiyallahu ‘anha, padahal Rasulullah sendiri telah memanggilnya dengan panggilan cinta yang begitu terasa. “ya humairah!” wahai yang kemerah-merahan pipinya.. bahkan di suatu kesempatan yang langka beliau menunjukkan kemesraannya dengan mengajak Ummul mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha berlomba lari, bahkan disuatu momen yang menggelitik beliau tampakkan cintanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan sebutan “ibu kalian sedang cemburu”.
Bisa saja mereka para pencela itu mengatakan bahwa awalnya memang begitu tapi akhirnya Rasulullah benci karena dia mengkhianat. Aduhai kenyataan telah menunjukkan betapa cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga hingga akhir hayat. Sejarah telah mencatat bahwa di penghujung hayatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal bersama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Aisyah menjaganya dengan penuh cinta, mengurusinya, memeluknya, bahkan di moment perpisahan dengan dunia ini beliau wafat di pangkuannya, subhanallah!
Tapi meski kaum Syi’ah telah karatan dengan kutukan dan celaannya pada para Sahabat Nabi, berikut kaum yang mencintai dan membela mereka (ahlu sunnah), tapi tetap saja mereka mampu meraih simpati kaum Ahlu Sunnah sehingga kadang kaum Ahlu Sunnah sendiri justru menjadi duri dalam daging.
Lagi-lagi inilah buah dari Taqiyah mereka. Seperti yang telah kami sebutkan pada tulisan kami sebelumnya, Taqiyah pada orang syi’ah, ialah bersikap menampakkan kebalikan fakta yang sebenarnya. Taqiyah memperbolehkan seorang syi’ah menipu orang lain. Berdasarkan taqiyah ini, seorang Syi’ah mengingkari lahiriyah sesuatu yang ia yakini dalam batin. Sebaliknya taqiyah juga memperbolehkan orang syi’ah mempercayai apa yang ia ingkari dalam batin. Itulah sebabnya anda lihat orang-orang syi’ah sering mengingkari keyakinan-keyakinan mereka sendiri di depan kaum Ahlu Sunnah. Contohnya seperti pendapat tentang perubahan pada Al-Qur’an, mencaci-maki sahabat, menganggap kafir orang lain, menuduh keji kaum Muslimin, dan keyakinan-keyakinan lain.
Dan terdapat banyak sekali riwayat yang menganjurkan orang syi’ah untuk setia pada taqiyah. Masih merujuk kepada buku Hakikat Syiah Agar Anda Tidak Terpedaya yang diterjemahkan oleh Abdul Rsyad Shiddiq, terbitan Darul Falah, Jakarta, dari kitab aslinya yang berjudul Hatta La Nankhadi’a Haqiqah Asy-Syiah, karya Syaikh Abdullah Al-Mushili. Terbitan Maktabah Al-Imam Al-Bukhari-Mesir, cet.XX, 2006 M.
Diantaranya seperti yang diriwayatkan oleh Al-Kulaini dalam Al-Kafi, kitab syi’ah yang setara dengan Shahih Bukhari menurut mereka, dalam bab “Taqiyah” (II/219), dari Ma’mar bin Khallad, ia berkata,
“Aku bertanya kepada Abul Hasan tentang berdiri untuk menghormat para penguasa. Ia menjawab, ‘kata Abu Ja’far, taqiyah itu bagian dari agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak ada iman sama sekali bagi orang yang tidak mengamalkan taqiyah’.”
Disebutkan dalam Al-Kafi (II/217) sebuah riwayat dari Abdullah, sesungguhnya ia berkata,
“Wahai Abu Umar, sesungguhnya Sembilan puluh persen agama itu ada pada Taqiyah. Tidak ada agama sama sekali bagi orang yang tidak mengamalkan taqiyah. Taqiyah berlaku pada segala sesuatu, kecuali pada perasan anggur dan mengusap sepasang khuf”
Guru Kaum Syi’ah Muhammad Ridha Al-Muzhaffar dalam kitabnya Aqa’id Al-Imamiyah, pasal Tentang Aqidah Kita tentang Taqiyah, berkata “Diriwayatkan dari Ash-Shadiq Ahlul Bait alaihissalam dalam sebuah atsar yang shahih, ia mengatakan,
“Taqiyah itu agamaku dan agama nenek moyangku. Siapa yang tidak mengamalkan taqiyah, ia tidak punya agama sama sekali.”
Diriwayatkan oleh Al-khulaini dalam Al-Kafi (II/271) dari Ash-Shadiq, ia berkata, “Aku pernah mendengar ayahku mengatakan,
‘Tidak, Demi Allah, tidak ada sesuatu yang paling aku sukai di muka bumi ini dari taqiyah. Wahai habib (putraku sayang), sesungguhnya orang yang mengamalkan taqiyah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya. Wahai putraku tersayang, orang yang tidak mengamalkan taqiyah, niscaya Allah akan merendahkan derajatnya. Wahai putraku tersayang, sesungguhnya manusia itu dalam kondisi menahan diri. Jika ia sudah muncul, hal itu akan terjadi’.”
Disebutkan dalam Al-Kafi (II/20) sebuah riwayat dari Abu Abdullah Alaihisslam, ia berkata, “Taqiyah adalah perisai Allah antara Dia dan makhluk-Nya.
Disebutkan dalam Al-Kafi (II/218) sebuah riwayat dari Abu Abdullah Alaihissalam, ia berkata, “Allah Azza wa Jalla tidak berkenan menerima kami dan kalian dalam agama-Nya, kecuali Taqiyah.”
Disebutkan dalam Al-Kafi (II/220) sebuah riwayat dari Abu Abdullah Alaihissalam, ia berkata, “ Ayahku pernah mengatakan,
‘Sesuatu apa lagi yang lebih menyejukkan mataku daripada taqiyah? Sesungguhnya taqiyah adalah perisai orang mukmin’.”
Disebutkan olej al-Kulaini dalam Al-Kafi (II/372), dan oleh Al-Faidh Al-Kasyani dalam Al-Wafi (III/159), Dari Al-Kutub Al-Islamiyat Teheran, sebuah riwayat dari Abu Abdullah Alaihissalam, ia berkata,
“Barangsiapa yang membuka harinya dengan menyiarkan rahasia kami, niscaya ia akan dikuasai oleh panasnya besi dan sempitnya majelis-majelis.”
Diebutkan dalam Al-Kafi (II/222), dan Al-Rasa’il oleh Al-Khomeini (II/185), sebuah riwayat dari Sulaiman bin Khalid, ia berkata, Abu Abdullah Alaihissalam berkata,
“Wahai Sulaiman, sesungguhnya kamu harus berpegang teguh pada suatu agama. Siapa menyimpannya, Allah akan memuliakannya dan siapa menyiarkannya, Allah akan menghinakannya.”
Mereka menipu kaum muslimin hanya karena mengikuti hawa nafsu mereka, sekaligus propaganda kesesatan mereka. Mereka menganggap bahwa taqiyah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan keimanan seseorang. Masih dalam kitab al-Kafi, Muhammad al-Kulani berkata: “Bertaqwalah kalian kepada Allah dalam agama kalian dan lindungilah agama kalian dengan taqiyah, maka sesungguhnya tidaklah mempunyai keimanan orang yang tidak bertaqiyah. Dia juga mengatakan “Siapa yang menyebarkan rahasia berarti ia ragu dan siapa yang mengatakan kepada selain keluarganya berarti dia kafir.” [Al-Kafi, 2/371. 372, & 218)
Bahkan mereka menisbatkan ajaran aneh ini pada imam ke-enam mereka Ja’far as-Shadiq yang katanya berkata: “Seandainya saya mengatakan bahwa yang meninggalkan taqiyah sama dengan meninggalkan shalat tentu saya benar.” (al-I’tiqadad, hal. 144)
Dan demikianlah firqoh syi’ah menjadikan taqiyah sebagai pilar agama dan menjadikan sebagai salah satu simbol madzhabnya. keyakinan keharusan bertaqiyah mengandung konsekuensi membolehkan mereka berbohong. Sehingga perbuatan ini menjadi “trade mark” atau simbol Syi’ah. Umpamanya ada yang mengatakan, “Dia itu lebih pembohon dari orang rafidhah (syi’ah)” (Tahqiq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah.)
Maka pembaca yang budiman apa yang diceritakan oleh guru besar UIN Alauddin Makassar tentang pengalamannya saat berkunjung ke Iran di salah satu koran di Makassar beberapa pekan yang lalu cukup sebagai bukti nyata dari penerapan aqidah taqiyah ini. Selengkapnya sang Prof, menuliskan hasil diskusi intensif beliau (bersama dengan beberapa doktor dan guru besar UIN Alauddin) dengan beberapa Ayatullah (ulama otoritatif) Syiah di Hawza Ilmiah Syiah di jantung peradaban Syiah di Qum, Iran, bahwa terungkap sejumlah fakta menarik. Diantara “fakta” yang didapat oleh sang Guru besar tersebut adalah perkataan Ayatullah berikut ini. “Abu Bakar, Umar dan Usman adalah sahabat nabi yang kami hormati.”
Kami jadi teringat perkataan bang Syaifullah Hamid, SH. Seorang senior beberapa anggota Tim Pengacara Muslim di Jakarta, tentang harga barang-barang. “Harga itu tidak bohong, kecuali kita ditipu” katanya.
Maka sekarang kita katakan dengan penuh hormat bahwa itu bukan fakta melainkan itulah taqiyah dari syi’ah. Sedang fakta sebenarnya Insya Allah akan kami sajikan pada edisi berikutnya.
Oleh: Syahrullah Hamid