Sikap Pertengahan dalam Agama

0

Oleh: Ustadz Aswanto Muhammad Takwi, Lc.

Islam adalah agama pertengahan, hal ini tampak jelas pada syariatnya yang sarat dengan nilai-nilai tinggi, seperti toleransi, mudah, damai, dan manusiawi, di samping sisi ketegasan dan kesungguhannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan demikian [pula]Kami telah menjadikan kamu [umat Islam]sebagai umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas [perbuatan]manusia.” (Terjemahan QS. Al-Baqarah: 143).

Islam tidak mengajarkan sikap ekstrim dalam syariatnya, baik ekstrim dalam meninggalkan maupun ekstrim dalam melaksanakannya. Maka tidak benar jika Islam selalu dikambinghitamkan ketika ada oknum dari orang Islam yang melakukan tindakan ekstrim dalam menjalankan atau meninggalkan suatu syariat. Itu adalah kesalahan pribadi dan tidak mewakili Islam.

Di sisi lain Islam mengajarkan ketegasan, terlebih pada hal yang menyangkut aturan Allah. Oleh karenanya Islam menetapkan wajibnya shalat, menutup aurat, hukum rajam dan cambuk bagi penzina, potong tangan bagi pencuri, atau penggal leher bagi pembunuh. Orang-orang di luar Islam atau orang Islam yang jahil terhadap ajaran agamanya menuduh Islam sebagai agama ekstrim karena adanya hukuman tersebut. Padahal hukum itu tidak ditetapkan kecuali setelah melalui proses panjang dan pertimbangan matang. Lebih daripada itu aturan-aturan ini ditetapkan untuk kemaslahatan manusia.

Jadi, sikap pertengahan yang diinginkan oleh Islam dapat kita ketahui melalui kajian yang menyeluruh terhadap syariat yang telah ditetapkan. Menghindari sikap ekstrim dalam melaksanakan syariat bukan berarti kendur dan plin-plan dalam beragama.

Larangan Sikap Ekstrim

Allah telah mengingatkan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani agar tidak bersikap berlebihan:

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan [melampaui batas]dalam agamamu dengan cara tidak benar. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya [sebelum kedatangan Muhammad], yang telah menyesatkan kebanyakan [manusia], dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Terjemahan QS. Al-Maidah: 77).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengambil tindakan preventif untuk menjaga umatnya agar tidak terjerat dalam perangkap ghuluw, di antaranya:

    • Beliau menegur salah seorang istrinya yang memaksakan diri untuk melaksanakan shalat malam sehingga harus membentangkan tali guna bertumpu padanya di saat tidak mampu lagi berdiri.
    • Beliau mencela tiga orang lelaki, yang pertama karena bersumpah untuk tidak tidur malam, yang kedua bersumpah untuk puasa setiap hari, dan yang ketiga bersumpah untuk tidak menikah selama-lamanya.
    • Beliau melarang memosisikan seseorang lebih daripada yang seharusnya, termasuk pada diri beliau pribadi, padahal beliau adalah seorang nabi dan rasul. Beliau bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan kepada Isa bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah hamba Allah dan rasulNya.” (HR. Bukhari). Bahkan beberapa hari sebelum meninggal, beliau telah memperingatkan umatnya untuk tidak mengkultuskan kuburannya atau menjadikannya sebagai tempat perayaan, beliau bersabda, “Allah melaknat orang Yahudi dan Nasrani karena telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian juga sabdanya, “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘id [tempat perayaan].” (HR. Abu Daud, shahih). Secara umum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dan mencela sikap ekstrim dalam sabdanya, “Binasa orang-orang ekstrim, binasa orang-orang ekstrim, binasa orang-orang ekstrim.” (HR. Muslim), dan sabdanya, “Jauhilah sikap ghuluw [ekstrim]dalam beragama.” (HR. Ahmad, Nasai, dan Ibnu Majah, shahih).

Penyebab Terjadinya Sikap Ekstrim

Banyak hal yang mendorong orang melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas), namun pemicu utamanya adalah: 1. Dangkal ilmu agama. Ini adalah penyakit kronis, biang dari segala malapetaka. Dangkal ilmu mencakup ilmu tentang kandungan al-Qur’an dan sunnah, serta manhaj [metode]ulama salaf dalam mempraktekkan syariat Islam. Dalam firman Allah (yang artinya):

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (Terjemahan QS. An-Nisa: 171).

Terdapat isyarat bahwa ada hubungan erat antara sikap melampaui batas dengan kedangkalan ilmu, karena firman Allah, “Janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” adalah larangan menetapkan hukum tanpa dasar ilmu yang berasal dari Allah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membagi harta hasil perang, ada seseorang yang memprotesnya dan menuduh beliau tidak adil dalam membagi harta itu, kemudian orang itu pergi. Di saat itu beliau bersabda,

“Sesungguhnya dari keturunan orang ini ada kaum yang membaca al-Qur’an namun tidak sampai kecuali pada kerongkongannya, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam sabda beliau ini juga terdapat isyarat bahwa sikap ekstrim sangat erat hubungannya dengan kedangkalan ilmu, ini dapat kita lihat dari sabdanya, “Kaum yang membaca al-Quran namun tidak sampai kecuali pada kerongkongannya.“ yang berarti bahwa ia hanya sebatas membaca, tidak menjiwai dan tidak pula mempelajarinya sehingga melahirkan pemahaman yang keliru dan menyimpang. Penyebab kedangkalan ilmu ini sangat banyak, di antaranya: Enggan belajar atau belajar dengan sistem autodidak tanpa bimbingan ulama atau guru yang terpercaya dan memiliki kemapanan ilmu. 2. Mengedepankan hawa nafsu. Ini juga termasuk penyebab kuat seseorang menyimpang dari kebenaran dan dapat menggiringnya ke jalan sesat. Allah Ta’ala berfirma (yang artinya)n “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Terjemahan QS. Shad: 26). Oleh karena itu Allah menggandengkan antara sikap ekstrim dengan mengikuti hawa nafsu dalam firmanNya dalam surah Al Maidah: 77 yang telah disebutkan di atas. Ini menunjukkan bahaya sikap mengikuti hawa nafsu, sebab bisa jadi seseorang memiliki ilmu namun karena mengikuti hawa nafsunya maka ilmunya ditinggalkan atau berusaha mencari pembenaran terhadap sikap ekstrimnya dengan mengotak-atik ilmu yang dimilikinya. Terkadang ia menyadari bahwa apa yang dilakukannya keliru, namun karena ada maslahat duniawi yang menggoda nafsunya sehingga ia meninggalkan ilmunya untuk mendapatkan maslahat duniawi yang sedikit itu.

Antisipasi Sikap Ekstrim

Untuk menjaga diri kita dan umat Islam dari sikap ekstrim, maka perlu melakukan hal berikut: 1. Menuntut ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama yang bersumber dari al-Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang murni. Dalam mempelajari keduanya kita perlu mengetahui skala prioritas dan metode dalam mempelajari dan memahami ilmu tersebut. Ilmu yang dapat menjadi benteng kuat dari sikap ekstrim adalah ilmu akidah yang benar, yang diambil dari al-Quran dan hadits yang shahih. Bukan dari orang-orang filsafat yang mayoritas nonmuslim, sehingga melahirkan paham-paham sesat, atau hasil pemikiran orang-orang kebatinan yang memunculkan khurafat dan syirik. Tidak kalah pentingnya metode dalam mempelajari dan mengamalkan ilmu tersebut. Yaitu dengan mengacu kepada pemahaman ulama salaf dari kalangan sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Karena mereka telah menerima ilmu ini langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jauh dari paham-paham yang menyimpang. Semua ilmu itu kita ambil melalui bimbingan ulama-ulama dan guru-guru terpercaya yang telah mewarisi ilmu para ulama salaf tersebut. 2. Mengedepankan kebenaran dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi atau golongan. Hal ini dapat terwujud jika terdapat niat baik dan ikhlas, berani kembali kepada kebenaran dan meninggalkan kebatilan walaupun telah menjadi tradisi.

“Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali [bila]diberi petunjuk?” (Terjemahan QS. Yunus: 35).

3. Menggencarkan syiar Islam dan dakwah kepada kebenaran. Di antara penyebab menyebarnya paham sesat adalah karena dakwah dan amar makruf nahi mungkar kita lemah, sehingga benih-benih paham sesat dengan mudah tumbuh berkembang dalam masyarakat dan menjadi sesuatu yang dianggap benar atau boleh. Ini adalah tugas setiap pribadi muslim, namun lebih terkhusus bagi para ulama dan da’i. Peran mereka sangat diharapkan dalam rangka meluruskan paham-paham menyimpang yang tengah berkembang di masyarakat. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dan umat Islam dari paham-paham menyimpang dan senantiasa membimbing kita ke jalan yang lurus hingga perjumpaan denganNya di akhirat kelak, Amin.[]

Sumber: MarkazInayah.com

Share.

Leave A Reply