Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad, ”Wahai Imam, apakah kami boleh menulis ilmu dari Muhammad bin Mansur at-Thusy?”, demi mendengarnya Imam Ahmad pun langsung menjawab, ”Jika engkau tidak menulis ilmu dari Muhammad bin Mansur, maka dari siapa lagi engkau akan mengambil ilmu?” Berulang-ulang Imam Ahmad mengatakan itu. Orang tadi berkata lagi, ”Tapi wahai Imam, ia telah mencela anda”, Sang Imam menjawab, ”Ia adalah orang yang saleh, sedang teruji dengan kita, apa boleh buat?”[1].
Subhanallah … sungguh menakjubkan sekali potret ketakwaan ulama salaf terhadap Rabb mereka, dan betapa adilnya sikap mereka terhadap orang lain!!
Kita melihat pada kisah di atas, dikabarkan kepada Imam Ahmad bahwa at-Thusy telah mencelanya, walau begitu beliau tidak serta-merta mentahdzirnya (mewanti-wanti orang agar menjauhinya). Inilah bentuk amanah, di mana beliau memberi nasihat kepada para penuntut ilmu yang bertanya padanya, agar tetap mengambil faedah dari seorang ahli ilmu yang memiliki sedikit cela, namun itu tidaklah mempengaruhi kesalehan dan keilmuannya.
Adapun sikap pribadi dari Imam at-Thusy yang mencela imam Ahmad, maka itu merupakan ujian dan cobaan baginya, walaupun beliau tetap seorang yang memiliki keutamaan dan kemuliaan.
Lebih mengagumkan lagi adalah jawaban Imam Ahmad yang sangat sederhana: ”Ia adalah orang yang saleh, sedang teruji dengan kita, apa boleh buat?”
Sungguh demi Allah … apa yang bisa kita perbuat bila ada seorang yang baik, aktif mengamalkan sunah tapi ia mencela kita, apakah kita juga akan mentahdzir (mewanti-wanti) orang agar menjauhinya sebagaimana kita mewanti-wanti bahaya orang yang sesat? Akankah kita menjadikan diri kita sebagai tolak ukur wala’ dan bara’, seakan kita adalah Rasul atau sahabat Rasul, dan semua yang menyelisihi kita adalah sesat?
Sesungguhnya takwa dan sikap adil bila telah terpatri kuat pada diri, terkadang menjadikan seorang itu walaupun ia kuat tetapi tampak seperti seorang pecundang. Bila ia teruji dengan saudara seagamanya yang saleh, mencelanya dan menjauhkan orang darinya, maka ia tetap tidak membalas celaan itu walau itu sangatlah mudah baginya bila ia mau. Tetapi ia tidak membalasnya karena ia paham betul bahwa ia tidak boleh jatuh ke lubang kesalahan yang sama seperti saudaranya itu. Ini adalah sikap yang sangat sulit pastinya.
Dan lebih sulit lagi adalah bagaimana seorang yang adil bisa melarang sahabat-sahabatnya dari mencela rivalnya yang berselisih dan berseteru dengannya, sehingga ia menjadi orang terdepan dalam membela kehormatan rivalnya itu. Mari kita lihat sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu sebagai contoh nyata, suatu saat terjadi perselisihan antara beliau dan Khalid bin Walid, kemudian ada seseorang yang mencela Khalid bin Walid di depan Sa’ad bin Abi Waqqash, maka beliau langsung membentaknya dengan mengatakan, “Diamlah!! sesungguhnya perselisihan yang terjadi di antara kami bukanlah dalam masalah agama.”[2]
Allah Akbar!! Siapakah yang mampu menerapkan akhlak yang mulia ini kecuali para pewaris Nabi? Sa’ad bin Abi Waqqash membela kehormatan sahabatnya Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhuma padahal mereka sedang berselisih agar jelas bagi orang tadi bahwa perselisihan yang terjadi antara dia dengan Khalid tidak berarti membiarkan orang lain merendahkan dan menghina sahabatnya itu, seberapa besar pun perselisihan di antara keduanya, bahkan walaupun telah sampai pada tingkat emosi yang tinggi.
Ya, memang berbeda sekali antara permusuhan karena agama yang tujuannya untuk mengingatkan umat dari bahaya musuh agama Allah, dengan perselisihan dalam urusan pribadi antara kedua bersaudara yang sama-sama di atas sunnah, kemudian terjadi perselisihan di antara keduanya dan salah satunya memang salah. Nah, dalam keadaan demikian walaupun terjadi adu mulut tidak serta-merta mereka boleh mencaplok hak saudaranya. Bila salah satu telah berbuat demikian bukan berarti saudaranya boleh berbuat seperti itu juga.
Sungguh indah seandainya kita semua pada masa kini mampu mengikuti jejak para salaf terdahulu, sehingga kita berusaha menyingkirkan nafsu kita dan niat-niat buruk yang tersembunyi di dalam hati. Lihatlah pada saat ini beberapa orang mentahdzir saudaranya seaqidah seperti mentahdzir para perusak sunah dan musuh aqidah, hanya karena ada perselisihan dan permasalahan pribadi, atau hanya karena perbedaan pendapat yang sebenarnya masih bisa ditolerir oleh para salaf, sehingga tidaklah perlu perselisihan itu membuat hati saling membenci, apalagi sampai menjauhkan manusia dari saudara kita yang masih satu jalan dan satu aqidah.
Perlu diingat di sini bahwa apa yang disebut di atas bukan berarti mengesampingkan firman Allah Ta’ala:
لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang-terangan kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS. An-Nisa: 148)
Karena maksud dari ayat ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Karim al-Jazary rahimahullah, ”Yang dimaksud oleh ayat itu adalah bila ada orang mencacimu, maka engkau boleh membalas caciannya, tetapi bila ia menuduhmu dengan dusta, maka engkau tidak boleh membalasnya dengan tuduhan dusta pula.”[3] Jadi membalas cacian adalah boleh, adapun membalas dengan tuduhan dan perkataan dusta, maka ini adalah mutlak keharamannya, karena tuduhan dusta itu bisa menyeret seseorang pada tuduhan kafir, maka tidaklah boleh bila seseorang dituduh kafir lalu ia membalas dengan menuduh kafir juga.
Maka dari itu ketika Imam Ibnu Taimiyah mendengar beberapa orang mengatakan, ”Kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang yang mengkafirkan kami.”, beliau langsung membantahnya dengan mengatakan, ”Hukum mengkafirkan sama sekali bukanlah hak mereka, tapi itu adalah hak Allah, maka dari itu tidak berhak seseorang itu membalas tuduhan dusta yang diarahkan padanya dengan dusta pula.”[4] Jadi seorang mukmin itu bisa jadi ada yang menuduhnya kafir tetapi tidak membalas dengan tuduhan kafir pula, atau bisa jadi ia dituduh dengan tuduhan-tuduhan dusta lainnya tetapi sama sekali ia tidak membalas dengan semisalnya, bukan karena pengecut tapi karena seorang mukmin itu adalah seorang yang wara’ dan bersikap adil.
Akhirnya kita memohon kepada Allah Ta’ala yang telah memuliakan kita dengan menjadikan para pendahulu (salaf) kita sebagai teladan terbaik umat ini, agar kita juga dimudahkan untuk mengikuti jalan hidayah yang mereka tempuh, dan menjadikan kita generasi yang berpegang teguh pada manhaj mereka, karena mereka adalah para penghulu yang bertakwa sebagaimana firman Allah: “Imamnya orang-orang yang bertakwa.”
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam, beserta keluarganya dan para sahabat-sahabatnya.
Diterjemahkan dari tulisan Syekh DR. Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Anqary -hafidzahullah-, dengan judul: “al-inshaf alladzi ‘ajazna ‘anhu“
Berikut ini adalah sumber linknya:
https://www.al-angarie.com/news-28.html
________________________________________
[1] Thabaqat al-Hanabilah 2/45
[2] HR. Abu Nu’aim 1/9594
[3] Tafsir Ibnu Katsir 1/571
[4] Minhajus Sunnah 5/224
(Sumber: MarkazInayah.com)