Siapa Pemimpin Kita?
Citizen reporter : Jayadi Hasan, Selasa 5 Maret, IBF, Istora Senayan
Dalam talkshow bertajuk “Memilih pemimpin yang berkarakter Qurani” selasa 5 maret 2013 di event Islamic Book Fair 2013 yang bertempat di Istora Senayan, Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin memberikan jawaban atas pertanyaan salah seorang yang hadir yang bertanya : “Siapakah amir atau pemimpin dalam Islam? Atau dengan kata lain siapa yang berhak menjadi pemimpin dalam Islam?
Wakil ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini memberikan jawaban: “Untuk menentukan siapa amirul mukminin atau hakim yang wajib taat kepadanya secara fiqh harus memenuhi dua kriteria : Syarat pertama : 1. Memenuhi Syarat Imamah dalam Islam, dan yang terpenting dari syarat Imamah ini adalah : Mukmin, tidak kafir (artinya Muslim, menerima syariat ini dengan lapang dada, tidak menolaknya, tidak berkeyakinan bahwa ada ajaran lain di luar syariat ini sama atau lebih baik dari dari ajaran ini dan juga tidak berkeyakinan bahwa halal bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran Islam ini) dan tidak musyrik, di sini perlu dijelaskan walaupun seorang amir adalah muslim tapi dia berbuat kesyirikan maka dia tidak berhak mendapatkan ketaatan dari kaum Muslimin, di antara Syarat Imamah lainnya adalah memiliki sifat adaalah (adil), Ilmu dan seterusnya.
Kriteria kedua : Memiliki wilayah / De Facto (kekuasan). Beliau menjelaskan pada kriteria pertama hampir semua pemimpin negeri-negeri kaum Muslim saat ini gugur, tidak masuk kriteria pertama, sebab kebanyakan mereka bukan mukmin, kebanyakan mereka tidak menegakkan sholat.
Ketua umum ormas Wahdah Islamiyah ini bercerita: “ada seorang pemimpin negeri Muslim yang begitu ingin mendapatkan dukungan kaum muslimin ketika banyak orang yang menghujatnya karena tindakan kezhalimannya, pernah suatu ketika juru bicaranya berkata; “pemimpin kami ini adalah seorang muslim yang baik, buktinya dia biasa mengerjakan sholat 2 atau 3 kali dalam sehari!!”
Pemimpin yang seperti ini tidak memenuhi kriteria pertama yang telah disebutkan tegas beliau.
Pada kriteria kedua: Seluruh pemimpin ormas-ormas Islam gugur pada kriteria tersebut, walaupun umumnya pemimpin-pemimpin ormas memenuhi syarat-syarat Imamah pada kriteria pertama, mereka gugur karena mereka tidak memiliki kekuasaan.
Karena sekarang tidak adanya figur yang memenuhi kedua kriteria tersebut maka para pemimpin yang ada di lingkungan kita tinggal baik sebagai pemimpin ormas atau masyarakat atau negara dapat kita taati dalam keadaan darurat, karena tanpa pemimpin akan jauh lebih buruk, inilah salah satu prinsip aqidah ahlussunnah wal jamaah yang membedakan dengan Syiah.
Dalam sesi clossing statmen masing-masing pembicara diberikan kesempatan untuk memberikan kesimpulan penutup,Ustadz Bachtiar Nashir sebagai pembicara pertama menjelaskan bagaimana langkah-langkah praktis sebagai dalam mewujudkan kepemimpinan Islam: “pertama kita harus memulai dari diri sendiri dan keluarga, Jangan menjadi keluarga Hajrul Quran, kata sekjen MIUMI tersebut, setelah itu membangun komunitas yang mewujudkan nilai-nilai Quran”
Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin menambahkan dari apa yang disampaikan Ustadz Bachtiar dalam mewujudkan hal itu, “Bangun optimisme bahwa kepemimpinan masa depan ada di tangan kita, tanda-tanda kejayaan itu kian jelas terpampang di depan mata: Banyak kaum Muslimin yang kembali kepada pangkuan Islam akhir-akhir ini begitu mencengangkan, termasuk orang-orang yang belajar di barat yang di istilahkan oleh Muhammad Qutb : Al-Mufaajaat (hal-hal yang diluar dugaan orang-orang barat) bukti lainnya Semakin banyak orang masuk Islam, terutama setelah peristiwa 11 September, tanda lainnya, persentasi kaum muslimin saat ini adalah 1,5 milyar dari 7,5 penduduk dunia sekarang artinya jika di buat perbandingan persentasi jumlah kaum muslimn saat ini 1 banding 5 dari total penduduk dunia saat ini”
Statmen terakhir dari Ustadz Zaitun ini di sambut takbir oleh hadirin.[]