Oleh: ustadz Muhammad Irfan Zain, Lc.
Shalat adalah ibadah termulia di dalam Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tujuan dari pelaksanaan ibadah ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah lewat firman Nya;
{ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ } [العنكبوت: 45]
“Sesungguhnya shalat adalah ibadah yang dapat mencegah seorang dari tindakan keji dan mungkar.”. (al Ankabuut; 45)
Mengetahui tujuan itu, sering muncul pertanyaan, “Shalat seperti apa yang bisa menyampaikan seorang pada tujuan mulia yang dimaksud ?”.
Tentu jawabannya adalah shalat yang berkualitas. Apa dan bagaimana standar dari shalat yang berkualitas itu ?. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”. (HR. Baihaqi, 2/298)
_______________________________________
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا كَبَّرَ فِى الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيَّةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ سُكُوتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُولُ قَالَ « أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنْ خَطَايَاىَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِى مِنْ خَطَايَاىَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ ».
“Apabila usai bertakbir (takbiratul ihram), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam sejenak sebelum mulai membaca surah al Faatihah. Aku bertanya; wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apa gerangan yang engkau baca selama engkau diam antara takbir dan bacaan al Faatihah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, -membaca doa iftitah, sebagaimana yang tersebut dalam teks hadits-“. (HR. Muslim)
Abi Ma’mar berkata;
قُلْنَا لِخَبَّابٍ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَالَ نَعَمْ قُلْنَا بِمَ كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ ذَاكَ قَالَ بِاضْطِرَابِ لِحْيَتِهِ
“Pernah kami bertanya kepada Khabbaab, Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah ketika shalat Dzhuhur dan Ashar? Beliau jawab, Ya. Kembali kami bertanya, Bagaimana kalian mengetahui hal itu? Beliau jawab, Dengan gerakan jenggot Beliau.”. (HR. Bukhari)
Dari kedua hadits ini diketahui bahwa para sahabat adalah generasi yang sangat detail ingin mengetahui serinci dan sekecil apapun pekerjaan dan bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya; hingga tidaklah mereka dapati diamnya Beliau dalam shalat melainkan mereka tanyakan hal itu, dan bahkan gerakan jenggot Beliau pun dalam shalat tak luput dari pengamatan mereka.
Semua itu, karena mereka adalah generasi yang sangat memahami pentingnya shalat yang berkualitas; memahami sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”. (HR. Baihaqi, 2/298)
____________________________
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُوم
“Memulai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan melakukan takbiratul ihram.”. (HR. Bukhari)
Salim bin Abdillah berkata, dari ayahnya;
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ مَنْكِبَيْه
“Saya menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dua pundaknya (melakukan takbiratul ihram).”. (HR. Bukhari)
Berdasarkan kedua hadits ini –diantararanya-, imam Ibnu al Qayyim dalam kitab Beliau “Zaad al Ma’aad” berkata;
كَانَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ إذَا قَامَ إلَى الصّلَاةِ قَالَ ” اللّهُ أَكْبَرُ ” وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا قَبْلَهَا وَلَا تَلَفّظَ بِالنّيّةِ الْبَتّةَ وَلَا قَالَ أُصَلّي لِلّهِ صَلَاةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا وَلَا قَالَ أَدَاءً وَلَا قَضَاءً وَلَا فَرْضَ الْوَقْتِ … لَمْ يَنْقُلْ عَنْهُ أَحَدٌ قَطّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ وَلَا مُسْنَدٍ وَلَا مُرْسَلٍ لَفْظَةً وَاحِدَةً مِنْهَا الْبَتّة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat dengan berdiri dan berkata, “Allahu akbar” (bertakbir). Beliau tidak sedikitpun mengatakan sesuatu selain itu sebelumnya; tidak melafadzkan niat; tidak mengatakan, Saya berniat melaksanakan shalat tertentu menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum shalat diwaktunya atau qadha … tidak satupun riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan anjuran untuk melafadzkan niat seperti ini; tidak didapatkan dari hadits shahih, tidak pula dari hadits lemah, tidak dari hadits musnad dan tidak pula dari hadits mursal …”. (Zaad al Ma’aad, 1/194)
Andai anjuran melafadzkan niat ketika akan shalat itu betul bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya akan dinukil oleh sahabat-sahabat Beliau yang –sebagaimana deskripsi awal telah diungkapkan - sangat detail ingin mengetahui dan mengabari kepada kaum muslimin serinci apapun pekerjaan Beliau ketika shalat, bahkan bacaannya pada saat diam dan gerakan jenggotnya sekalipun.
_______________________________________
Tidak dipungkiri bahwa melafadzkan niat adalah satu diantara persoalan yang menuai kontroversi panjang dikalangan ulama …
Tetapi –alhamdulillah- Allah telah mengarahkan kita dalam menyikapi setiap perselisihan itu lewat firman Nya;
{فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً} [النساء: 59]
“Jika kamu bersilang pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”. (an Nisaa; 59)
Wallahu al muwaffiq ilaa ahsani at thariiq wal hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin