Satu Sebutan Beribu Gelar
Keputusan itu telah ditetapkan. Sang Segala Maha, Penguasa Jagad Raya menjadi hakim atas sebuah standar nilai permanen yang akan merubah cara pandang dan semua teknik perbandingan antar manusia. Bahwa, seutama-utama manusia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Satu kata yang menjadi pemutus semua pandangan dan perasaan manusia akan makna keberhasilan, kesuksesan.
Takwa adalah gelar langit yang sekaligus memuat keutamaan, kemuliaan, dan kehormatan diri, juga keindahan sebuah sebutan. Ia merdu mewangi menyebar ke antero negeri di bumi, dan meninggi hingga melampaui tujuh petala langit. Sebuah pengakuan yang berlaku abadi di seluruh penjuru semesta cipataan Ilahi Rabbi akan hakikat kemanusiaan, buah dari keimanan yang menghujam dalam, bersemayam di relung sanubari insan.
Ia bukan sekedar gelar kosong tanpa arti, yang bahkan bisa dibuat oleh mufakat busuk para pendendam kebenaran. Lengkap dengan semua attribut penghargaan palsu itu; piala, histeria, puji-puji, publikasi, hingga decak kagum dan hadiah melimpah dalam bungkus acara megah nan meriah.
Takwa, ia bermula dari rasa takut akan kemurkaan dan kemarahan Allah. Buah dari makrifat tentang kebesaran dan keagungan-Nya yang sempurna. Sebuah keadaan peduli hari esok yang menjaga dan melindungi pemiliknya dari kelalaian pengerjaan kewajiban, memberinya energi meninggalkan perkara haram, serta membatunya menghindari hal-hal syubhat. Inilah yang membuat hidupnya berbeda dengan siapapun, dengan gelar apapun, dalam kondisi bagaimanapun. Sebab Allah pun akan menjaga dan melindunginya, hingga dia tidak akan pernah merasa sendirian, meski juga tak mendapat penghargaan.
Bagaimana manusia-manusia itu mengklaim kemuliaan dan keutamaan sedang hakikatnya mereka tidak beriman kepada Allah, sebaik-baik kebaikan? Padahal Allah telah mempermaklumkan mereka yang ingkar sebagi seburuk-buruk makhluk melata di muka bumi. Yang tidak takuk kepada apapun, bahkan kepada sang Pencipta neraka! Allah hanya akan menerima ketakwaan, hanya menyayangi hamba yang bertakwa, dan hanya memberi balasan amal manusia karena takwa.
Takwa, akhirnya menjadi ukuran tunggi dalam kompetisi antar manusia. Hingga apapun celah penilaian atas persaingan dan pencapaian, serta emeunculkan pemberian gelar, selama hal itu dalam kebaikan, haruslah bermuara pada figur yang sama. Hamba yang bertakwa akan tampil dalam beribu sebutan kebaikan yang lain. Pemilik kalbu salim, penebar kebaikan, mujahid di jalan Allah, peraih kebahagiaan sejati, pencetak sukses hakiki, serta apapun gelar yang mungkin kita buat dan munculkan, hanyalah nama lain dari hamba bertakwa ini.
Hingga jika sebuah gelar keutamaan yang muncul dan memberi sosok selain hamba yang bertakwa, apalagi manusia yang ingkar kepada Allah, pastilah ada yang salah. Baik dalam penetapan standar, proses penilaian, hingga pengambilan keputusannya. Kita pasti keliru sebab ia bertentangan dengan keptusan yang telah dibuat, dan diumumkan oleh Sang penguasa alam. Tapi berapa banyak di antara kita menyadarinya?
Sumber: Majalah ar-Risalah edisi 95 vol. VIII No. 11 tahun 2009