Sang Ulama dan Gadis Kecil
Syahdan, sore itu, seorang ulama sedang duduk santai di teras rumahnya. Tak lama kemudian lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil terisak-isak.
Keesokan harinya, usai shalat subuh, gadis kecil itu melintas menuju makam ayahnya. Sang ulama penasaran dan mengikuti langkah gadis kecil itu, lalu bersembunyi di balik pohon mengamati gerak-geriknya. Gadis kecil itu pun berjongkok di pinggir gundukan tanah makam yang masih merah, menempelkan pipinya seraya berkata pilu:
“Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah? Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, Ayah?, kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?’
Mendengar rintihan gadis kecil itu, sang ulama tak tahan menahan isak tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu.
“Hai, gadis kecil!, jangan berkata seperti itu. Ucapkanlah: “Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah, Ayah? Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercabik-cabik, Ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah mengoyak daging tubuhmu?”
Sang Ulama melanjutkan: “Ayah, para Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, Ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah, engkau tidak berdaya? Ayah, Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman surga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?”
“Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, Ayah?”
“Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti!!”.
Gadis kecil itu terkesima, kemudian menengok kepada sang Ulama: “Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap dan lalai”. Kemudian, sang ulama dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.
Disadur ulang dari sebuah kisah hikmah.
Makassar, 12 September 2013
Ustadz Rapung Samuddin