Salafiyah Dan Pemahaman Yang Komprehensif Terhadap Ajaran Islam
Manhaj al-salafus shalih adalah Islam yang murni itu sendiri, sebagaimana digambarkan oleh Rib’iy bin ‘Amir radhiyallahu anhu kepada Rustum, raja Persia, “Allah telah mengirim kami untuk mengeluarkan siapa yang dikehendaki-Nya dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan kepada Allah, dan dari kesempitan dunia menuju kepada keluasannya.”[1]
Al-Salafus shalih sendiri senantiasa mengajarkan kebenaran dan kasih sayang terhadap manusia. Kasih sayang dan simpati ini melahirkan kelapangan dada, sebagaimana halnya kasih sayang melahirkan sedekah dan berbagai bentuk derma lainnya.
Ibnu Qayyim menulis: “Orang yang bersedekah, setiap kali bersedekah dengan sesuatu, akan merasakan ketenangan hati dan kelapangan dada . . . maka setiap kali ia bersedekah, semakian luas, lapang, longgar dan kuat kegembiraan dan besar kebahagiaannya.”[2]
Keimanan Ahlus Sunnah kepada semua nash-nash syariat dan kedalaman ilmunya mengantar mereka kepada keluasan pemahaman. Mereka menerima kebenaran dari siapa saja. Karenanya, mereka adalah kelompok yang paling teguh berpegang pada dalil. Mereka menggunakan dalil-dalil tanzih dan istbat secara keseluruhan dalam hal sifat-sifat Allah. Begitu juga dalam konteks qadha’ dan qadar Allah, mereka beriman bahwa makhluk benar-benar nyata berbuat dan beriman pula bahwa dosa dapat mengurangi kesempurnaan iman. Namun itu tidak sampai pada tingkatan mengeluarkan pelakunya dari Islam. Mereka juga membedakan antara hal-hal yang ijma’ dan masalah-masalah ijtihadiyah. Selain itu, mereka juga senantiasa mempertimbangkan faktor-faktor penghalang jatuhnya vonis kafir, seperti ketidaktahuan (jahl), ta’wil, dan semacamnya.
Keluasan ini tidak hanya dalam masalah-masalah praktis saja, tetapi juga dalam masalah-masalah dalil dan argumen. Salaf selalu komitmen dan berdalil dengan wahyu. Penuh perhatian dengan pemahaman terhadap nash Al-Qur’an dan Sunnah, di samping berargumentasi dengan dalil-dalil logika dan hal-hal yang bersifat fitrah.
Keluasan pemahaman dan wawasan, sama seperti wasathiyah (moderat, pent.) yang menjadi karakter pembeda antara Ahlus Sunnah dengan sekte-sekte lainnya. Wasathiyah tidak identik dengan sikap plin-plan dan mengikuti arus. Tetapi ia merupakan wasathiyah yang diajarkan oleh syariat, yaitu iman kepada semua nash syariat, menerima ajaran agama secara total, tanpa mencari-cari rukhsah (keringanan, pent.) dan tanpa berlebih-lebihan dalam sikap beragama.
Keluasan pemahaman juga tidak akan terwujud kecuali dengan komitmen terhadap ajaran agama dalam berdalil dan berargumen, ilmu dan amal, jauh dari sikap ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (lalai) ataupun mencari-cari rukhsah (keringanan). Karena mencari-cari rukhsah termasuk tindakan memperturutkan hawa nafsu. Padahal Allah telah melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan untuk komitmen mengikuti petunjuk. Allah berfirman:
{فَإن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِـمِينَ} [القصص: 50]
”Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى} [النازعات: 40].
”Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”.
Imam Syathibi menjelaskan akibat mengikuti rukhsah, bahwa hal itu dapat mengakibatkan “keluar dari agama dengan meninggalkan dalil dan beralih mengikuti pendapat yang diperselisihkan dan juga meremehkan agama, karena dengan demikian ia menjadi plin-plan dan tidak konsisten.”[3]
Sangat tepat apa yang beliau kemukakan dan sejalan dengan realita. Jika kekuatan nilai agama sangat lemah dan rapuh di dalam hati, maka ia sebetulnya lebih “transparan daripada baju yang tipis.”
Intinya adalah bahwa al-salafus shalih telah menampilkan pemahaman yang luas dan komprehensif ini, sebagaimana tampak jelas dalam perkara-perkara berikut.
Zikir merupakan amalan yang paling afdhal sesuai dengan Hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Inginkah kalian aku beritahukan amal yang terbaik, tersuci di sisi Tuhanmu, tertinggi derajatnya, lebih baik bagi kalian dari emas, bahkan lebih baik daripada kalian menjumpai musuh lalu menebas leher mereka atau mereka menebas leher kalian (jihad)? Sahabat-sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Zikir kepada Allah.”[4]
Tetapi zikir kepada Allah tidak terbatas pada wirid yang ma’tsur (ada riwayatnya) saja, seperti zikir pagi dan petang atau semacamnya. Tetapi zikir mencakup segala aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Seperti bergelut dengan ilmu yang bermanfaat, amal shalih, saling menasehati dalam kebenaran.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam pernyataannya: ”Segala yang diucapkan oleh lidah, dibayangkan oleh hati, di antara yang mendekatkan diri kepada Allah, berupa belajar dan mengajarkan ilmu, amar ma’ruf-nahi mungkar, maka hal itu termasuk zikir kepada Allah. Karena itu, barang siapa sibuk mempelajari ilmu yang bermanfaat setelah menunaikan tugas wajib, atau duduk dalam satu majlis mempelajari dan mengajarkan ilmu yang dinamakan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai fiqh, maka hal itu juga termasuk di antara zikir termulia”.[5]
Zikir kepada Allah juga dipandang sebagai doa, sebagaimana dalam doa karb,
«لا إله إلا الله العظيم الحليم، لا إله إلا الله ربُّ العرش العظيم، لا إله إلا الله ربُّ السموات وربُّ الأرض ربُّ العرش الكريم» .
“Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Pengampun. Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan yang menguasai arasy yang agung. Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan yang menguasai langit dan bumi. Tuhan Yang Maha Mulia dan menguasai arasy”.[6]
Zikir juga dipandang sebagai shalat, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, “Jika anda berzikir kepada Allah, maka anda terhitung dalam keadaan shalat walaupun anda di pasar.” Dan pernyataan Mu’az bin Jabal, ”Mempelajari ilmu merupakan tasbih.”[7]
Hal demikian juga berlaku dalam berbagai ibadah, bahwa ibadah tidak terbatas pada ibadah yang tertentu saja, tetapi mencakup segala aktivitas yang dicintai dan diridhai Allah, termasuk di dalamnya misalnya: silaturahim, menepati janji, berjihad memerangi orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, ibnus sabil (terlantar di negeri orang) dan binatang.[8]
Contoh lain adalah tawassul. Di antara tawassul yang disyariatkan adalah tawassul kepada Allah dengan amal shalih. Sebagian orang memahami bahwa tawassul ini hanya terbatas pada ungkapan orang yang berdoa: “Allahumma inni atawassalu ilaika bi ‘amaliy al shalih” (Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan amal shalihku). Pada hal sebenarnya tidak terbatas demikian, bahkan lebih luas dan lebih komprehensif daripada itu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam pernyataannya: “Tawassul dengan beriman dan taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wajib bagi setiap individu dalam segala keadaan, secara lahir maupun batin, saat beliau masih hidup ataupun setelah wafatnya, saat disaksikan oleh beliau atau tidak. Tawassul dengan beriman dan taat kepadanya tidak gugur dari setiap individu dalam keadaan apa pun.”[9]
Contoh ketiga adalah terminologi jihad fii sabilillah. Jihad merupakan terminologi yang luas, mencakup jihad dengan tangan dan senjata, jihad dengan hujjah dan burhan (argumentasi), jihad dengan harta. Tetapi dasarnya semua kembali kepada jihad dengan jiwa. Hal itu semua masuk dalam konteks amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Karenanya, Imam Syathibi mengatakan: “Jihad yang disyariatkan di Madinah merupakan salah satu bagian dari amar ma’ruf dan nahi mungkar yang telah ditetapkan di Makkah, berdasarkan firman Allah:
{يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْـمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْـمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ} [لقمان: 17].
‘Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan berbagai sisi yang menggambarkan luasnya cakupan terminologi jihad fii sabilillah. Dia mengatakan: “Adapun jihad melawan orang kafir dengan lisan, maka ia telah disyariatkan sejak awal Islam hingga akhir. Karena jika berjihad melawan mereka dengan tangan saja disyariatkan, maka berjihad dengan lisan lebih-lebih lagi. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perangilah orang-orang musyrik dengan tangan, lisan dan harta kalian,” padahal dimaklumi bahwa pedang selalu dibutuhkan setiap waktu. Maka demikian juga jihad dengan ilmu dan bayan selalu dibutuhkan. Bahkan menegakkan jihad dengan ilmu dan bayan termasuk di antara menegakkan jihad dengan pedang.”[10]
Ibnu Qayyim menyatakan: “Sesungguhnya jihad melawan hawa nafsu, kalau tidak lebih agung daripada jihad melawan orang kafir, maka paling tidak, ia tidak lebih rendah daripada jihad melawan mereka. Tatkala seseorang bertanya kepada Imam Hasan Basri rahimahullah, ‘Wahai Abu Said, jihad apakah yang terafdhal?’ Dia menjawab, ‘Anda berjihad melawan hawa nafsumu.’
“Saya mendengar guru kami (Ibnu Taimiyah) mengatakan: ‘Berjihad dengan jiwa merupakan asas jihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik., Karena seseorang tidak sanggup berjihad melawan mereka kecuali setelah ia berjihad melawan diri dan hawa nafsunya, hingga ia bisa keluar melawan mereka.”[11]
Kesimpulannya adalah bahwa di balik nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah terdapat mutiara hikmah dan makna yang tidak ada putus-putusnya. Ayat-ayat Al-Qur’an merupakan kaedah global yang bersifat umum, sedang Hadits-hadist Nabi shallahu ‘alaihi wasallam merupakan jawami’ul kalim (ungkapan singkat yang mengandung banyak makna). Karenanya, komitmen berpegang pada tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah dapat mewujudkan pemahaman yang luas, perspektif yang kaya, sejalan dengan akal sehat dan membawa kepada kesucian jiwa. Warisan intelektual al-salafus shalih menjadi bukti atas hal itu semua, sejak dahulu hingga kini. Wabillahi at-taufiq.*
Footnote:
[1] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, VII/39.
[2] Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Wabil al-Shayyib, h. 39.
[3] Al-Muwafaqat, IV/147.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Daud.
[5] Majmu’ al-Fatawa, X/661.
[6] Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
[7] Lihat: Iqtidha’ al-Shirat al-Mustaqim, I/94; Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, VIII/210; Majmu’ al-Fatawa, XIV/215; al-Iman, h. 40-41.
[8] Lihat: Majmu’ al-Fatawa, X/149 (al-‘Ubudiyah).
[9] Qa’idah Jalilah fii al-Tawassul wa al-Wasilah, h. 3.
[10] Al-Jawab al-Shahih, I/74-75.
[11] Raudhah al-Muhibbin, h. 478.
(alinshof.com/wahdahmakassar.org)