Oleh, Ustadz H. M. Said Abdul Somad, Lc
(Anggota Komisi Dakwah MUI Makassar dan Ketua LPPI Perwakilan Indonesia Timur)
Para ulama adalah pewaris para Nabi sebagaimana sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam “inna al-’ulama waratsatul ‘anbiya” (HR. Abu Daud), dan para Nabi itu adalah “orang-orang yang menyampaikan risalah Allah dan selalu takut kepada Allah serta tidak takut kepada seseorang kecuali hanya pada-Nya”. (QS Al-Ahzab: 39).
Karena itu para ulama sangat tanggap terhadap perkembangan keagamaan umat Islam, dan akan segera memberi fatwa terhadap paham yang dikhawatirkan menyimpang, apalagi kalau berkaitan dengan akidah, sementara umat Islam sudah membutuhkan fatwa itu. Menunda-nunda penjelasan dan fatwa disaat diperlukan adalah tidak boleh, sesuai kaidah ilmu ushul fikhi menyatakan, “Ta’khirul bayan ‘an waqtil hajah la yajuz”.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah membukukan fatwa-fatwanya dalam buku “Himpunan Fatwa MUI [HF MUI]” dengan tujuan: 1. Untuk disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat agar diketahui dan dijadikan pedoman dalam kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan. (HF MUI. IX); 2. Memberi manfaat bagi terbentuknya masyarakat yang mutadayyin dan mutamaddin. (HF MUI. IX); 3. Memberi manfaat bagi masyarakat luas, baik untuk kepentingan amaliah, maupun untuk kepentingan ilmiah; 4. Menjadi pegangan dan pedoman bagi masyarakat dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa. (HF MUI. X).
Kami dari LPPI berusaha mengkaji kitab Himpunan Fatwa MUI Pusat maupun Fatwa MUI Daerah tentang Syiah dan hasilnya kami kemukakan sebagaimana berikut:
MUI sangat peka terhadap penyimpangan agama dan akan segera menghadapinya dengan serius dan sungguh-sungguh: “Penetapan fatwa (MUI, pen) bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.” (Himpunan Fatwa MUI:. 5); “Setiap usaha pendangkalan agama dan penyalah-gunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama. Oleh karena itu, MUI bertekad menanganinya secara serius dan terus menerus.” (Fatwa MUI, 1 Juni 1980, dalam HF MUI: 42).
Fatwa MUI berdasarkan dalil-dalil yang jelas untuk mendapatkan kebenaran dan kemurnian agama. “Fatwa MUI berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah (Hadis), Ijma’ dan Qiyas, serta dalil lain yang dianggap muktabar.” (HF MUI:5), dan “MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fikih) dan masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.” (HF MUI:7).
Penggunaan dalil-dalil yang membawa kepada kebenaran dan kemurnian (agama, pen) ialah apabila didasarkan atas pemahaman dan pengamalan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pengertian yang luas. Penggunaan dan pemahaman dalil yang tidak sesuai Ahlussunnah wal Jama’ah adalah penyimpangan. “Dimungkinkannya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam harus tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas (bila hudud wa bila dhawabith). Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang berada di dalam majal al ikhtilaf (wilayah perbedaan), sedangkan perbedaan yang berada di luar majal al ikhtilaf, tidak dikategorikan sebagai perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan, seperti munculnya perbedaan terhadap masalah-masalah yang sudah jelas pasti (ma’lum min al din bil al dharurah). Majal al ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang masih berada dalam koridor ma ana ‘alaihi wa ashabiy, yaitu paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pengertian luas.” (Ketetapan Ijtima’ Ulama se-Indonesia ke II, Gontor, 26 Mei 2006. HF MUI:841). Dengan demikian faham Syiah yang “menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait, memandang Imam itu maksum (terbebas dari segala dosa), tidak mengakui ijma’ tanpa Imam, memandang bahwa menegakkan kepemimpinan (pemerintahan) adalah termasuk rukun agama, tidak mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, radhiallahu ‘anhum ajma’in.” (HF MUI, Faham Syiah: 46) adalah menyimpang dan sesat serta harus diwaspadai. “Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah [pemerintahan”. Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlussunnah wal Jama'ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan atas ajaran Syiah”. (Rekomendasi MUI 7 Maret 1984. Lihat HF MUI: 46-47). Dan MUI menegaskan sikap mayoritas umat Islam Indonesia terhadap Syiah dalam konsideran fatwa MUI terhadap nikah mut'ah sbb:
“Menimbang: 1. Bahwa nikah mut'ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukan oleh sementara umat Islam di Indonesia terutama dikalangan pemuda dan mahasiswa. 2. Bahwa praktek nikah mut'ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran dan keresahan bagi para orangtua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syiah di Indonesia. 3. Bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama'ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syiah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut'ah secara khusus. (Fatwa Nikah Mut'ah 25 Oktober 1997, lihat HF MUI: 376).
Keterangan tentang kesesatan ajaran Syiah diperkuat oleh, “Sepuluh Kriteria Aliran Sesat” yang telah ditetapkan dalam Rakernas MUI pada Selasa, 6 November 2007 di Sari Pan Pasifik, Jakarta sebagai berikut: 1. Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam; 2. Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i (Al-Qur'an dan Sunnah); 3. Meyakini turunnya wahyu sesudah Al-Qur'an; 4. Mengingkari autentisitas dan kebenaran Al-Qur'an; 5. Menafsirkan Al-Qur'an yang tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam; 7. Melecehkan/ mendustakan Nabi dan Rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir; 9. Mengurangi/menambah pokok-pokok ibadah yang tidak ditetapkan syariah, dan 10. Mengafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya.” Kesepuluh kriteria aliran sesat di atas telah dianut dan diamalkan oleh Syiah Imamiah, Itsna Asyariah, Mazhab Ahlul Bait, menurut hasil Musyawarah BASSRA (Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura) pada tanggal 3 Januari 2012 di Gedung Islamic Centre Pamekasan Madura.
Ada pun Kriteria Aliran Sesat menurut keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh di Banda Aceh tahun 2009 adalah sebagaimana berikut ini: 1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam), yaitu beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-rasul-Nya, kepada hari kiamat dan kepada Qadha dan Qadar dari-Nya; 2. Mengingkari salah satu dari rukun Islam yang 5 (lima), yaitu, mengucap Dua Kalimat Shahadat, Menunaikan Shalat, Mengeluarkan Zakat, Berpuasa pada bulan Ramadhan, dan Menunaikan ibadah Haji; 3. Meyakini atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan I'tiqad Ahlus Sunnah wal Jama'ah; 4. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur'an; 5. Mengingkari kemurnian dan atau kebenaran Al-Qur'an; 6. Melakukan penafsiran Al-Qur'an tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 7. Mengingkari kedudukan hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam; 8. Melakukan pensyarahan terhadap hadits tidak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu Mushthalah Hadits; 9. Menghina atau melecehkan para Nabi dan Rasul Allah; 10. Mengingkari Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir; 11. Menghina dan atau melecehkan para Shahabat Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi wa Sallam; 12. Merubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh Syariat, seperti berhaji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak 5 waktu dan sebagainya dan 13. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i yang sah, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan anggota kelompoknya. (Kumpulan Undang-undang, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah [Qanun], Peraturan Gubernur, Fatwa MPU, Keputusan MPU dan Taushiyah MPU, hal. 462.).
Penegasan tentang kesesatan Syiah difatwakan oleh MUI Jatim, no: Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, tgl 21 Januari 2012, dengan jelas dan terang sebagaimana berikut: Memutuskan: 1. Mengukuhkan dan menetapkan keputusan-keputusan MUI-MUI daerah yang menyertakan bahwa ajaran Syiah (khususnya Imamiah, Itsna Asyariah, Mazhab Ahlul Bait, dan semisalnya) serta ajaran-ajaran yang mempunyai kesamaan dengan faham Syiah Imamiyah, Itsna Asyariah adalah SESAT DAN MENYESATKAN. 2. Menyatakan bahwa penggunaan istilah Ahlul Bait untuk pengikut Syiah adalah bentuk pembajakan kepada Ahlul Bait Rasulullah SAW.; 3. Merekomendasikan: a. Kepada Umat Islam diminta untuk waspada agar tidak mudah terpengaruh dengan faham dan ajaran Syiah (khususnya Imamiyah Itsna Asyariah atau yang menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait dan semisalnya); b. Kepada Umat Islam diminta tidak mudah terprovokasi melakukan tindakan kekerasan (anarkisme), karena hal tersebut tidak dibenarkan dalam Islam serta bertolak belakang dengan upaya membina suasana kondusif untuk kelancaran dakwah Islam; c. Kepada pemerintah baik Pusat maupun Daerah dimohon agar tidak memberikan peluang penyebaran faham Syiah di Indonesia, karena penyebaran faham Syiah di Indonesia yang penduduknya berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah sangat berpeluang menimbulkan ketidak stabilan yang dapat mengancam keutuhan NKRI; d. Kepada pemerintah, baik Pusat maupun Daerah dimohon agar melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku antara lain membekukan/melarang aktivitas Syiah beserta lembaga-lembaga yang terkait; e. Kepada pemerintah, baik Pusat maupun Daerah dimohon agar bertindak tegas dalam menangani konflik yang terjadi, tidak hanya pada kejadian saja, tetapi juga faktor yang menjadi penyulut terjadinya konflik, karena penyulut konflik adalah provokator yang telah melakukan teror dan kekerasan mental sehingga harus ada penanganan secara komprehensif; f. Kepada pemerintah, baik Pusat maupun Daerah dimohon agar bertindak tegas dalam menangani aliran menyimpang karena hal ini bukan termasuk kebebasan beragama tapi penodaan agama, dan g. Kepada Dewan Pimpinan MUI Pusat, dimohon agar mengukuhkan fatwa tentang kesesatan Faham Syiah khususnya Imamiyah Itsna Asyariah atau yang menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait dan semisalnya, serta ajaran yang mempunyai kesamaan dengan Faham Syiah sebagai fatwa yang berlaku secara Nasional”. (Ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia [MUI] Propinsi Jawa Timur di Surabaya 27 Shafar 1433 H /21 Januari 2012 M, dan ditanda tangani oleh Ketua Umum KH. ABDUSSHOMAD BUCHORI dan Sekretaris Umum DRS. H. IMAM TABRONI, MM)
Fatwa MUI Jatim di atas adalah sederajat dengan Fatwa MUI Pusat, sehingga MUI Daerah hanya berhak melaksanakannya. “Fatwa MUI Pusat maupun MUI Daerah yang berdasarkan pada pedoman yang telah ditetapkan dalam surat keputusan ini mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan”. (HF MUI, hal. 8); “Terhadap masalah yang telah ada fatwa MUI Pusat, maka MUI Daerah hanya berhak melaksanakannya”. (HF MUI, hal, 8).
Oleh karena itu, pernyataan beberapa tokoh Ulama/Cendekiawan Muslim, bahwa: “ a) Syiah tidak sesat karena mereka diperbolehkan menunaikan ibadah haji dan umrah di Saudi Arabia. b) MUI adalah payung yang menaungi sesama golongan Islam termasuk Ijabi (Syiah). c) Ya Akhi, kita semua Ahlussunnah wal Jama’ah. Kita semua baik yang Muhammadiyah, NU, maupun Syiah. d) Masalah Imamah, tidak ada penyelesaiannya, kembalikan saja kepada Allah, nanti di akhirat kita tahu mana yang benar. Kita tidak bisa menentukan hanya Sunni atau Syiah yang benar. Sunni dan Syiah ibarat makanan di atas meja prasmanan, yang cocok dengan selera silahkan dinikmati, yang tidak cocok, tidak usah dicela, dan dibuang. e) Mau pegang mazhab Syiah atau Sunni silahkan” adalah bertentangan dengan kejelasan sikap MUI bahwa yang benar dan murni diikuti ialah paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), sedang Syiah bertentangan dengan Ahlussunah wal Jama’ah, maka Syiah itu menyimpang, sesat, harus diwaspadai serta, ditolak dan tidak diakui. Wallahu A’lam.
Pingback: Rangkuman Fatwa MUI Terhadap Pandangan Syiah : Wahdah Islamiyah Bandung