Published On: Sat, Aug 3rd, 2013

Rahasia Malam Seribu Bulan

Lailatul qadar adalah malam yang ditetapkan Allah bagi umat Islam. Ada dua pengertian mengenai maksud malam tersebut. Pertama, lailatul qadar adalah malam kemuliaan. Kedua, lailatul qadar adalah waktu ditetapkannya takdir tahunan. Kedua makna ini adalah maksud dari lailatul qadar.

Di antara keutamaan lailatul qadar adalah bahwa setiap amalan di dalamnya, pahala dan ganjarannya lebih baik daripada 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):

“Lailatul qadar lebih baik daripada 1000 bulan.” (QS. Al-Qadr: 3)

1000 bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan, dan Allah menyatakan bahwa amalan dalam lailatul qadar tidak setara dengannya akan tetapi lebih baik dan lebih banyak daripada itu. Allah juga tidak menyebutkan berapa kali lipat baiknya, bisa jadi lebih baik satu kali lipat, bisa jadi dua kali lipat, bisa jadi tiga kali lipat, dan seterusnya sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala.

Di saat lailatul qadar, sangat banyak para malaikat yang turun di malam itu, karena banyaknya berkah di malam itu. Dan yang dimaksud dengan malaikat di sini adalah malaikat rahmat, sehingga mereka turun dengan membawa rahmat, kebaikan, dan keselamatan bagi siapa saja orang beriman yang beramal saleh di malam itu.

Kemudian keutamaan lain lailatul qadar adalah bahwa pada malam itu sama sekali tidak ada kejelekan sampai terbitnya fajar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dia adalah keselamatan sampai terbitnya fajar.” (QS. Al-qadar: 5)

Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah semangat dan bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh hari tersebut.

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari).

Kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (lihat Fathul Bari, 4: 262-266 dan Syarh Shahih Muslim, 6: 40).
Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)

Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.

Lailatul Qadar Bisa Jadi di Malam Genap
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sepantasnya bagi seorang muslim untuk mencari lailatul qadar di seluruh sepuluh malam terakhir. Karena keseluruhan malam sepuluh hari terakhir bisa teranggap ganjil jika yang dijadikan standar perhitungan adalah dari awal dan akhir bulan Ramadhan. Jika dihitung dari awal bulan Ramadhan, malam ke-21, 23 atau malam ganjil lainnya, maka sebagaimana yang kita hitung. Jika dihitung dari Ramadhan yang tersisa, maka bisa jadi malam genap itulah yang dikatakan ganjil. Dalam hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Carilah malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Bisa jadi lailatul qadar ada pada sembilan hari yang tersisa, bisa jadi ada pada tujuh hari yang tersisa, bisa jadi pula pada lima hari yang tersisa.” (HR. Bukhari).

Jika bulan Ramadhan 30 hari, maka kalau menghitung sembilan malam yang tersisa, maka dimulai dari malam ke-22. Jika tujuh malam yang tersisa, maka malam lailatul qadar terjadi pada malam ke-24. Sedangkan lima malam yang tersisa, berarti lailatul qadar pada malam ke-26, dan seterusnya (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25: 285).
Jadi yang mesti dilakukan adalah memperbanyak ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan, insya Allah akan mendapati malam penuh kemuliaan tersebut.

Do’a di lailatul qadar
Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda jika aku mendapatkan lailatul qadar, doa apa yang aku baca pada malam tersebut?”
Beliau menjawab:

“Hendaklah engkau membaca doa:

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan Maha Pemurah, Engkau senang memberikan ampunan, maka ampunilah aku.” (HR. At-Tirmizi, dia berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.”)

Barangkali kita bertanya-tanya kenapa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan istrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk meminta ampunan Allah Ta’ala di lailatul qadar? Di malam yang sangat berkah tersebut, kenapa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa salam tidak memerintahkan istrinya ~misalnya~ untuk meminta karunia anak? Padahal selama 10 tahun rumah tangganya dengan beliau, Aisyah tidak dikaruniai seorang anak pun.

Kenapa pula beliau tidak memerintahkan istrinya untuk meminta rizki yang lapang, panjang umur, kesehatan, dan seterusnya? Gerangan rahasia apakah di balik hal itu?

Pembaca yang dirahmati Allah…

Di antara keutamaan lailatul qadar selain yang telah disebutkan di awal artikel ini adalah di dalamnya ditetapkan takdir untuk tahun itu sampai tahun depannya, yang diistilahkan dengan nama at-taqdir as-sanawi (takdir tahunan). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Pada malam itu dipecah setiap urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhan: 4)

Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa pada malam itu ditakdirkan siapa yang meninggal pada tahun itu, siapa yang naik haji pada tahun itu, dan seterusnya dari masalah umur dan rezki. Karenanya disyariatkan untuk memperbanyak doa kebaikan pada malam itu, karena tidak ada yang bisa memperbaiki takdir kecuali doa.
Kemudian hikmah lain dari do’a tersebut adalah bahwa musuh kita yang paling berbahaya adalah dosa-dosa kita sendiri. Dosa-dosa kita sendirilah yang akan menyengsarakan dan mencelakakan kita di dunia maupun akhirat. Dosa-dosa lebih berbahaya dari musuh dari golongan jin dan manusia yang paling kejam sekalipun. Dosa-dosalah yang membuat hidup kita di dunia penuh dengan kesempitan, kegalauan dan kegelapan. Dosa-dosa pula yang bisa mengantarkan kita kepada murka dan siksa Allah Ta’ala di akhirat. Nau’udzu billah min dzalik.

Orang-orang shalih sedikit saja berbuat dosa, namun mereka begitu mengkhawatirkan dosa-dosa tersebut. Padahal mereka memiliki amalan-amalan besar, yang sangat mungkin, mampu menghapuskan dosa-dosa yang mereka perbuat tersebut. Demikian takutnya orang-orang shalih terhadap dosa-dosa dan pertanggung jawabannya kelak, sehingga sebagian mereka beranggapan masih lebih baik menjadi tumbuhan daripada menjadi manusia. Alasannya sederhana, walau diinjak-injak, ditebas, ditebang dan dimakan oleh hewan dan manusia, setidaknya tumbuhan tidak memiliki dosa dan tidak memiliki pertanggung jawaban di hadapan Allah Ta’ala.
Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga, pernah berkata:

“Demi Allah, aku sangat ingin andaikata aku menjadi tumbuhan ini yang dimakan dan dicabut.” (Riwayat Ahmad bin Hambal dalam Kitab Az-Zuhd no. 581)

Dalam riwayat lain Abu Bakar ash-Shiddiq berkata:

“Aku sangat ingin andaikata aku menjadi tumbuhan hijau yang dimakan oleh hewan-hewan ternak.” (Riwayat Ahmad bin Hambal dalam Kitab Az-Zuhd no. 581)

Hal serupa juga dialami dan dilakukan oleh sahabat Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga.

Abdullah bin Amir bin Rabi’ah mengisahkan detik-detik terakhir kehidupan sahabat Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata: “Aku melihat Umar bin Khattab mengambil segumpal tanah, lalu beliau berkata:

“Duhai andai saja aku menjadi tanah ini. Duhai andai saja aku tidak diciptakan. Duhai andai saja ibuku tidak melahirkanku. Duhai andai saja aku bukan apa-apa. Duhai andai saja aku menjadi perkara yang dilupakan.” (Ibnu Sa’ad, At-Thabaqat al-Kubra, 3/274)

Pembaca yang dirahmati Allah…
Kedua sahabat yang mulia tersebut sama sekali tidak menyesali takdir. Mereka hanya mengekspresikan besarnya rasa takut mereka terhadap dosa-dosa dan dampak-dampak negatifnya jika saja Allah Ta’ala tidak menurunkan ampunan-Nya.

Jika orang-orang yang telah mendapatkan jaminan masuk surga saja demikian besarnya memiliki rasa takut terhadap “dosa-dosa” mereka; maka bagaimana lagi seharusnya dengan kita? Kita manusia biasa, dengan kadar ke-Islaman dan keimanan ala kadarnya, dengan setumpuk dosa yang setiap saat bertambah dan bertambah. Sungguh kita lebih layak untuk mengkhawatirkan dosa-dosa kita. Dan sungguh, pada sepuluh hari dan sepuluh malam terakhir bulan suci Ramadhan, kita lebih layak untuk banyak memohon ampunan Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author