Prinsip-Prinsip dalam Mendalami Islam
Berislam saja tidak cukup. Siapapun yang memiliki perhatian terhadap Islam di zaman ini tentu akan sedikit banyak cukup disejukkan hatinya dengan pemandangan yang menunjukkan semakin maraknya kaum muda yang kembali ke naungan cahaya hidayah Allah subhaanahu wa ta’ala.
Betapa tidak, setelah sekian lama bahkan hingga kini pun maum muslimin tenggelam dalam kelalaian yang berkepanjangan terhadap misi dan kepribadian mereka yang sejati, baru kali inilah terjadi sebuah “Booming” kesadaran yang dapat dikatakan merata hampir ke seluruh pelosok negri bahkan penjuru dunia. Hingga seperti kata sebagian orang banyak perguruan-perguruan tinggi terkemuka di berbagai tempat, berubah menjadi “pondok-pondok pesantren” yang sering kali lebih religius dan lebih terasa kekuatan dakwahnya dibanding sejumlah pondok pesantren yang memang didirikan dengan nama pondok pesantren.
Kitapun mencium aroma semangat berislam yang begitu semerbak dari para pemuda dan pemudi itu. Semangat yang membara ditambah perasaan yang tersimpan dalam jiwa-jiwa bersih mereka mengapa baru sekarang belajar Islam ? membuat mereka “berburu” Islam dari sumber manapun yang mereka anggap paling mengetahui Ad Dien ini. Hanya saja “perburuan” itu sering sekali salah jalan dan tersesat. Saringkali semangat mereka yang tulus itu berakhir pada kesesatan pemahaman atau setidak-tidaknya kesalah pahaman terhadap Islam. Ingat! Banyak diantara mereka yanga mengorbankan segala sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, entah itu karier, posisi, prestasi bahkan pada tingkat yang “ekstrim” banyak yang “kehilangan” orang tua kandung mereka sendiri karena kelompok kajiannya mengajarkan untuk melakukan hal itu yang mana hal tersebut hanya akan berakhir pada ujung lorong yang gelap dan tidak bercahaya.
Cara dan metode untuk memahami Islam itu sangat penting. Itulah sebabnya, salah satu prinsip terpenting dalam Islam adalah Al Ghayah la tubarrir al washilah (tujuan itu tidak menyebabkan kita menghalalkan segala cara). Begitu pula dalam memahami Islam, cara dan metode untuk sampai kesana tidaklah kemudian menyebabkan kita boleh mengambil Islam dari orang-orang yang sesat pemikirannya walaupun sebagian orang memanggilnya dengan sebutan “ustadz” atau koran dan majallah menyebutnya sebagai “cendikiawan muslim terkemuka”
Agar semangat yang tulus itu tidak menjadi korban yang sia-sia dalam pencariannya terhadap kebenaran, berikut beberapa prinsip yang penting dalam mendalami dan mempelajari Islam:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau adalah qudwah (panutan dan teladan) dalam berIslam.
Rasulullah adalah qudwah (panutan dan teladan) pertama kita dalam berislam, kemudian setelah itu para sahabat radhiallahu ‘anhu, karena Allah telah men-tazkiyah mereka dan juga karena yang mendidik dan mentarbiyah mereka adalah Rasulullah sendiri hingga beliau wafat dalam keadaan ridha terhadap mereka. Oleh sebab itu, jika ingin berislam dengan benar dan selamat maka tanyakanlah kepada siapapun yang mengajarkan Islam “Apakah ajaran ini pernah dicontohkan oleh Rasullah dan para sahabat beliau?” Bila tidak, tentu anda sudah paham apa yang harus anda lakukan. Namun jika jawabannya “Ya” maka pastikanlah bahwa hal tersebut memang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah dan para sahabat beliau.
Ingatlah ! Bahwa Allah Ta’ala menyediakan ancaman barat bagi siapapun yang menyelisihi jalan ini, Allah berfirman,
“Dan barang siapa yang menentang/ mendurhakai Ar Rasul setelah jelas baginya petunjuk (yang benar), lalu mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam Jahanam dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’: 115)
Kesimpulannya, bagaimana cara berislam yang ditempuh Rasulullah dan para sahabatnya, maka begitu pula cara berislam yang harus kita tempuh. Bila Rasulullah sangat memperhatikan pamahaman nilai-nilai Tauhid, maka begitu pula seharusnya kita sekarang. Jika para sahabat tidak pernah meminta Rasulullah menakwilkan sifat-sifat Allah atau menakwilkan hal-hal ghaib, maka begitu pulalah semestinya kita saat ini. Dan selanjutnya, silahkan anda mencari sendiri contoh-contoh yang dapat di masukkan dalam perinsip ini.
2. Sumber pengambilan ajaran Islam yang benar adalah Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman As Salaf Ash Shalih.
Prinsip ini tentu sudah jelas, sebab Islam itu berasal dari Allah, maka sudah semestinya ajaran Islam yang benar itu terkandung dalam Al Qur’an. Adapun mengapa kita harus mengambil ajaran islam yang benar itu dari as Sunnah itupun sudah jelas, karena dalam Al Qur’an sendiri, Allah telah menegaskan kewajiban tersebut dan juga karena Rasulullah adalah manusia yang dipilih oleh Allah, tentulah beliau yang paling memahami semua kehendak Allah yang tertuang dalam Al’Qur’an. Jika bukan beliau yang memahaminya, lalu siapa lagi ?
Pada umumnya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi Islam selalu meneriakkan slogan-slogan yang sama “Kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bahkan firqah-firqah dan jama’ah- jama’ah yang paling sesat sekali pun masih saja ada yang mengatakan berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah, lalu siapa yang menentukan “Versi Islam” yang sebenarnya. Untuk itu perlu direnungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Sebaik-baik manusia adalah di generasiku (para shahabat), kemudian generasi setelah mereka (paran tabi’in) kemudian generasi setelah mereka (para taabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika Rasullah memuji ketiga generasi ini yang kemudian di kenal dengan Al Qurun Al Mufadhalah (generasi-generasi yang mendapatkan keutamaan), tentu maksud beliau bukan sekedar pujian lalu selesai, namun dalam pujian tersebut tersirat sebuah perintah bahwa jika kalian ingin memahami Islam secara benar lalu mengembalikan kejayaan umat Islam yang pernah diraih oleh ketiga generasi itu maka satu-satunya jalan adalah menyamakan pemahaman Islam kalian dengan pemahaman Islam ketiga generasi tersebut yang juga di kenal dengan “As Salaf Ash Shalih” (generasi pendahulu yang shalih).
3. Tidak ada mahluk yang ma’sum (aman dari dosa) selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Prinsip ini berguna dalam menentukan sikap kita ketika mendapati seorang alim yang kita kagumi atau da’i yang kita hormati atau bahkan ustadz yang selalu mengisi kajian kita melakukan atau menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah untuk tidak mengikutinya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidak ada keta’atan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad)
4. Tidak dibenarkan menerima sebuah pendapat atau hasil ijtihad kecuali setelah menimbangnya dengan Al Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman As Salaf Ash Shalih.
Zaman ini adalah zaman dimana pada setiap harinya bila kita sempat mengikutinya berkembang berbagai pemikiran dan pendapat. Menghadapi arus yang sangat kuat ini tentulah tidak mudah. Orang-orang yang sanggup memenangkan pergumulan ini hanyalah orang-orang yang memiliki pijakan yang kuat dalam menimbang setiap pemikiran yang lain atau dari satu “cara berislam” ke “cara berislam” yang lain, maka setiap pendapat atau pemikiran yang hinggap ke telinga dan otak. Kita harus timbang dengan timbangan Al Qur’an, As Sunnah dan pemikiran-pemikiran kaum salaf. Oleh karena itu prinsip ini secara tersirat mengajak seluruh kaum muslimin untuk lebih banyak “bergaul” dengan Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta kehidupan kaum salaf.
5. Tidak dibenarkan mempertentangkan Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal rasio dan produk-produk akal lainnya.
Artinya, pada saat Al Qur’an dan As Sunnah telah menetapkan suatu perkara, maka pada saat itu seseorang muslim tidak lagi di benarkan untuk mencari ketentuan atau jalan keluar selain yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dan inilah manhaj yang ditempuh oleh generasi As Salaf Ash Shaleh ketika mereka mengkaji dan mendalami Al Qur’an dan As Sunnah dan manhaj ini yang mereka wariskan kepada generasi-generasi sesudah mereka.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah pernah menuliskan, “Salah satu dasar (berpikir) yang telah di sepakati oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik adalah bahwa tidak di benarkan seorang pun menentang Al Qur’an baik dengan pendapatnya, perasaannya, rasionya, analoginya atau wajd-nya (sebuah istilah kaum sufi yang sering merasa mereka menerima wahyu lewat mimpi atau yang lainnya), sebab Al Qur’an itu adalah imam yang harus diikuti. Oleh sebab itu, tidak pernah di temukan dalam ucapan seorang kaum salaf di mana ia menentang Al Qur’an baik dengan baik dengan akal, rasio ataupun analogi (qiyas) tidak pula dengan perasaan atau wajd-nya dan tidak seorang pun (dari mereka) yang mengatakan bahwa dalam masalah fulan terdapat pertentangan antara an Naql (dalil Al Qur’an dan As Sunnah) dengan akal. Apalagi sampai mengatakan bahwa dalam masalah fulan rasio harus dikedepankan atas An Naql.” (Lihat Al Majmu’ Fatawa 13:27-29)
Karena itu para ulama rabbani menyatakan bahwa antara akal yang sehat dengan wahyu Allah itu tidak mungkin bertentangan. Atau dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa jika ada akal yang “merasa” bertentangan dengan wahyu Allah, maka ini berarti akal tersebut sedang tidak sehat alias sakit. Berkata Imam Ahlussunnah, Ahmad bin Hanbal, ”Ya Allah! Matikan kami dalam Islam dan As Sunnah.” (Al Fikrah)
sumber: www.wahdah.or.id