Pria dengan 6 Cacat di Tubuhnya
Oleh: Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc. M.Si.
Apa yang Anda bayangkan tentang seorang pria dengan enam “cacat” di tubuhnya. Kulitnya hitam legam, matanya buta sebelah, hidungnya sangat pesek, kakinya mengalami semacam kelumpuhan, bahkan pincang. Dan menjelang akhir hayatnya, ia mengalami kebutaan. Yah, tepatnya ada enam kekurangan fisik yang dimiliki pria itu. Bayangan apakah yang terbetik dan terlintas dalam benak Anda? Entahlah…
Namun pria yang kita sebut-sebut dengan enam cacat itu adalah seorang imam besar. Setidaknya –seperti kata Adz Dzahaby- ia dianggap sebagai pilar ilmu, kepatuhan pada agama, keshalehan dan keteladanan di zamannya. (Bahkan yang luar biasa, ia telah mengerjakan ibadah haji sebanyak 70 kali selama hidupnya ).
Dahulunya pria ini hanyalah seorang budak. Sejak ia kecil, ia tinggal bersama tuannya yang seorang wanita di Mekkah. Hanya saja ia ditakdirkan oleh Allah menjadi budak kecil yang cerdas. Ia telah memutuskan untuk meniti jalan ilmu sebagai jalan hidupnya. Itulah sebabnya, ia kemudian membagi waktunya sehari-hari menjadi tiga bagian :
Pertama, adalah bagian waktu yang ia gunakan untuk memberikan khidmat yang terbaik kepada tuannya. Waktu itu ia gunakan untuk benar-benar memenuhi hak yang seharusnya didapatkan oleh sang tuan.
Kedua, adalah saat di mana ia mempersembahkan ibadah terbaiknya dengan penuh keikhlasan kepada Allah Azza wa Jalla.
Ketiga, adalah saat di mana ia mewujudkan cita-citanya meniti jalan ilmu. Tidak ada satupun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup ketika itu yang tidak ia hampiri dan ambil ilmunya. Sahabat-sahabat seperti Abu Hurairah, ‘Abdullah ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas dan ‘Abdullah ibn Az Zubair adalah di antara guru-guru pria ini
Kesungguhannya yang luar biasa meretas jalan ilmu itu tentu saja disaksikan oleh tuannya. Sang tuan ternyata punya “ide” yang lebih menguntungkan. Ia membebaskan budaknya itu. Semata-mata karena Allah. Bila ia kelak menjadi seorang ‘alim, tentu saja ia akan mengalirkan manfa’at bagi Islam dan kaum muslimin. Dan tentu saja aliran pahala untuknya.
Sejak saat itu, pria dengan enam cacat inipun memutuskan untuk menjadikan Masjidil haram sebagai tempat tinggalnya. (Duhai, adakah rumah yang lebih mulia dari rumah Allah itu?). Hidupnya pun bergelimang ibadah kepada Allah Ta’ala. Roda kehidupannya berputar dari satu majlis ilmu ke majlis ilmu yang lain. Dari satu taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ke taqarrub yang lain. Setiap detiknya ia lalui dalam keteduhan dan kesejukan Rumah Allah itu. Ahli sejarah yang mencatat kehidupan pria dengan enam cacat ini mengatakan bahwa mesjid itu menjadi tempat tidurnya selama 20 tahun lamanya !
Bila Anda ingin menambah kekaguman Anda tentang pria ini, simaklah bagaimana seorang khalifah memperlakukan pria ini…
Pada suatu ketika, di sebuah musim haji pada tahun 97 H, dalam hiruk-pikuk gelombang kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji, di tengah-tengah mereka turut pula hadir sang Khalifah. Namanya Sulaiman ibn ‘Abdil Malik. Bersama dua orang putranya, ia berbaur dengan kaum muslimin dalam hiruk pikuk itu.
Dan seusai thawaf, sang Khalifah bertanya kepada salah satu pengawalnya: “Dimanakah pria itu ?”. “Ia berdiri mengerjakan shalat di sana,” jawab sang pengawal sambil menunjuk salah satu sudut Masjidil Haram. Sang Khalifah bersama kedua anaknya pun bergegas menuju ke sudut itu. Para pengawalnya berusaha membuka jalan, namun sang Khalifah mengingatkan mereka : “Kalian tidak perlu melakukan itu. Tempat ini adalah tempat yang menyamakan kedudukan para penguasa dengan rakyat biasa. Tiada ada seorangpun yang memiliki kelebihan atas siapapun, kecuali bila ibadahnya diterima dan ia bertaqwa kepada Allah. Boleh jadi, seorang yang rambutnya kusut dan berdebu yang datang menghadap Allah, lalu Allah menerima semua ibadah dan do’anya…”. Sambil mengatakan itu, sang Khalifah berjalan menuju tempat sang ‘pria dengan enam cacat’ itu.
Pria itu masih saja tenggelam dalam shalatnya yang khusyu’. Sementara begitu banyak manusia duduk di sekelilingnya. Menanti pria itu selesai dari shalatnya. Dan sang Khalifah adalah salah satu dari mereka. Bersama kedua putranya, Khalifah itu duduk bersimpuh menunggu pria itu…
Dan ketika pria itu menyelesaikan shalatnya, tanpa disengaja ia berbalik ke arah tempat di mana sang Khalifah duduk. Sang Khalifah segera mengucapkan salam kepadanya, dan tanpa mengubah sikapnya sedikitpun pria itu menjawab salam sang Khalifah. Saat itulah, sang Khalifah –yang pada saat itu luas kekuasaannya hampir menyamai 50 negara di abad moderen ini- mendekati sang pria itu dan menanyakan segala persoalan yang berkaitan dengan manasik haji. Sang pria itu menjelaskan sejelas-jelasnya sehingga tidak ada lagi yang perlu ia tanyakan.
Setelah menyimak semua jawaban itu, sang Khalifah berdiri dan mengucapkan terima kasih kepada sang pria itu. “Ayo, kita bergegas ke tempat sa’i itu!” ujar sang Khalifah kepada kedua putranya. Tidak lama kemudian, tiba-tiba saja seorang penyeru meneriakkan: “Wahai seluruh kaum muslimin! Tidak ada seorang pun yang boleh memberikan fatwa di tempat ini selain ‘Atha ibn Abi Rabah. Dan bila ia tidak ada, maka yang menggantikannya adalah ‘Abdullah ibn Abi Najih!”.
Mendengar teriakan itu, kedua putra sang Khalifah terkejut. Keterkejutan dan keheranan itu mereka sampaikan kepada ayah mereka. “Mengapa penyeru itu meneriakkan tidak ada yang berhak memberi fatwa di tempat ini selain ‘Atha ibn Abi Rabah atau rekannya itu? Lalu mengapa tadi kita meminta fatwa dan bertanya kepada orang yang tidak memperdulikan Khalifah itu??”
Sang ayah yang arif itu menjawab: “Orang yang kalian lihat tadi…yang tidak memperdulikan dan menaruh mata pada kita tadi itulah ‘Atha ibn Abi Rabah! Dialah yang dikatakan oleh sang penyeru tadi bahwa tidak ada yang berhak memberi fatwa di tempat yang mulia ini selain ‘Atha ibn Abi Rabah…Tahukah kalian, pria itu pewaris ilmu sahabat Nabi Ibn ‘Abbas…” Dan sebelum keterkejutan kedua putra sang Khalifah itu habis, sang Khalifah menutup ucapannya dengan mengatakan: “Wahai anakku, dalamilah ilmu syar’i…sebab dengan ilmu itulah orang yang rendah menjadi mulia, orang yang lalai menjadi tersadar dan para budak melampaui kedudukan para raja…”.
Itulah pria dengan enam cacat di tubuhnya. ‘Atha ibn Abi Rabah. Keluarbiasaannya itu membuat banyak khalifah yang memintanya untuk menyertai mereka. Namun semua permintaan itu ditolaknya. Ia mengkhawatirkan agamanya akan ternodai. Meskipun hal itu tidak menghalanginya untuk tetap mengingatkan mereka. Salah satu wasiat abadinya adalah saat ia mengatakan kepada Khalifah Hisyam ibn ‘Abdil Malik: “Takutlah pada Allah terhadap dirimu, wahai Amirul mukminin! Ketahuilah bahwa engkau diciptakan sendiri… lalu engkau akan mati sendiri… dan dibangkitkan sendiri lalu kemudian dihisab sendiri… sungguh demi Allah! Semua yang engkau lihat ada di sekitarmu ini tidak ada satupun yang akan bersamamu kelak…”. Dan nasehat ini membuat sang Khalifah menunduk dan menangis.
Semoga Allah selalu merahmati pria dengan enam cacat itu.
Ya Allah, mungkinkah Engkau menghadirkan sosoknya di zaman ini?[]