Poligami Islami adalah Batasan, “Poligami ala Barat” adalah Kebablasan
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang aku lebih suka di dalam kulitnya dari pada Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang memiliki sifat galak.” Ketika dia (Saudah) sudah tua, dia memberikan jatah hari (giliran) nya dari Rasulullah kepada Aisyah. Dia mengatakan, “Ya Rasulullah, aku berikan jatah hari (giliran) ku darimu kepada Aisyah.” Sehingga Rasulullah memberikan giliran kepada Aisyah sebanyak dua hari; satu hari jatahnya dan satu hari jatah Saudah. (HR. Muslim)
Penjelasan Hadits:
Maksud dari ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas ialah dia suka menjadi orang seperti Saudah. Dan Aisyah tidak bermaksud mendiskreditkan Saudah ketika Aisyah menyebutnya sebagai wanita yang galak. Justru sebaliknya, Aisyah bermaksud memujinya ketika menyebutnya sebagai wanita yang galak, karena sifat itu identik dengan jiwa yang kuat dan tabiat yang baik.
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang istri boleh menghibahkan jatah malamnya kepada madunya. Karena, jatah suaminya bermalam bersamanya adalah haknya, sehingga dia berhak melepaskan jatah tersebut kepada orang lain yang juga menjadi istri dari suaminya.
Akan tetapi, apakah suami berhak memilih siapa di antara istri-istrinya yang diberi hibah (pemberian) itu?
Ada yang berpendapat bahwa jatah yang dihibahkan itu harus dibagi rata di antara istri-istri yang lain dan istri yang menghibahkan jatahnya tersebut dianggap tidak ada. Artinya, si suami mengosongkan jatah bermalam bersamanya dan melanjutkan gilirannya untuk bermalam bersama istri yang lain.
Imam An-Nawawi rahimahumullah mengatakan, “Pendapat yang pertama yaitu memberikan hak kepada suami untuk memilih salah satu dari istri-istrinya untuk menerima hibah tersebut lebih tepat. Sehingga suami tersebut bisa memilih siapa yang dia inginkan untuk mendapatkan jatah bermalam selama dua hari bersamanya.”
Dan dalam hal ini si istri yang menghibahkan jatahnya kepada orang lain berhak mencabut kembali hibahnya dan meminta kembali haknya serta menuntut suaminya untuk kembali bermalam bersamanya. Akan tetapi ini berlaku untuk masa yang akan datang. Artinya dia tidak berhak menuntut malam-malam sebelumnya yang telah dia hibahkan kepada madunya. Sebab, -sebagaimana dikatakan oleh Imam An-Nawawi rahimahumullah hibah bisa dicabut kembali selama belum diterima. Sedangkan yang sudah diterima tidak boleh dicabut kembali.
Si suami tidak boleh bermalam selama dua malam berturut-turut bersama istri yang diberi hibah oleh madunya. Sebab, Aisyah mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan giliran kepada Aisyah sebanyak dua hari; satu hari jatahnya dan satu hari jatah Saudah. Ini berarti bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. bermalam bersama Aisyah pada hari yang menjadi jatahnya dan pada hari yang menjadi jatah Saudah, bukan dua hari berturut-¬turut.
Imam An-Nawawi rahimahumullah mengatakan, “Menurut sahabat-sahabat kami yang paling tepat ialah suami tidak boleh bermalam lebih dari satu hari secara berturut-turut bersama istri yang menerima hibah, kecuali dengan persetujuan istri-istri yang lain. Namun ada sebagian sahabat kami yang membolehkan hal itu tanpa persetujuan yang lain. Namun pendapat ini lemah.”
Orang yang mau merenungkan konsep-konsep di atas akan mengerti betapa Islam sangat keras dalam hal keadilan terhadap istri-istri. Yakni keadilan yang tidak dipatuhi oleh banyak suami yang berpoligami sekarang ini. Keadilan itu adalah sebuah batasan yang bisa membuat seorang suami yang memiliki keinginan untuk berpoligami berfikir seribu kali sebelum melakukannya.
Kejelasan batasan ini semakin kuat ketika kita mencoba membandingkan antara poligami Islami dan poligami tidak resmi (ilegal) yang marak terjadi di masyarakat barat sekarang ini. Poligami Islami mengharuskan si suami untuk memenuhi hak-hak suami-istri kepada semua istrinya, terutama dalam hal keadilan terhadap hak-hak mereka dalam urusan bermalam, nafkah dan lain-lain. Sementara poligami yang berkembang di barat tidak mengharuskan kepada laki-laki untuk memenuhi hak apa pun kepada pacar-pacarnya, sebagaimana hak-hak yang harus diberikan oleh seorang muslim kepada istri-istrinya.
Setelah ini tidakkah kita berhak mengatakan bahwa poligami di dalam Islam adalah batasan yang melindungi hak-hak istri. Sedangkan poligami tidak Islami yang banyak berkembang saat ini adalah pemberian kebebasan penuh kepada kaum laki-laki untuk menjalin hubungan dengan wanita sebanyak-banyaknya tanpa batas?[]