Wahdahmakassar.com - Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, sudah seharusnya kita turut serta dan ikut berpartisipasi dalam memilih pemimpin. Keseriusan kita untuk terus menjaga kemaslahatan umat harus dibarengi dengan bentuk nyata dalam memberikan perhatian terhadap kondisi sosial masyarakat secara umum. Perhatian ini sebagai konsekuensi logis dari karakteristik Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin. Perhatian terhadap kondisi Indonesia berarti perhatian terhadap kondisi umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negara ini.
Kepemimpinan dalam konsep al-Qur’an disebutkan dengan istilah imamah. Sedangkan pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezhaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman. Baik kezaliman dalam keilmuan dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya. Seorang pemimpin harus mengetahui keadaan umatnya, merasakan langsung penderitaan mereka. Seorang pemimpin harus melebihi umatnya dalam segala hal keilmuan dan perbuatan, pengabdian dan ibadah, keberanian dan keutamaan, sifat dan prilaku, dan lainnya.
Sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah dan akhlak serta urusan-urusan akhirat. Tapi juga mengatur urusan-urusan dunia termasuk cara hidup bermasyarakat maupun bernegara, cara menjadi rakyat dan menjadi pemerintah.
Pada prinsipnya, menurut Islam setiap orang adalah pemimpin. Ini sejalan dengan fungsi dan peran manusia di muka bumi sebagai khalifahtullah yang diberi tugas untuk senantiasa mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Hal ini senada dengan firman Allah dalam al-Qur’an yang artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (Terjemahan QS. al-Baqarah: 30)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Masing-masing kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang memimpin masyarakat adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban kepemimpinannya atas mereka.” (HR. Bukhari)
Orang Munafik Memilih Pemimpin Kafir
Selaku manusia yang tidak jauh dari kesalahan, kita dituntut untuk sangat berhati-hati dalam menentukan pilihan dalam memilih pemimpin. Dalam Islam, akidah merupakan syarat utama yang harus diperhatikan dalam memilih seorang pemimpin. Pilihlah pemimpin yang seakidah dan memenuhi kriteria seorang pemimpin sehingga dapat menjaga akidah dan agama umat Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga mengharamkan umat Islam dipimpin oleh pemimpin kafir karena bukan tidak mungkin, mereka justru bukan mensejahterakan rakyat, tapi malah merampas dan mengeksploitasi kekayaan rakyat untuk kepentingan kaum kafir internasional sebagai partner dan tuan-tuan mereka. Bagi umat muslim, ada beberapa kriteria yang tidak boleh dipilih sebagai pemimpin dalam konteks apapun. Yaitu kafir, termasuk berbagai aliran sesat serta seorang muslim yang memiliki ideologi sekuler, tidak memihak kepada kaum muslimin, apalagi yang jelas-jelas memihak kaum kafir.
Loyalitas seorang muslim haruslah kepada sesama muslim bukan kepada yang berlawanan agama dengannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu), sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Terjemahan QS. al-Maidah: 51).
Dari ayat tersebut dapat kita mengambil suatu pelajaran bahwa ketika pemimpin itu berasal dari satu golongan, maka dia akan berusaha meningkatkan keuntungan bagi golongannya tersebut. Memberi kesempatan kaum kafir untuk berkuasa sama saja dengan berperan dalam mendorong kemunduran umat Islam. Dengan pimpinan yang kafir, tidak akan ada lagi aturan halal-haram, terlebih jika penguasa itu di-back up oleh kaum kapitalis. Pikirannya cuma bagaimana caranya balik modal, dan tidak mempedulikan rakyat kecil.
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (Terjemahan QS. an-Nisa 138-139).
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menggelari orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin adalah orang-orang munafik. Orang munafik di sini adalah orang yang menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran. (tafsir al-Muyassar)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu).” (Terjemahan QS. an-Nisa 144).
Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin menjadi sebab mendapatkan adzab dari Allah, bukan hanya di akhirat tapi bisa saja adzab itu didapatkan di dunia. Misalnya dengan adanya berbagai musibah yang menimpa, wal ‘iyadzu billah.
Bahkan meskipun orang kafir tersebut adalah keluarga, teman dan sebagainya dia tetap haram untuk dijadikan pemimpin, Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan Bapak-Bapak dan Saudara-Saudaramu menjadi wali (pemimpin/pelindung) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 9. At-Taubah : 23.).
Maka apatah lagi orang-orang kafir yang suka mempermainkan dan melecehkan dan menunjukkan permusuhan terhadap agama Islam.
Para ulama pun sepakat memilih pemimpin kafir hukumnya terlarang. Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama yang dikenal telah sepakat bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin apapun keadaannya.” (Ahkam Ahlu Dzimmah, 2/787)
Maka, pilihlah pemimpin yang mengajak bertaqwa kepada Allah dan jangan memilih pemimpin yang mendorong bermaksiat kepada-Nya, meskipun ia keluarga kita. Karena dalam Islam, memilih pemimpin juga merupakan bagian dalam kehidupan beragama. Logika sederhananya, kalau kita umat beragama, harusnya dipimpin oleh pemimpin yang beragama pula, kan? Tentu lebih utama yang baik agamanya dibandingkan dengan umat yang akan dipimpin nantinya agar bisa membawa rakyatnya menjadi lebih baik dalam segala bidang. Jangan sampai kita umat Islam salah memilih tokoh yang nantinya malah berdampak buruk bagi rakyat. Memilih pemimpin bukanlah sekedar berdasarkan popularitas, suku, penampilan, atau hal-hal duniawi lainnya.
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mena’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Terjemahan QS. al-Ahzab: 67).
Kesalahan dalam memilih pemimpin dapat menyebabkan penyesalan di kemudian hari, Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’Ulumuddin juz II mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya. Kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama. Kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Barangsiapa dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan”.
Mari kita berikhtiar bersama-sama memilih pemimpin dari kalangan para tokoh umat yang selalu dekat dengan agama dan segala ketentuan Allah. Sehingga menjadi negara yang berkah dan dilindungi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Aamiin.
Sumber : Buletin Al Balagh