Published On: Sat, Feb 18th, 2012

Persatuan Sunni Syi’ah: Mungkinkah?

Hari Kamis (9/2/2012), Harian Umum Republika memuat iklan setengah halaman dari sebuah lembaga yang menamakan dirinya Yayasan Muslim Indonesia Bersatu (YIMB). Judul iklan tersebut adalah: ”MELAWAN POLITIK ADU DOMBA DENGAN PERSATUAN UMAT.”

Inti iklan sepanjang itu adalah ajakan untuk membangun persatuan ummat, khususnya antara Muslim Ahlu Sunnah wal-Jamaah dengan Pengikut Syiah. Dikutiplah pernyataan berbagai ulama Sunni dan Syiah yang mengajak untuk bersatu. Di dalam iklan ini ditulis kata-kata indah:

“Namun, yang tak kalah pentingnya, semua pernyataan bijak di atas tidak akan banyak manfaatnya kecuali jika para pengikut mazhab-mazhab dalam Islam benar-benar dapat bersikap dan membawa diri sesuai dengan prinsip-prinsip persaudaraan Islam. Termasuk di dalamnya sikap menghormati keyakinan mazhab yang berbeda, mendahulukan prasangka baik (husnuz-zhan), juga kesediaan melakukan verifikasi (tabayun) dalam hal adanya tuduhan-tuduhan terhadap mazhab tertentu. Yang terpenting di antaranya adalah tidak merasa benar sendiri dan menganggap keyakinan mazhab lain sebagai salah, apalagi kemudian merasa perlu mendakwahkan mazhabnya serta berupaya mengubah keyakinan para pengikut mazhab lainnya.”

Ajakan untuk perdamaian dan persatuan umat Islam tentunya harus diberikan apresiasi. Namun, lagi-lagi, sebagai seorang Muslim-Sunni, saya justru berharap, ajakan semacam itu sebaiknya ditujukan kepada orang-orang Syiah di Indonesia. Sebab, di Indonesia, problem hubungan Ahlu Sunnah dan Syiah terjadi karena provokasi ajaran dan dakwah kaum Syiah yang menyerang kehormatan para sahabat dan istri-istri Nabi yang mulia, sebagaimana sudah kita bahas dalam tulisan sebelumnya (Solusi Damai Muslim Sunni - Kelompok Syi’ah).

Jika ditelaah sejumlah literatur Syiah, termasuk buku-buku yang terbit di Indonesia, kebiasaan untuk menyerang dan menfitnah sahabat dan istri Nabi tampaknya sulit mereka hilangkan. Belum lama ini, saya mendapatkan satu buku berjudul ”KECUALI ALI” (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2009). Penerbit ini mencantumkan alamat: P.O. Box 7335 JKSPM 12073, email: info@icc-jakarta.com. Aslinya, buku ini berjudul ”Ali Oyene-e Izadnemo”, karya Abbas Rais Kermani, terbitan Daftare Tablighat, Iran.

Buku ini lebih terbuka dan lebih berani dalam melecehkan dan menghina para sahabat Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam khususnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan radhiyallaahu ‘anhum. Kita bisa menyimak sejumlah tulisan di buku ini

“Umar adalah seorang yang berwatak keras dan menakutkan, Abu Bakar telah ditetapkan olehnya sebagai khalifah dengan penunjukan yang arogan. Luka semakin menganga, dan sangatlah sulit membangun hubungan dengannya. Setiap orang yang bekerja sama dengannya, orang itu akan seperti unta bengal dan mabuk dalam perjalanan. Jika kendalinya ditarik keras, maka hidungnya akan sobek. Jika kendali diolonggarkan maka akan jatuh ke jurang.” (hal. 144).

“Pada saat itu, panggilan dari alam ghaib dengan suara tinggi membacakan syair berikut: “… Kemudian Allah mengetahui bahwa kebenaran adalah hak mereka, bukan hak golongan (Abu Bakar adalah dari golongan itu, dan bukan golongan musuh (Umar dari golongan musuh).” (hal. 154).

“Umar menenangkan kekhawatiran Abu Bakar, dia berkata, ‘Janganlah bersedih, dia adalah setan.’ Seketika itu terdengar suara di balik dinding, ‘Saya bukanlah setan! Akan tetapi kalian dan ayah kalian akan menjadi Iblis.”… Ibnu Abbas berkata, ‘Ketika saya bersama Ali, beliau bertanya, ‘Apa yang terjadi dalam pertemuan malam tadi?’ Saya menjawab, ‘Engkau lebih mengetahui akan hal ini.’ Imam Ali as berkata, ‘Orang itu adalah saudaraku Khidir, ini adalah surat yang telah ditandantangani oleh Abu Bakar malam tadi malam.” (hal. 155-156).

Jika kita renungkan ungkapan-ungkapan yang tercuat dalam buku ”Kecuali Ali” tersebut, maka tampak begitu jelas dendam kesumat kaum Syiah terhadap sahabat-sahabat Nabi yang utama dan sangat dimuliakan oleh kaum Muslim Sunni. Bagaimana mungkin sahabat-sahabat utama itu dicaci maki, padahal keimanan dan jasa-jasa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. begitu hebatnya. Beliaulah yang menemani Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan Hijrah. Prestasi dan kepribadian Umar bin Khathab juga tidak diragukan. Kedua sahabat Nabi yang utama ini pun merupakan mertua Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana manusia-manusia yang begitu agung dan mulia itu dikatakan — dalam buku “Kecuali Ali” ini — akan menjadi IBLIS?

Keutamaan Usman bin Affan pun sudah sangat masyhur. Sejumlah riwayat yang dituturkan Ibn Hajar memberi gambaran kekayaan Usman. Di antaranya, pada permulaan masa hijrah, kaum Muslim di Madinah kesulitan mendapat air bersih. Saat itu, hanya ada mata air Rumah yang tersedia dan itupun harus dibeli. Usman radhiyallahu ‘anhu akhirnya membeli sumur itu dan mewakafkannya untuk umat Islam. Ketika ada rencana perluasan masjid Nabawi di masa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan dana kas negara tidak mencukupi, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan pengumpulan dana. Maka Usman radhiyallahu ‘anhu segera membeli tanah untuk perluasan tersebut seharga 25.000 dirham. Ketika Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam menghimpun dana guna membiayai perang Tabuk yang terjadi di masa paceklik, Usman radhiyallahu ‘anhu mendermakan 1.000 dinar,940 ekor unta dan 40 ekor kuda (al-Khilafah al-Rasyidah min Fath al-Bari)

Seiring dengan geliat kemajuan ekonomi di masa Umar, bisnis Usman bin Affan pun semakin berkembang dan asetnya bertambah besar, jauh di atas rata-rata kaum muslimin lainnya. Imam Bukhari (hadits no. 3059) menggambarkan, ketika kekayaan negara berupa hewan ternak semakin banyak, Umar terpaksa membuat lahan konservasi eksklusif (al-Hima), dan berkata kepada pegawainya, “Izinkan para pemilik ternak untuk menggembala di al-Hima, tapi jangan sekali-kali mengizinkan Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan. Karena jika seluruh ternak mereka berdua binasa, mereka masih punya kebun dan ladang”.

Jadi, Usman radhiyallahu ‘anhu memang seorang pengusaha sukses, kaya raya dan sangat dermawan. Jangankan hartanya, nyawanya pun telah dipertaruhkan untuk Islam. Ia terjun langsung dalam berbagai peperangan. Tidak masuk akal, manusia mulia seperti ini lalu menjadi orang yang serakah terhadap dunia. Tidaklah sepatutnya pribadi mulia seperti Usman bin Affan ini dicerca. Tidaklah komprehensif melihat kepemimpinan Usman hanya dari sebagian sisi lemahnya saja. Berbagai prestasi besar – dalam politik, ekonomi, dan pendidikan – telah dicapai dalam masa 12 tahun kepemimpinan Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ahlu Sunnah wal-Jamaah mengajarkan kaum Muslim untuk menghormati dan mencintai semua sahabat Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Ahlu Sunnah tidak mengajarkan dendam dan kebencian kepada para sahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam.

****

Buku Quraish Shihab

Ajakan persatuan Ahlu Sunnah dan Syiah ini juga pernah dikemukakan oleh Prof. Quraish Shihab yang menulis buku berjudul “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Buku Quraish Shihab ini kemudian dijawab oleh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, melalui sebuah buku berjudul ”Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”. Buku ini ditulis oleh Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI, Pondok Pesantren Sidogiri, yang dipimpin seorang anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.

Dalam bukunya, Quraish Shihab menulis, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. ”Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan II, hal. 265).

Dalam buku terbitan Pesantren Sidogiri tersebut, dikutip sambutan K.H. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang menegaskan: ”Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”

Diantara masalah yang dibahas dalam buku ini adalah isu tentang pengkafiran Ahlusunnah oleh kaum Syiah. Quraish Shihab menulis: “Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara lain di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah yang shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi Syiah itu. Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.” (hal. 120).

Pernyataan Quraish Shihab itu dijawab oleh Pesantren Sidogiri:

“Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang seperti apa yang digambarkannya (tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah. Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah… “Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masa’il Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka?” Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh, asalkan dengan menggunakan taqiyyah.” (348-349).

Seorang dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah) seringkali shalat bersama Ahlusunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika pulang.” (hal. 350-351).

Banyak sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan PPS ini. Karena itu, mereka juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang mengkafirkan Ahlusunnah hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. Pesantren Sidogiri juga mengimbau agar umat Islam berhati-hati dalam menerima wacana ”Persatuan umat Islam” dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata dalam kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi zalim, sementara Syiah diposisikan sebagai “yang terzalimi”.

Jadi, untuk membangun persaudaraa diperlukan ketulusan dan keterbukaan. Jalannya memang terjal dan berliku. Wallahu a’lam bil-shawab.

Dr. Adian Husaini

(hidayatullah)

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author