Penjelasan Front Ulama al-Ahzar tentang Kebatilan Agama Syi’ah
Front Ulama al-Ahzar (FUA) melancarkan serangan tajam kepada Syaikh Jamal Quthb, mantan komite fatwa al-Azhar sebagai bentuk bantahan atas peremehannya terhadap perselisihan antara Sunni dengan Syi’i dengan ucapannya bahwa tidak ada perbedaan antara Sunnah dengan Syi’ah lebih dari perbedaan antara Klub al-Ahli dan Klub Zamalik (nama 2 kesebelasan sepakbola).
Quthb mengemukakan penjelasannya tersebut di tengah jawabannya atas pertanyaan sekitar perkembangan orang-orang syi’ah di Mesir dan kawasan Arab, dimana jawaban tersebut merupakan efek dari kritikan FUA yang telah mengisyaratkan bahwa Syi’ah bukanlah kaum muslimin, karena ghuluw (berlebihan) dalam aqidah mereka, diantaranya adalah ucapan ma’shumnya para imam (dua belas).
FUA juga menambahkan, “Bahwa Sunnah dan Syi’ah sekarang ini adalah dua agama, bukan satu agama”. Kemudian mengutip dalil-dalil atas keluarnya keluarnya mereka (syi’ah) dari agama ini secara keseluruhan dengan ucapan mereka yang melampaui batas tentang kema’shuman para imam mereka. Juga karena keyakinan mereka bahwa permasalahan imamah adalah tuntutan paling penting di dalam hukum-hukum agama menurut mereka, dan termasuk permasalahan kaum muslimin yang paling mulia sebagaimana yang disebutkan oleh imam mereka yang bergelar as-Shaduq.
FUA juga mengisyaratkan bahwa Ahlussunnah telah ber-ijma’ (sepakat) akan kedustaan dan kekufuran hal tersebut, karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah lebih penting menurut Ahlusunnah dari pada sekedar masalah imamah.
Di dalam penjelasannya, FUA mengklaim bahwa Syi’ah telah membuat-buat kedustaan, dan mendustakan kebenaran, ini merupakan keadaan orang-orang murtad. Oleh karenanya penduduk Madinah menjauhi hadits-hadits mereka. Hingga Imam Malik rahimahullah pernah berkata, “Jadikanlah hadits-hadits penduduk Irak itu seperti kedudukan hadits-hadits ahli kitab, janganlah kalian membenarkan mereka dan janganlah kalian mendustakan mereka.”
FUA juga memberikan isyarat kepada pelanggaran permasalahan Imamah Ahlul Bait pada keumuman ushul ahlul bait dan imamah, juga kepada pengakuan para syaikh Rafidhah bahwa akidah mereka dalam tauhid, sifat (Allah) dan taqdir tidaklah mereka ambil dari al-Qur’an, tidak juga dari as-Sunnah, tidak juga dari para imam ahlul bait. Dan termasuk dari ushul mereka yang dijadikan pegangan adalah bahwa “Klaim cinta kepada Ali adalah sebuah kebaikan yang tidak akan membahayakannya satu keburukan pun, dan bahwa kebencian kepadanya adalah satu keburukan yang tidak akan bermanfaat bersamanya satu kebaikan pun.” Dan bahwa ulama ahlussunnah menganggap ini termasuk sebuah kekufuran nyata yang pelakunya dituntut untuk bertaubat.
FUA juga mengemukakan bahwa banyak di antara para syaikh Rafidhah menyifati Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai kekurangan tanpa ada pengingkaran dari selain mereka. Masing-masing dari mereka berselisih pendapat tentang kema’shuman para Nabi. Seperti ucapan Fazara bin A’yun “akan bolehnya sifat bada’ bagi Allah .” (tampak bagi Allah apa yang tadinya tidak tampak), yaitu bahwa Allah menghukumi sesuatu, kemudian menjadi jelas bagi apa yang tadinya tidak Dia ketahui, lalu Dia membatalkan hukum-Nya saat tampak kesalahan bagi-Nya”. Juga ucapan mereka bahwa “ilmu para imam lebih tinggi dari ilmu para Nabi, karena orang yang telah sampai kepada derajat Nabi maka itu adalah satu tetes dari lautan keimaman, dan satu kilauan dari cahaya mereka, satu biji dari rahasia mereka. Apa yang ada di sisi para imam adalah apa di sisi para Nabi yang ditambahkan kepadanya. Segala hal yang tertulis di Lauhul Mahfuzh berjalan kepadanya, seorang Nabi menunggu perkara ghaib, sementara imam melihat kepada yang ghaib.“
FUA memberikan peringatan bahwa Rafidhah, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Jika mereka mampu maka mereka akan loyal kepada orang orang kafir dan menolong mereka dan memusuhi kaum muslimin serta setiap orang yang tidak menyetujui pendapat mereka.” Lalu FUA bertanya-tanya, Apakah permasalahan seperti ini tersembunyi atas Syaikh Quthb?
FUA juga mengingatkan akan perlakuan Pemerintah Iran di ‘Arabistan terhadap ahlussunnah. Di mana perlakuan mereka sampai pada taraf pencabutan bola mata, pemotongan kedua tangan, perajaman hingga mati, melemparkan orang Arab dari pesawat terbang dalam keadaan hidup-hidup, melemparkan api terhadap orang-orang yang shalat. Ditambah lagi penyebaran agama Syi’ah di antara para penduduk, intimidasi terhadap ahlussunnah dengan penolakan pendirian masjid sunni bagi mareka dengan aman, peperangan mereka terhadap bahasa Arab, pemaksaan mereka untuk berbicara dengan bahasa Persia atas mereka, kesengajaan mengubah nama-nama untuk bisa diucapkan berdasarkan cara pengucapan lisan Persia.
FUA juga menyerupakan bahwa situasi Ahwaz (Ahvaz) di Iran sama dengan situasi bangsa Palestina yang tunduk di bawah kependudukan Bangsa Israel, di mana mereka menderita kekurangan, kefakiran, dan penderitaan sekalipun sumber pendapatan perekonomian Iran adalah minyak yang melimpah ruah. Seraya FUA mengingatkan tentang pembantaian 1800 orang Arab Ahwaz pada 26 Mei 1976 setelah tuntutan hak kemerdekaan mereka. (AR) *
Sumber: Majalah Qiblati Edisi 02 Tahun VI, Dzulhijjah 1431 H / November 2010