Penjelasan Dewan Syari’ah Wahdah Islamiyah Tentang Pemilu
PENJELASAN DEWAN SYARI’AH WAHDAH ISLAMIYAH
TENTANG PEMILIHAN UMUM
Dewan Syariah Wahdah Islamiyah dengan berpedoman pada:
1. Firman Allah Ta’ala pada Qs. Ali Imran (03): 110
{ كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ }
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”
2. Firman Allah Ta’ala pada Qs. Hud (11): 117
{ وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ }
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”
3. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى سعيد الخدري قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ »
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda:
“Siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran hendaknya ia cegah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan mulutnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.” HR. Muslim (no. 186)
4. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنْ « لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ »
Dari Ubadah ibn as-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan: Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. HR. Ibnu Majah (no. 2430) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 250.
5. Kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:
مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ كُلُّهُ
“Segala yang tidak dapat diwujudkan seluruhnya maka juga tidak ditinggalkan seluruhnya”
Disebut di antaranya oleh Imam al-Mulla Ali al-Qari dalam kitabnya Mirqatul Mafatih Syarhu Misykatul Mashabih dalam banyak bab seperti al-Qashdu dan at-Tanzhif.
Keterangan: Idealisme pada sesuatu jika belum dapat terwujud seluruhnya maka tidak semestinya meninggalkan hal tersebut secara keseluruhan pula. Demikian halnya pada perubahan kondisi umat Islam di Indonesia saat ini, jika belum dapat diwujudkan dengan sistem yang sesuai harapan maka juga tidak berarti meninggalkannya secara keseluruhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَالرُّسُلُ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ بُعِثُوْا بِتَحْصِيْلِ الْمَصَالِحِ وَ تَكْمِيْلِهَا وَ تَعْطِيْلِ الْمَفَاسِدِ وَ تَقْلِيْلِهَا بِحَسَبِ اْلإِمْكَانِ
“Dan para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mewujudkan segala maslahat atau menyempurnakannya dan menolak segala mafsadat atau menguranginya sesuai kemampuan”. Majmu’ al-Fatawa VIII/93-94.
6. Kaidah Fiqh yang berbunyi:
يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِ
“Mencegah kemudharatan yang bersifat umum dengan menanggung kemudharatan yang bersifat khusus (adalah boleh)”
7. Kaidah Fiqh yang berbunyi:
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفّهِمَا
“Jika dua mafsadat saling berlawanan maka yang terbesar hendaknya dicegah dengan melakukan yang terkecil”.
Kedua kaidah ini disebut oleh Syaikh Ahmad ibn Muhamad az-Zarqa’ dalam kitabnya Syarhul Qawaid al-Fiqhiyah no. 26 dan 28.
Maka Dewan Syariah Wahdah Islamiyah menyampaikan dengan menyebut segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan Islam dengan mengutus Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. yang membawa manhaj dan jalan hidup yang haq, sehingga tidak ada lagi pilihan bagi kaum beriman selain mengikuti manhaj beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh aspek kehidupan; dalam beribadah, bermu’amalah, berakhlaq, berda’wah dan berpolitik.
Menegakkan agama Allah di atas muka bumi ini tidak akan mungkin ditempuh dan dicapai kecuali dengan manhaj yang digariskan dan dijalani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya. Begitu juga dengan upaya melakukan perubahan menuju kehidupan yang diridhai Allah, ia tidak dapat diwujudkan kecuali dengan menempuh manhaj perubahan yang ditempuh Sang Rasul penutup itu bersama dengan para sahabatnya. Dan manhaj penegakan Islam dan perubahan menuju kehidupan yang diridhai Allah itu tersimpul pada dua kata; da’wah dan tarbiyah yang dibangun atas dasar ajaran Islam yang shahih dan murni. Inilah jalan pilihan bagi siapapun yang ingin melihat tegaknya Islam di muka bumi ini dan ingin menyaksikan terjadinya perubahan menuju kehidupan yang diridhai Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, kami meyakini bahwa seluruh perhatian, usaha dan upaya keras seharusnya ditujukan untuk membangun gerakan yang berkonsentrasi pada jalan da’wah dan tarbiyah tersebut. Itu pula sebabnya, kami meyakini bahwa sudah seharusnya kaum muslimin tidak berpaling dan mencari jalan atau metode lain yang dianggap dapat menegakkan agama Allah di atas muka bumi. Sebab pastilah jalan atau metode itu tidak akan berhasil mengantarkan kita kepada tujuan yang dicita-citakan; menegakkan hukum Allah Ta’ala di muka bumi.
Akan tetapi, dalam perjalanan menempuh jalan da’wah dan tarbiyah itu, kita terkadang diperhadapkan pada sebuah pilihan yang sesungguhnya tidak sejalan dengan prinsip dan keyakinan yang haq. Namun kita terpaksa memilih demi mencegah atau mengurangi kemafsadatan yang lebih besar. Dalam istilah para ulama langkah ini dikenal dengan kaidah irtikab al-mafsadah as-shughra li daf’i al-mafsadah al-kubra -menempuh kemafsadatan yang kecil demi mencegah terjadinya kemafsadatan yang lebih besar- (semakna dengan kaidah no. 6 di atas).
Mengikuti pemilu adalah salah satu contohnya. Kami berkeyakinan bahwa mengikuti pemilu dan masuk ke dalam parlemen bukanlah jalan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya serta generasi as-Salaf as-Shaleh dalam menegakkan dien ini dan melakukan perubahan menuju kehidupan yang diridhai Allah Ta’ala. Akan tetapi, saat ini khususnya kita di Indonesia tengah diperhadapkan pada sebuah realitas bahwa sebuah kekuatan besar secara terbuka maupun tersembunyi tengah merencanakan upaya besar untuk menghalangi da’wah Islam dan mendatangkan kerugian bagi kaum muslimin. Dan salah satu celah yang mereka tempuh adalah melalui berbagai kebijakan dan keputusan yang bersifat politis. Dengan kata lain, perlu ada dari kaum muslimin yang dapat menghalangi berbagai upaya tersebut, yang tentu saja salah satunya -secara terpaksa- dengan menempuh jalur politis.
Masalah pemilihan umum dengan mekanisme yang dikenal pada hari ini memang adalah masalah kontemporer yang belum dikenal di masa as-Salaf as-Shaleh. Itulah sebabnya, kita akan sulit menemukan nash yang sharih menjelaskan tentang hukum masalah ini. Oleh karena itu, para ulama Ahlussunnah yang menjelaskan masalah inipun mempunyai pandangan yang berbeda. Sebagian mengharamkan untuk ikut serta secara mutlak. Dan sebagian yang lain membolehkan dengan berbagai syarat dan batasan.
Siapapun yang mencermati dengan baik dan hati jernih tanpa didasari oleh sikap fanatik buta kepada ulama tertentu akan dapat menyimpulkan bahwa perbedaan para ulama Ahlussunnah dalam menyingkapi masalah ini sepenuhnya disebabkan perbedaan mereka dalam menimbang mashalahat dan mafsadat -suatu hal yang sering terjadi dalam masalah yang tidak didukung oleh nash yang sharih- yang ada dalam kasus ini. Walaupun beberapa ulama besar Ahlussunnah kontemporer (lih. Fatwa-fatwa terlampir) memandang bahwa ikut pemilu -bahkan menjadi anggota parlemen- dibolehkan demi mencegah kemafsadatan yang lebih besar. Dengan kata lain, kita terpaksa menempuh sebuah kemafsadatan yang lebih kecil (pemilu dan segala yang menjadi konsekwensinya) demi mencegah atau mengurangi kemafsadatan yang lebih besar.
Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa pemilu oleh para ulama digolongkan sebagai sebuah kemafsadatan yang terpaksa ditempuh. Karenanya ia tidak dapat diklaim sebagai metode pilihan untuk menegakkan dien ini, apalagi jika dianggap sebagai tujuan. Oleh karena itu, seyogyanya kaum muslimin tetap mengkonsentrasikan diri untuk melanjutkan gerakan da’wah dan tarbiyah yang berkesinambungan.
Demikianlah penjelasan ini, semoga kita semua senantiasa mendapatkan inayah dan taufiq dari Allah Azza wa Jalla. Amin.
Makassar, 20 Dzulhijjah 1424 H/11 Februari 2004 M
A.n Ketua Dewan Syari’ah Wahdah Islamiyah
Bahrun Nida Muhammad Amin, Lc
Wakil Ketua
Diperbaharui dengan tambahan dalil pada:
Makassar, 18 Rabiul Awal 1430 H/15 Maret 2009 M
M. Said Abdul Shamad, Lc Rahmat A. Rahman, Lc.
K e t u a Sekretaris
LAMPIRAN :
FATWA-FATWA PARA ULAMA AHLUSSUNNAH KONTEMPORER
SEPUTAR HUKUM IKUT SERTA DALAM PEMILIHAN UMUM
DAN MENJADI ANGGOTA PARLEMEN
Fatwa Lajnah Daimah Tentang Sikap Seorang Muslim Terhadap Partai-partai Politik (no. 6290)
Soal : Sebagian orang mengaku dirinya muslim namun tenggelam dalam partai-partai politik, sementara di antara partai-partai itu ada yang mengikuti Rusia dan ada yang mengikuti Amerika. Dan partai-partai ini juga terbagi-bagi menjadi begitu banyak, seperti Partai Kemajuan dan Sosialis, Partai Kemerdekaan, Partai Orang-orang Merdeka –Partai Al Ummah-, Partai Asy Syabibah Al Istiqlaliyyah dan Partai Demokrasi…serta partai-partai lainnya yang saling mendekati satu sama lain.
Bagaimanakah sikap Islam terhadap partai-partai tersebut, serta terhadap seorang muslim yang tenggelam dalam partai-partai itu ? Apakah keislamannya masih sah ?
Jawaban : Barang siapa yang memiliki pemahaman yang dalam tentang Islam, iman yang kuat, keislaman yang terbentengi, pandangan yang jauh ke depan, kemampuan retorika yang baik serta mampu memberikan pengaruh terhadap kebijakan partai hingga ia dapat mengarahkannya ke arah yang Islamy, maka ia boleh berbaur dengan partai-partai tersebut atau bergabung dengan partai yang paling dekat dengan al haq, semoga saja Allah memberikan manfa’at dan hidayah dengannya, sehingga ada yang mendapatkan hidayah untuk meninggalkan gelombang politik yang menyimpang menuju politik yang syar’i dan adil yang dapat menyatukan barisan ummat, menempuh jalan yang lurus dan benar. Akan tetapi jangan sampai ia justru mengikuti prinsip-prinsip mereka yang menyimpang.
Dan adapun orang yang tidak memiliki iman dan pertahanan seperti itu serta dikhwatirkan ia akan terpengaruh bukan memberi pengaruh, maka hendaknya ia meninggalkan partai-partai tersebut demi melindunginya dari fitnah dan menjaga agamanya agar tidak tertimpa seperti yang telah menimpa mereka (para aktifis partai itu) dan mengalami penyimpangan dan kerusakan seperti mereka.
Wabillahittaufiq, Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
Ketua : Abdul Aziz ibn Abdillah ibn Baz.
Wakil Ketua : Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : Abdullah ibn Ghudayyan
Anggota : Abdullah ibn Qu’ud
( Lih. Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah vol.12, hal.384 )
Fatwa Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah Tentang Keikutsertaan Dalam Pemilu
Soal Kedua : Apakah hukum syar’i memberikan dukungan dan sokongan berkaitan dengan masalah yang telah disebutkan terdahulu (maksudnya: pemilihan umum) ?
Jawaban : Pada saat ini kami tidak menasehati seorangpun dari saudara-saudara kami kaum muslimin untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen yang tidak berhukum kepada hukum Allah, walaupun (negara) itu telah mencantumkan dalam undang-undangnya “agama negara adalah Islam” sebab teks semacam ini telah terbukti bahwa ia dicantumkan hanya untuk ‘meninabobokkan’ para anggota parlemen yang masih baik hatinya !! Hal itu disebabkan karena ia tidak mampu untuk mengubah satupun pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang itu yang menyelisihi Islam, sebagaimana telah terbukti di beberapa negara yang undang-undangnya memuat teks tersebut (bahwa “agama negara adalah Islam”-pen).
Ditambah lagi jika seiring dengan perjalanan waktu, ia kemudian turut pula menyetujui beberapa hukum yang menyelisihi Islam dengan alasan belum tiba/tepat waktunya untuk melakukan perubahan. Sebagaimana yang kita saksikan di beberapa negara, sang anggota parlemen mengubah gaya penampilannya yang Islami dengan mengikuti gaya barat agar dapat sejalan dengan (gaya) para anggota parlemen lainnya ! Maka ia masuk ke dalam parlemen dengan tujuan memperbaiki orang lain, malah justru ia telah merusak dirinya sendiri. (Seperti kata pepatah) hujan itu mulanya hanya setetes namun kemudian menjadi banjir ! Oleh sebab itu kami tidak menyarankan seorangpun untuk mencalonkan dirinya (sebagai anggota parlemen). Akan tetapi saya memandang tidak ada halangan bagi rakyat muslim bila dalam daftar calon anggota legsilatif itu terdapat orang-orang yang memusuhi Islam dan terdapat pula calon-calon anggota legislatif muslim dari partai yang memiliki manhaj yang berbeda-beda, maka -dalam kondisi seperti ini- kami menasehatkan agar setiap muslim memilih (calon anggota legislatif) dari kalangan Islam saja dan orang yang paling dekat dengan manhaj yang shahih sebagaimana telah dijelaskan (manhaj salaf-pen).
Saya mengatakan ini -walaupun saya yakin bahwa pencalonan dan pemilihan ini tidak dapat merealisasikan tujuan yang diharapkan seperti telah dijelaskan terdahulu- sebagai suatu upaya untuk meminimalisir kejahatan atau sebagai suatu bentuk usaha untuk menolak kemafsadatan yang lebih besar dengan menempuh kemafsadatan yang lebih kecil sebagaimana yang dikatakan oleh para fuqaha’.
Soal ketiga : Apakah hukum keluarnya kaum wanita untuk turut serta dalam pemilihan umum ?
Jawaban : Dibolehkan bagi mereka untuk keluar dengan syarat yang telah diketahui bersama yang harus mereka penuhi, yaitu mengenakan jilbab yang syar’i dan tidak bercampur baur (ikhtilath) dengan kaum pria. Ini yang pertama.
Kemudian mereka hendaknya memilih orang yang paling dekat kepada manhaj ilmu yang shahih sebagai suatu upaya untuk menolak kemafsadatan yang lebih besar dengan menempuh kemafsadatan yang lebih kecil sebagaimana telah dijelaskan.
( Fatwa ini adalah bagian dari faksimili yang dikirimkan oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albany kepada Partai FIS Aljazair, tertanggal 19 Jumadil Akhirah 1412 H. Dimuat di majalah Al Ashalah edisi 4 hal 15-22. Sedangkan terjemahan ini diambil dari kitab Madarik An Nazhar Fi As Siyasah hal. 340-341 )
Fatwa Syekh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz rahimahullah Tentang Dewan/Majelis Legislatif
Soal : Banyak penuntut ilmu syar’i yang bertanya-tanya tentang hukum masuknya para du’at dan ulama ke dalam dewan legislatif dan parlemen, serta turut serta dalam pemilihan umum di negara yang tidak menjalankan syari’at Allah. Maka apakah batasan untuk hal ini ?
Jawab : Masuk ke dalam parlemen dan dewan legislatif adalah sangat berbahaya. Masuk ke dalamnya sangatlah berbahaya. Akan tetapi barang siapa yang masuk ke dalamnya dengan landasan ilmu dan pijakan yang kuat, bertujuan menegakkan yang haq dan mengarahkan manusia kepada kebaikan serta menghambat kebatilan, tujuan utamanya bukan untuk kepentingan dunia atau ketamakan terhadap harta, ia masuk benar-benar hanya untuk menolong agama Allah, memperjuangkan yang haq dan mencegah kebatilan, dengan niat baik seperti ini, maka saya memandang tidak mengapa melakukan hal itu, bahkan seyogyanya dilakukan agar dewan dan majelis seperti itu tidak kosong dari kebaikan dan pendukung-pendukungnya. (Ini) bila ia masuk (dalam perlemen) dengan niat seperti ini dan ia mempunyai pijakan yang kuat agar ia dapat memperjuangkan dan meMpertahankan yang haq serta menyerukan untuk meninggalkan kebatilan. Mudah-mudahan Allah memberikan manfa’at dengannya hingga (dewan) itu dapat menerapkan syari’at (Allah). Dengan niat dan maksud seperti ini disertai ilmu dan pijakan yang kuat, maka Allah Jalla wa ‘Ala akan memberinya balasan atas usaha ini.
Akan tetapi jika ia masuk ke dalamnya dengan tujuan duniawi atau ketamakan untuk mendapatkan kedudukan, maka tidak diperbolehkan. Sebab ia harus masuk dengan niat mengharapkan Wajah Allah dan negeri Akhirat, memperjuangkan dan menjelaskan yang haq dengan dalil-dalilnya agar semoga saja dewan dan majelis itu mau kembali dan bertaubat kepada Allah.
(Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Ishlah edisi 242-27 Dzulhijjah 1413 H/23 Juni 1993 M. Adapun terjemahan ini dinukil dari buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan).
Fatwa Syekh Muhammad Ibn Shaleih Al ‘Utsaimin rahimahullah Tentang Hukum Masuk Ke Dalam Parlemen
Soal : Fadhilah Asy Syekh -semoga Allah senantiasa menjaga Anda-, tentang masuk ke dalam majelis legislatif padahal negara itu tidak menerapkan syari’at Allah dengan sempurna, bagaimana pandangan Anda tentang masalah ini -semoga Allah senantiasa menjaga Anda- ?
Jawaban : Kami telah pernah menjawab pertanyaan serupa beberapa waktu lalu, yaitu bahwa sudah seharusnya (ada yang) masuk dan turut serta dalam pemerintahan. Dan hendaknya seseorang dengan masuknya ia ke dalam pemerintahan meniatkannya untuk melakukan perbaikan bukan untuk menyetujui setiap keputusan yang dikeluarkan. Dan dalam kondisi seperti ini, bila ia menemukan sesuatu yang menyelisihi syari’at maka ia berusaha menolak/membantahnya. Walaupun pada kali pertama dia tidak banyak orang yang mengikuti dan mendukungnya, maka (ia mencoba terus) untuk kedua kalinya, atau (bila tidak berhasil pada) bulan pertama, (maka ia mencoba lagi) pada kedua dan ketiga, atau (bila tidak berhasil) pada tahun pertama, (maka ia mencoba lagi) pada tahun kedua…maka di masa yang akan datang akan ada pengaruh yang baik.
Namun jika (pemerintahan) itu dibiarkan lalu kesempatan itu diberikan kepada orang-orang yang jauh dari (cita-cita) penerapan syari’at maka ini adalah sebuah kelalaian yang besar yang tidak seharusnya seseorang itu memiliki/melakukannya.
(Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Furqan edisi 42-Rabi’ Ats Tsani 1414 H/Oktober 1993 M. Adapun terjemahan ini diambil dari buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan).
Fatwa Syekh Shalih Al Fauzan hafizhahullah Seputar Menjadi Anggota Parlemen
Soal : Bagaimana hukum menjadi anggota parlemen ?
Jawaban : Apa yang akan terealisasi dengan masuknya ia menjadi anggota parlemen ? Kemashlahatan bagi kaum muslimin ? Bila hal itu berdampak bagi kemashlahatan kaum muslimin dan mengupayakan perubahan terhadap parlemen itu menuju Islam, maka ini adalah perkara yang baik. Setidak-tidaknya mengurangi bahaya/kemudharatan bagi kaum muslimin dan mendapatkan sebagian kemashlahatan jika tidak memungkinkan meraih semua kemashlahatan, walaupun hanya sebagian saja.
Soal : Tapi hal itu terkadang mengharuskan seseorang untuk mengorbankan beberapa hal yang ia yakini ?
Jawaban : Mengorbankan maksudnya melakukan tindakan kufur kepada Allah atau apa ?
(Yang hadir menjawab ) : Mengakuinya.
Jawaban : Tidak, pengakuan ini tidak boleh dilakukan. Yakni ia meninggalkan agamanya dengan alasan untuk berda’wah ke jalan Allah, ini tidak benar. Bila mereka tidak mempersyaratkan ia harus mengakui hal-hal (yang kufur) itu dan ia tetap berada di atas keislamannya, aqidah dan diennya, lalu dengan masuknya ia (dalam parlemen) terdapat kemashlahatan bagi kaum muslimin, dan bila mereka tidak mau menerimanya, ia pun meninggalkan mereka; apa yang akan ia lakukan ? Memaksa mereka ? Tidak mungkin memaksa mereka. Yusuf alaihissalam masuk ke dalam jajaran kementrian seorang raja di zamannya, lalu apa yang terjadi ? Anda sekalian tahu atau tidak apa yang terjadi pada Nabi Yusuf alaihissalam ? Apa yang dilakukan Yusuf ketika beliau masuk ? Ketika sang raja mengatakan bahwa engkau hari ini telah menjadi orang yang terpercaya dan memiliki posisi kuat dalam pandangan kami, maka beliau mengatakan : “Angkatlah aku sebagai bendaharawan negara, sebab saya adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Lalu kemudian beliaupun masuk (ke pemerintahan) hingga akhirnya kekuasaanpun berada di tangan Yusuf alaihissalam. Beliau kemudian menjadi raja Mesir. Salah seorang nabi Allah menjadi raja Mesir.
Maka bila masuknya ia akan mendatangkan hasil yang baik maka ia hendaknya masuk. Namun jika hanya sekedar untuk menerima dan tunduk kepada apa yang mereka inginkan, dan tidak ada kemashlahatan bagi kaum muslimin dengan masuknya ia maka ia tidak dibolehkan untuk menjadi anggota parlemen. Para ulama mengatakan: mendatangkan maslahat atau menyempurnakannya, artinya bila maslahat itu tidak dapat diraih seluruhnya, maka tidak apa-apa walaupun hanya sebagian yang dapat dicapai, dengan syarat tidak menyebabkan terjadinya kemafsadatan yang lebih besar.
(Para ulama) mengatakan bahwa Islam datang untuk meraih kemashlahatan dan menyempurnakanya, serta menolak kemafsadatan dan menguranginya. Artinya bila kemafsadatan itu tidak dapat ditolak seluruhnya, maka setidaknya ia berkurang dan lebih ringan. (Dengan kata lain) menempuh kemudharatan yang paling ringan di antara dua kemudharatan demi mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar.
Ini semua bergantung pada maksud dan niatnya serta hasil yang akan dicapai. Dan bila masuknya ia sebagai anggota parlemen hanya karena ketamakan pada kekuasaan dan harta, lalu kemudian mendiamkan (kebatilan) dan menyetujui (kebatilan) yang mereka kerjakan maka ini tidak diperbolehkan. Dan bila masuknya mereka demi kemashlahatan kaum muslmin dan da’wah ke jalan Allah sehingga semuanya dapat berpangkal pada kebaikan kaum muslimin maka ini adalah perkara yang harus dilakukan, tentu saja bila tidak mengakibatkan ia harus mengakui kekufuran. Sebab bila demikian maka ini tidak dibolehkan. Tidak dibenarkan mengakui kekufuran walaupun dengan tujuan yang mulia. Seseorang tidak boleh menjadi kafir lalu mengatakan bahwa tujuan saya adalah mulia, saya ingin berda’wah ke jalan Allah; ini tidak diperbolehkan.
(Fatwa ini berasal dari sebuah kaset yang direkam dari Syekh, lalu dimuat dalam buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan).
Sumber : PENJELASAN DEWAN SYARI’AH WAHDAH ISLAMIYAH TENTANG PEMILIHAN UMUM