Pengkhianatan Syi’ah terhadap Ali bin Abu Thalib dan Keturunannya
Berbagai kekacauan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh kaum Syi’ah pada masa ini bukanlah hal yang baru. Sejarah telah menjadi saksi atas pengkhianatan-pengkhiatan yang mereka lakukan terhadap kaum muslimin. Kami merasa perlu untuk mengangkatnya di hadapan pembaca yang kami muliakan, agar kita mengetahui akan hakikat Syi’ah dimana pengkhianatan menjadi bagian dari ajaran mereka. Dalam artikel ini kami akan mengangkat rangkaian pengkhiatan Syi’ah terhadap ahlul bait, Ali bin Abu Thalib dan keturunannya.
Pengkhianatan Syi’ah Terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
Sebagian besar syi’ah (pendukung) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah penduduk Iraq, terutama penduduk Kufah dan Bashrah. Ketika Ali berkeinginan untuk pergi berperang bersama mereka ke Syam, setelah berhasil meredam fitnah kaum Khawarij (salah satu sekte pecahan syi’ah Ali sendiri yang malah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu), mereka malah meninggalkan beliau radhiyallahu ‘anhu. Padahal sebelumnya mereka telah berjanji untuk membantunya dan pergi bersamanya, tetapi dalam kenyataannya mereka semua membiarkannya dan mereka mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, anak panah kami telah musnah, pedang-pedang dan tombak-tombak kami telah tumpul, maka kembalilah bersama kami, sehingga kami menyediakan peralatan yang lebih baik.” Kemudian Ali mengetahui bahwa semangat merekalah yang sesungguhnya sudah tumpul dan melemah, bukan pedang-pedang mereka. Mulailah mereka pergi secara diam-diam dari tempat tentara Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan kembali ke rumah mereka tanpa sepengetahuan beliau, sehingga kamp-kamp militer tersebut menjadi kosong dan sepi. Ketika beliau melihat hal tersebut, beliau kembali ke Kufah dan mengurungkan niatnya untuk pergi. (Lihat Târikh ath-Thabarî: Târîkh al-Umam wal Mulûk 5/89–90 dan al-Kamil fit Tarikh oleh Ibnul Atsir 3/349).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengetahui bahwa perkara apa pun tidak dapat mereka menangkan walaupun mereka telah berbuat adil dan beliau adalah seorang yang adil sekalipun kepada para pendukung beliau, beliau tidak dapat menyembunyikan kekesalannya dan persaksiannya terhadap para penipu ini kemudian berkata kepada mereka, “Kalian hanyalah pemberani-pemberani dalam kelemahan, serigala-serigala penipu ketika diajak bertempur, dan aku tidak percaya kepada kalian … kalian bukanlah kendaraan yang pantas ditunggangi dan bukan pula orang mulia yang layak dituju. Demi Allah, sejelek-jelek provokator perang adalah kalian. Kalianlah yang akan tertipu dan tidak akan dapat merencanakan tipu daya jahat, kebaikan kalian akan lenyap, dan kalian tidak dapat menghindar.” (Târîkh ath-Thabarî 5/90 dan al-’Âlam al-Islâmi fil ‘Ashri al-Umawî hlm. 91)
Yang anehnya lagi, para pendukung (syi’ah) Ali di Iraq ini tidak hanya mundur dari medan perang ke Syam bersama beliau, tetapi mereka juga takut dan keberatan untuk mempertahankan wilayah mereka sendiri, sementara pasukan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu telah menyerang Ain at-Tamr dan daerah-daerah Iraq yang lain. Mereka tidak tunduk kepada perintah Ali radhiyallahu ‘anhu untuk mempertahankannya, sampai-sampai Amirul Mukminin Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Kufah, setiap kali kalian mendengar kedatangan pasukan dari Syam, maka setiap orang dari kalian masuk ke dalam kamar rumahnya dan menutup pintunya seperti masuknya biawak ke persembunyiannya dan hyena ke dalam sarangnya … Orang yang tertipu adalah orang yang kalian bodohi, dan bagi yang menang bersama kalian, adalah menang dengan bagian yang nihil. Tidak ada orang-orang yang berangkat ketika dipanggil, dan tidak ada saudara-saudara yang dapat dipercaya ketika dibutuhkan. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali.” (Târîkh ath-Thabarî 5/135 dan al-’Âlam al-Islâmi fil ‘Ashri al-Umawî hlm. 96)
Pengkhianatan Syi’ah Terhadap Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma
Ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dibunuh oleh Ibnu Muljam (seorang khawarij yang tadinya termasuk syi’ah Ali namun mengkafirkan beliau setelah itu), al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma dibai’at menjadi khalifah, dan beliau yakin tidak dapat berhasil perang melawan Mu’awiyah. Terutama setelah sebelumnya sebagian pengikutnya di Iraq telah meninggalkan ayahnya. Akan tetapi, para pengikut mereka di Iraq kembali meminta al-Hasan untuk memerangi Mu’awiyah dan penduduk Syam. Padahal jelas-jelas sebenarnya al-Hasan berkeinginan menyatukan kaum muslimin saat itu, karena beliau paham sekali tentang kelakuan orang-orang syi’ah di Iraq ini yang beliau sendiri membuktikan hal tersebut. Ketika beliau menyetujui mereka (orang-orang syi’ah di Iraq) dan beliau mengirimkan pasukannya serta mengirim Qais bin Ubadah di bagian terdepan untuk memimpin dua belas ribu tentaranya, dan singgah di Maskan, ketika al-Hasan sedang berada di al-Madain tiba-tiba salah seorang penduduk Iraq berteriak bahwa Qais telah terbunuh. Mulailah terjadi kekacauan di dalam pasukan, maka orang-orang syi’ah Iraq kembali para tabiat mereka yang asli (berkhianat), mereka tidak sabar dan mulai menyerang kemah al-Hasan serta merampas barang-barangnya, bahkan mereka sampai melepas karpet yang ada di bawahnya, mereka menikamnya dan melukainya. Dari sinilah salah seorang penduduk Syi’ah Iraq, Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi merencanakan sesuatu yang jahat, yaitu mengikat al-Hasan bin Ali dan menyerahkan kepadanya, karena ketamakannya dalam harta dan kedudukan. Pamannya yang bernama Sa’ad bin Mas’ud ats-Tsaqafi telah datang, dia adalah salah seorang wali dari Madain dari kelompok Ali. Dia (Mukhtar bin Abi Ubaid) bertanya kepadanya, “Apakah engkau menginginkan harta dan kedudukan?” Dia berkata, “Apakah itu?” Dia menjawab, “Al-Hasan kamu ikat lalu kamu serahkan kepada Mu’awiyah.” Kemudian pamannya berkata, “Allah akan melaknatmu, berikan kepadaku anak putrinya Rasulullah.” Ia memperhatikannya lalu mengatakan, “Kamu adalah sejelek-jelek manusia.” (Târikhath-Thabarî 5/195 dan al-’Âlam al-Islâmi fil ‘Ashri al-Umawî hlm. 101)
Maka al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sendiri berkata, “Aku memandang Mu’awiyah (bersikap) lebih baik terhadapku dibanding orang-orang yang mengaku mendukungku (Syi’ahku), mereka malah ingin membunuhku, mengambil hartaku. Demi Allah, saya dapat meminta dari Mu’awiyah untuk menjaga keluargaku dan melindungi keselamatan seluruh keluargaku, dan semua itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluarga dan keturunanku menjadi punah. Demi Allah, jikalau aku berperang dengan Mu’awiyah niscaya mereka akan menyeret leherku dan menganjurkan untuk berdamai, demi Allah aku tetap mulia dengan melakukan perdamaian dengan Mu’awiyah dan itu lebih baik dibanding ia memerangiku dan aku menjadi tahanannya.” (al-Ihtijâj li ath-Thibrisî hlm. 148)
Pengkhianatan Syi’ah Terhadap Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu
Setelah wafatnya Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pada 60 H yang sebelumnya beliau menunjuk Yazid bin Mu’awiyah untuk menjadi pemimpin yang niat beliau (dengan penunjukan tersebut) agar tidak terjadi lagi perpecahan di antara kaum muslimin dalam masalah kekuasaan. Maka berpalinglah para utusan ahli Iraq kepada Husain bin Ali d dengan penuh antusias dan simpati. Lalu mereka berkata kepada Husain, “Kami telah menahan diri-diri kami demi engkau, dan kami juga tidak mengikuti shalat Jum’at bersama penguasa yang ada, maka datanglah engkau kepada kami.” (Târîkh ath-Thabarî 5/347)
Penduduk Kufah menulis kepada Husain, mereka berkata: “Kami tidak memiliki imam, maka datanglah, semoga Allah akan mengumpulkan kami denganmu di atas al-haq.” (Lihat Târîkh ath-Thabarî 3/277–278).
Di bawah tekanan mereka, terpaksa Husain memutuskan untuk mengirim anak pamannya, Muslim bin Aqil, untuk mengetahui keadaan yang terjadi. Maka keluarlah Muslim pada bulan Syawal tahun 60 H. Tatkala penduduk Iraq mengetahui kedatangan Muslim bin Aqil maka mereka datang kepadanya. Mulailah mereka berbai’at kepada Husain. Disebutkan bahwa jumlah mereka yang berbai’at sebanyak dua belas ribu orang. Kemudian penduduk Kufah pun mengirim utusan untuk membai’at Husain dan semuanya berjalan dengan baik. Akan tetapi, sayangnya, Husain radhiyallahu ‘anhu tertipu oleh pengkhianatan mereka. Husain pergi menemui mereka walaupun sudah diperingatkan oleh para sahabat Nabi dan orang-orang yang terdekat dengan beliau agar tidak keluar menemui mereka; hal itu karena mereka telah mengetahui pengkhianatan yang selama ini telah dilakukan oleh kaum Syi’ah Iraq. Sampai-sampai Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata kepada Husain, “Apakah engkau akan pergi ke kaum (golongan) yang telah membunuh pemimpin mereka, merampas negeri mereka, dan memusnahkan musuh mereka, jika mereka telah melakukan hal itu maka pergilah kepada mereka. Akan tetapi, jika mereka mengajakmu ke sana, sedang penguasa mereka berkuasa terhadap mereka, dan para pegawainya menguasai negeri mereka, maka mereka hanya mengajak Anda menuju medan perang dan peperangan, dan saya tidak merasa aman (kalau-kalau) mereka akan mengkhianati, menipu, membangkang, meninggalkan, dan berbalik memerangi kamu sehingga mereka menjadi orang yang paling keras permusuhannya kepadamu.” (al-Kâmil fit Târîkh 4/37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Tatkala Husain radhiyallahu ‘anhu hendak keluar kepada penduduk Iraq tatkala mereka mereka mengirim surat yang banyak kepadanya, maka para pemuka ahli ilmu dan agama seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam mengisyaratkan kepadanya agar tidak keluar.” (Majmû’ Fatâwâ 4/316)
Dengan jelas tampaklah pengkhianatan Syi’ah ahli Kufah, walaupun mereka sendiri yang telah mengharapkan akan kedatangan Husain. Hal itu sebelum Husain sampai kepada mereka. Maka penguasa Bani Umayyah, Ubaidillah bin Ziyad, ketika mengetahui sepak terjang Muslim bin Aqil yang telah membai’at Husain dan sekarang berada di Kufah, ia segera mendatangi Muslim dan langsung membunuhnya, sekaligus terbunuh pula tuan rumah yang menjamunya, Hani bin Urwah al-Muradi. Dan kaum Syi’ah Kufah tidak memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari janji mereka terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu, hal itu mereka lakukan karena Ubaidillah bin Ziyad memberikan sejumlah uang kepada mereka. Ketika Husain radhiyallahu ‘anhu keluar bersama keluarga dan beberapa orang pengikutnya yang berjumlah sekitar 70 orang laki-laki dan langkah itu ditempuh setelah adanya perjanjian-perjanjian dan kesepakatan, kemudian masuklah Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, maka terbunuhlah al-Husain radhiyallahu ‘anhu dan terbunuh pula semua sahabatnya, termasuk tiga saudara Husain sendiri: Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Ali bin Abi Thalib, ketiga anak Ali bin Abi Thalib selain Hasan, Husain, dan Muhammad bin Hanafiyyah. Bahkan do’anya atas mereka (syi’ah) sangat terkenal, beliau mengatakan sebelum wafatnya, “Ya Allah, apabila engkau memberikan mereka kenikmatan, maka cerai-beraikanlah mereka, jadikanlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda, dan janganlah restui pemimpin mereka selamanya, karena mereka telah mengundang kami untuk menolong kami, namun ternyata kemudian memusuhi kami dan membunuh kami.” (al-Irsyâd hlm. 241 dan I’lâm al-Wara li ath Thibrisî hlm. 949).
Penutup
Dari rangkaian pengkhianatan tersebut kita bisa ketahui bahwa jargon-jargon “cinta ahlul bait” yang senantiasa kaum syi’ah munculkan hanyalah isapan jempol belaka. Hanya untuk melegalisir ajaran-ajaran sesat yang mereka atas namakan ahlul bait.
Insya Allah, tulisan ini akan kami sambung dengan rangkaian pengkhiatanan syi’ah lainnya. Wallahu Musta’an.[]