Published On: Sun, Sep 20th, 2009

Pemimpin yang Didambakan

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil maupun yang besar.

Dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam shalat berjamaah, imam berarti orang yang didepan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus selalu didepan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang dipimpinnya kearah kebenaran.

Olehnya itu al-Balagh dua edisi sebelumnya telah memberikan secuil sumbangsi kepada ummat untuk perbaikan bangsa dan negara, hari ini dan esok akan muncul pemimpin-pemimpin pilihan rakyat yang tentunya tidak lepas dari ketentuan Allah, kembali al balagh dalam edsi ini memberikan sebuah bingkisan kecil kepada para pemimpin-pemimpin yang terpilih dan juga menjadi pegangan buat ummat untuk saling tanashuh ( saling mengikatkan dalam kebaikan) dalam upaya perbaikan bangsa dan negara.

Bagaimana menjadi pemimpin dambaan dan kebanggaan ummat :
1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,. Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah Swt. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya.

Oleh karena itu, ketika Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah yang cemerlang datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan. Karena kepemimpinan itu tanggung jawab atau amanah yang tidak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu kepastian, Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas
Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan. Apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit. Karenanya dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 400 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 10 dirham. Hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tetapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat. Padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.

Alangkah mulianya pribadi Umar bin Khaththab yang membuat peraturan untuk para gubernurnya:
1. Jangan memiliki kendaraan istimewa
2. Jangan memakai pakaian tipis (halus dan mahal harganya)
3. Jangan mengkonsumsi makanan yang enak-enak
4. Jangan menutup rumahmu bila orang memerlukanmu
Semua itu dimaksudkan agar para gubernur dapat merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat yang dipimpinnya.

3. Kerja Keras, Bukan Santai.
Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan optimisme.

. Saat menghadapi krisis ekonomi, Khalifah Umar bin Khattab membagikan sembako (bahan pangan) kepada rakyatnya. Meskipun sore hari ia sudah menerima laporan tentang pembagian yang sudah merata. Pada malam hari, saat masyarakat sudah mulai tidur, Umar mengecek langsung dengan mendatangi lorong-lorong kampung, lalu mendapati sebuah keluarga yang masak batu sekedar untuk memberi harapan kepada anaknya yang menangis karena lapar disebabkan karena tidak mendapatkan pembagian, Kemudian Umar pulang ke rumahnya walaupun malam sudah larut lalu kembali sambil memikul satu karung bahan makan untuk keluarga tersebut.

4. Kewenangan Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.
Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik daripada pemimpin sebelumnya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka”. (HR. Abu Na’im)

Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi menjual rakyatnya. Berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ia adalah pengkhianat yang paling besar, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:”Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya”.(HR. Thabrani).

5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.
Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan itu bukan malah menunjukkan kemewahan. Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran.

Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menunjukkan keteladanan dan kepeloporan dalam banyak peristiwa. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam membangun masjid Nabawi di Madinah bersama para sahabatnya, beliau tidak hanya menyuruh dan mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tetapi beliau turun langsung mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa batu bata dari tempatnya ke lokasi pembangunan sehingga ketika para sahabat yang lebih muda dari beliau sudah mulai lelah dan beristirahat, Rasul masih terus saja membawanya meskipun ia juga nampak lelah. Kemudian seorang sahabat bermaksud mengambil batu yang dibawa oleh Beliau agar ia yang membawanya, tapi Beliau justru menyatakan: “Kalau kamu mau membawa batu bata, disana masih banyak batu yang bisa engkau bawa, yang ini biar tetap aku yang membawanya”. Karenanya para sahabat tetap dan terus bersemangat dalam proses penyelesaian pembangunan masjid Nabawi.

Dari beberapa uraian di atas, kita dapat menyadari bahwa seorang pemimpin haruslah meyakini bahwa jabatan adalah amanah yang menuntut tanggung jawab, bukan penguasaan. Penguasa adalah satu orang di antara ummat, bukan ummat dalam satu orang. Mungkin untuk menjadi seperti Rasulullah, Umar bin Khattab maupun Umar bin Abdul Aziz adalah hal yang sangat sulit sebab mereka adalah manusia pilahan, tetapi kita berharap pemimpin kita berupaya keras untuk mendekati keteladanan mereka, sebagaimana dalam kaidah Saddidu wa qaribu (usahakan dan dekati).
Semoga orang-orang yang telah dipercaya oleh rakyat sebagai pemimpin di negeri ini diberikan petunjuk oleh Allah Ta’ala da senantiasa merenungi akan beratnya tanggung jawab amanah tersebut, yang akhirnya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah dimahkamah akhiratnya dan hanya kejujuranlah yang menjadi pembela. Wallahul musta’aan

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author