Published On: Sat, Jul 11th, 2009

Pemimpin adalah Cerminan Rakyat

Pemilu kemarin telah melahirkan pemimpin bagi bangsa kita untuk lima tahun kedepan, anda ridho maupun tidak dari hasil pemilu semua ini merupakan takdir dan ketentuan Allah Subhanahu wa ta’ala, jangan pernah menyesali hasil keputusan tersebut karena sedikit banyaknya masyarakat jugalah yang menjadi penentu lahirnya pemimpin negeri ini. Tidak ada yang perlu untuk disesali, pemimpin yang amanah, adil dan mampu untuk mengayomi masyarakatnya adalah harapan kita olehnya itu kita memilihnya, jika pemimpin bangsa yang lahir nantinya adalah orang yang dzholim, tidak jujur dalam amanahnya, hal itu juga tidak lepas dari kita karena kita jualah yang memilihnya yang tentunya dalam hal ini dituntut bagi kita untuk lebih banyak muhasabah (introspeksi diri)

Kepribadian seorang pemimpin sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh kepribadian rakyatnya yang didukung dengan sistem pemilihan di negeri kita ini yang sepenuhnya diserahkan kepada rakyat. Seribu empat ratus tahun yang lalu ada kisah yang menarik yang berkaitan dengan ungkapan kita diatas yaitu kisah perbincangan Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah dengan rakyatnya, dimana perbincangan itu dimulai dari pertanyaan seorang rakyat kepada Ali bin Abu Thalib yang mengatakan “Kenapa kadaan negeri kita ini tidak sebagus dibawah kepimpinan pendahulu Anda yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab” pertanyaan yang menunjukkan kerisauan terhadap kondisi negara yang dirasakannya, kemudian Ali bin Abu Tahlib menjawab dengan mengatakan: “ Ketika Abu Bakar dan Umar yang menjadi khalifah, rakyatnya adalah adalah orang-orang seperti kami, adapun sekarang yang menjadi rakyatku adalah orang yang berkarakter seperti kamu.” Menunjukkan kebenaran kepada kita kualitas pemimpin sangat dipengaruhi oleh rakyatnya.

Pemimpin yang baik tidak akan membiarkan rakyatnya berkembang secara liberal, bebas dan tak terkendali. Ia punya tanggungjawab moral untuk mengarahkan rakyatnya kepada jalan hidup yang lebih baik dan benar. Selama ia tak sanggup untuk introspeksi-diri, tidak jujur dan bersikap mendua, maka akhirnya ia pun harus berjiwa besar mengikhlaskan dirinya untuk tidak dihargai dan dihormati rakyatnya. Dengan demikian ia tak punya “energi” untuk memerintah atau menjalankan sistem yang telah dibuatnya, Oleh karna itu seorang pemimpin harus memiki kemauan-keras untuk merubah dirinya merubah rakyatnya, dan system yang tidak menguntungkan demi perbaikan bangsanya. Juga sangat diharapkan kelembutan, kerendahan diri, keluwesan dari dirinya agar “pengulangan-pengulangan” dimasa yang lalu tidak lagi terjadi dimasa sekarang dan masa yang akan datang.
Sebagai masyrakat muslim yang merupakan masyarakat terbesar di negeri ini, jika harapan akan berdirinya system islami sangatlah wajar. Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun bathin bahkan islam adalah agama rahmatan lil alalimin. Jika kita menyaksikan kondisi mayoritas ummat Islam khususnya di negeri kita, maka terlihat bahwa sebagian besar ummat berada pada keadaan yang sangat memprihatinkan, mereka bagaikan buih terbawa banjir, tidak memiliki bobot dan tidak memiliki nilai, yang semestinya dengan jumlah yang besar mampu memberikan perbaikan bagi negeri ini. Jika dilakukan analisis secara mendalam dari sudut pandang agama, ada beberapa faktor yang menyebabkan “kemandulan ummat Islam” dalam melakukan perbaikan bagi negeri ini, yaitu :

~ Bahwa mayoritas ummat Islam saat ini bekerja sendiri-sendiri dan sibuk dengan masalahnya masing-masing tanpa berusaha untuk menggalang persatuan dan membuat suatu bargaining position demi kepentingan ummat. Para ulama dan muballigh sibuk bertabligh, para pengusaha muslim sibuk dengan usahanya dan para pejabatnya sibuk mempertahankan jabatannya, tidak ada koordinasi dan spesialisasi untuk bekerja sesuai dengan bidangnya kemudian hasilnya dimusyawarahkan untuk kepentingan bersama. Demikian pula di tingkat ORMAS dan ORPOL, masing-masing bekerja sendiri tidak ada kerjasama satu dengan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan jurang pemisah antara masing-masing kelompok semakin besar.

~ Secara kejiwaan beberapa penyakit yang memperparah kondisi ummat Islam saat ini diantaranya adalah:

  1. Emosional, artinya bahwa ikatan keislaman mayoritas ummat saat ini baru pada ikatan emosional saja, belum disertai dengan kefahaman yang mendalam akan ajaran agamanya. Sehingga disiplin untuk bekerja, semangat untuk berdakwah, gairah berinfak, dsb baru pada taraf emosional, bersifat reaktif dan sesaat saja (QS 22/11).
  2. Orientasi kultus. Dalam pelaksanaan ibadah ritual, menjalankan pola hidup sampai dengan mensikapi berbagai peristiwa kontemporer, mayoritas masyarakat muslim tidak berpegang kepada dasar (dhawabith) kaidah-kaidah Islam yang jelas, karena pengetahuan keislaman yang pas-pasan, sehingga lebih memandang kepada pendapat berbagai tokoh yang dikultuskan. Celakanya para tokoh tersebut kebanyakan dikultuskan oleh berbagai lembaga yang tidak memiliki kompetensi sama sekali dalam bidang agama, seperti media massa, sehingga bermunculanlah para ulama selebriti yang berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan.
  3. Sok pintar. Sifat kejiwaan lain yang menonjol pada mayoritas kaum muslimin saat ini adalah merasa sok pintar dalam hal agama. Jika dalam bidang kedokteran misalnya, mereka sangat menghargai spesialisasi profesi, sehingga yang memiliki otoritas untuk berbicara masalah penyakit adalah dokter, demikian seterusnya kaidah ini berlaku untuk bidang-bidang lainnya, kecuali bidang agama. Dalam bidang agama, dengan berbekal pengetahuan Islam yang ala kadarnya setiap orang sudah merasa cukup dan merasa tidak perlu belajar lagi untuk berani berbicara, berpendirian, bahkan berfatwa. Seolah-olah agama tidak memiliki kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang perlu dipelajari dan dikuasai sehingga seorang layak berbicara dengan mengatasnamakan Islam.

~ Adapun secara aktifitas (amaliyyah) beberapa penyakit yang menimpa mayoritas ummat Islam saat ini diantaranya adalah :

  1. Sembrono. Dalam aspek aktifitas, maka mayoritas ummat melakukan kegiatan dakwah secara sembrono, tanpa perencanaan dan perhitungan yang matang sebagaimana yang mereka lakukan jika mereka mengelola suatu usaha. Akibat aktifitas yang asal jadi ini, maka dampak dari dakwah tersebut kurang atau tidak terasa bagi ummat. Kegiatan tabligh, ceramah, perayaan hari-hari besar agama yang dilakukan hanya sekedar menyampaikan, tanpa ada follow up dan reevaluasi terhadap hasilnya. Khutbah jum’at hanya sekedar melaksanakan rutinitas tanpa dilakukan pembuatan silabi yang berbobot sehingga jama’ah sebagian besar datang untuk tidur daripada mendengarkan isi khutbah. Kegiatan membaca al-Qur’an hanya terbatas kepada menikmati keindahan suara pembacanya, tanpa diiringi dengan keinginan untuk menikmati dan merenungkan isinya, sehingga disamakan dengan menikmati lagu-lagu dan nyanyian belaka.
  2. Parsial. Dalam melaksanakan Islam, mayoritas ummat tidak berusaha untuk mengamalkan keseluruhan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah, melainkan lebih memilih kepada bagian-bagian yang sesuai dengan keinginannya dan menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya (QS 2/85). Sehingga seorang sudah dipandang sebagai muslim sejati, hanya dengan indikator melakukan shalat atau puasa saja. Padahal shalat hanya bagian yang sangat kecil saja yang menjadi kewajiban seorang muslim, disamping aturan-aturan lain yang juga wajib dilaksanakan oleh seorang muslim dalam berekonomi, politik, pergaulan, pola pikir, cita-cita, bekerja, dsb. Yang kesemuanya tanpa kecuali akan diminta pertanggungjawaban kita di akhirat kelak (QS 2/208).
  3. Tradisional. Islam yang dilaksanakan masih bersifat tradisional, baik dari sisi sarana maupun muatannya. Dari sisi sarana, kaum muslimin belum mampu menggunakan media-media modern secara efektif untuk kepentingan dakwah, seperti ceramah dengan simulasi komputer, VCD film-film yang islami, iklan-iklan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, kebanyakan masih mengandalkan kepada cara tradisional seperti ceramah di mesjid, musholla dan di lapangan. Sementara dari sisi muatannya, maka isi ceramah yang disampaikan kebanyakan masih bersifat fiqih oriented; masalah-masalah aqidah, ekonomi yang islami, sistem politik yang islami, apalagi masalah-masalah dunia Islam kontemporer sama sekali belum banyak disentuh.
  4. Tambal-sulam. Dalam menyelesaikan berbagai persoalan ummat, pendekatan yang dilakukan bersifat tambal sulam dan sama sekali tidak menyentuh esensi permasalahan yang sebenarnya. Sebagai contoh, mewabahnya AIDS cara mengatasinya sama sekali bertentangan dengan Islam, yaitu dengan membagi-bagi kondom. Seolah-olah lupa atau sengaja melupakan bahwa pangkal sebab dari AIDS adalah melakukan hubungan seks tidak dengan pasangan yang sah. Dan cara menanggulanginya adalah dengan memperbaiki muatan pendidikan agama yang diajarkan dari sejak sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Demikian pula masalah-masalah lainnya seperti tawuran pelajar, meningkatnya angka kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, menjamurnya KKN; kesemuanya berpangkal pada satu sebab yaitu lemahnya pemahaman dan kepedulian pemerintah dalam mengajarkan dan menerapkan aturan-aturan Islam.

Pemuda menjadi tulang punggung perbaikan bangsa
Islam memandang posisi pemuda di masyarakat bukan menjadi kelompok pengekor yang sekedar berfoya-foya, membuang-buang waktu dengan aktifitas-aktivitas yang bersifat hura-hura dan tidak ada manfaatnya. Melainkan Islam menaruh harapan yang besar kepada para pemuda untuk menjadi pelopor dan motor penggerak dakwah Islam. Pemuda memiliki semangat yang kuat dan kemampuan mobilitas yang tinggi. Olehnya itu pemuda dengan kekuatan yang lebih tersebut, berkewajiban mengawal jalannya sistem di negeri kita ini, pemuda harus punya andil dalam berbaikan bangsa dan negeri ini, harus ada kerjasama yang baik dengan pemimpinnya dan tidak sepenuhnya meyerahkan beban dan tanggung jawab kepada pemimpin semata. Wallahul Musta’an
Dari berbagi sumber ( Abu Royyan)

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author