Published On: Tue, Oct 22nd, 2013

Nilai-nilai Aqidah dalam Ibadah Haji

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين:

Dalam ibadah haji terdapat banyak nilai-nilai, hikmah, dan manfaat sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan:

} ليشهدوا منافع لهم {[الحج : 28]

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (QS. al-Hajj: 28)

Dalam artikel ini, penulis akan memaparkan beberapa nilai-nilai aqidah dan permasalahan ushuluddin yang terdapat dalam ibadah haji:

Pertama, tunduk dan pasrah kepada syariat Allah Ta’ala:

Saudaraku, betapa perlu kita melatih jiwa dan akal kita untuk tunduk dan pasrah sepenuhnya kepada syariat AllahTa’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

}فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجاً مما قضيت ويسلموا تسليما{[النساء : 65].

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa’: 65).

Ibadah haji merupakan contoh yang paling tepat dalam menggambarkan kepasrahan ini. Hal itu tergambar dalam perpindahan jama’ah haji dari satumasy’ar/tempat ibadah kemasy’arlainnya, juga dalam thawaf, mencium hajar aswad, melontar jumrah dan lain-lain. Semua itu merupakan contoh aplikatif dalam mewujudkan ketundukan kepada syariat Allah dan kepasrahan menerima hukum-hukum-Nya dengan dada lapang dan hati tenang.

Ibrahim bersama putranya Ismailalahimassalam pernah berdo’a:

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 128).

Keduanya berdo’a untuk keislaman diri dan keturunannya yang esensinya adalah ketundukan dan kepasrahan jiwa dan raga kepada Rabbnya.

Semoga Allah meridhai Umar al-Faruq saat berkomentar tentang hajar aswad:

“Sungguh aku tahu bahwa kamu adalah batu, yang tidak dapat memberi mudarat ataupun manfaat. Sekiranya aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menciummu, niscaya akupun tidak menciummu.”[1]

Dalam mengomentari pernyataan Umar tersebut Ibn Hajar menulis:

“Dalam pernyataan Umar tersebut terdapat bukti kepasrahan kepada syariat Allah dalam prinsip-prinsip agama. Juga komitmen ittiba’ dalam perkara-perkara yang tidak diketahui hikmahnya. Hal ini merupakan prinsip penting dalam mengikuti jejak perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam meski belum diketahui hikmahnya.”[2]

Terkait prinsip ini, Ismail al-Ashfahani menegaskan bahwa:

“Di antara mazhab Ahlus Sunnah adalah semua atsar[3]yang telah sampai kepada seseorang, meski akalnya belum dapat memahaminya, maka ia wajib membenarkan, pasrah, tunduk, ridha dan tidak mengotak-atiknya dengan logika dan hawa nafsunya.”[4]

Sementara itu, Ibn Qayyim menyatakan:

“Sesungguhnya prinsip ubudiah dan iman kepada Allah, kitab-kitab dan Rasul-Nya dibangun di atas kepasrahan dan tidak bertanya tentang detail hikmah dalam setiap perintah, larangan dan ketentuan syariat. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah mengisahkan suatu umat yang taat kepada Nabinya dan beriman kepada syariatnya sengaja bertanya kepada nabinya tentang detail hikmah dari apa yang ia perintah, larang dan sampaikan dari Allah. Umat itu hanya tunduk, pasrah, dan patuh. Hikmah yang dapat mereka pahami dipahami, dan yang mereka tidak pahami tetap diterimai, diimani dan dipasrahi meski tidak diketahui hikmahnya. Umat ini adalah umat yang paling sempurna akal, pengetahuan dan pemahamannya, namun mereka tidak pernah protes kepada Nabi; mengapa Allah perintah begini? Mengapa Allah larang hal itu? Atau mengapa Nabi melakukan hal itu? Karena mereka sadar bahwa hal seperti itu bertentangan dengan keimanan dan kepasrahan kepada-Nya.”[5]

Kedua,menegakkan tauhid:

Sesungguhnya syiar ibadah haji dibangun di atas kemurnian tauhid kepada Allah semata. AllahSubhanahberfirman:

}وإذ بوأنا لإبراهيم مكان البيت أن لا تشرك بي شيئا وطهر بيتي للطائفين والقائمين والركع السجود{[الحج : 26].

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (QS. al-Hajj: 26).

Allah juga melarang kesyirikan dan memvonisnya sebagai najis dalam firman-Nya

}فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور30 حفناء غير مشركين به{[الحج : 30-31].

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” (QS. al-Hajj: 30-31).

Dalam rangka merealisasikantauhidullah dan mengingkari taghut, maka disyaratkan bagi jama’ah haji memulai haijnya dengan talbiah: labbaika allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika laka.

Untuk tujuan itu pula sehingga disyariatkan bagi jama’ah haji; membaca surah al-Kafirun dan surah al-Ikhlas setelah membaca al-Fatihah dalam shalat sunnat thawaf sebagaimana dipraktekkan Rasulullahshallallahu alaihi wasallam.

Untuk itu pula maka disyariatkan bertahlil saat berada di bukit Shafa dan Marwah. Saat jama’ah haji dan umrah berada di Shafa dan Marwah disunatkan menghadap qiblat sambil bertahmid dan bertakbir lalu membaca:

« لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كَلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ ».

“Tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah, Allah Maha Besar. Tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan, bagi-Nya segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, Dia senantiasa memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan Dia semata yang maha mengalahkan semua pasukan.”

Dalam rangka menegakkan tauhid juga maka do’a terbaik pada hari Arafah (tanggal 9 Zulhijjah, pent.) adalah:

« لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، يُحْيِ وَيُمِيْتُ، وَهُوَ عَلَى كَلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ ».

“Tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan, bagi-Nya segala pujian, Maha menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Intinya; dalam pelaksanaan manasik dan syiar haji terdapat pendidikan tauhid bagi umat dalam bentuk berdo’a kepada Allah semata, memohon dan meminta, berharap dan bertawakkal kepada-Nya semata, merasa cukup dengan Allah dan tidak butuh kepada sesama manusia, tidak banyak meminta atau merasa perlu kepada mereka.

Do’a itu disyariatkan sepanjang thawaf dan sa’i, saat wukuf di Arafah, waktu berada di Masy’arilharam dan Muzdalifah, juga setiap selesai melontarjumrah shugradanwustha’pada hari-haritasyriq.

Ketiga,mengagungkan syiar danhurumatillah:

Hal itu tergambar dalam firman Allah setelah menyebutkan beberapa perkara tentang ibadah haji:

}ذلك ومن يعظم حرمات الله فهو خير له عند ربه{[الحج : 30].

“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan hurumatillah/apa-apa yang terhormat di sisi Allah.” (QS. al-Hajj: 30).

Hurumatyang dimaksudkan di sini adalah amalan-amalan haji yang tertuang dalam firman-Nya[6]:

}ثم ليقضوا تفثهم وليوفوا نذورهم{ [الحج : 29] .

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoranyang ada pada badan mereka (rambut, kuku dan sebagainya), dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. al-Hajj: 29).

Pada ayat lain, AllahSubhanahberfirman:

}ذلك ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب{ [الحج : 32]

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj: 32).

Secara umum, mengagungkan amalan-amalan haji termasuk ketaqwaan hati.[7]

Mengagungkan syiar-syiar Allah dilakukan dalam bentuk menghormati dan mencintainya dalam hati dan menyempurnakan sifat-sifat ubudiah dalam syiar-syiar tersebut.

Ibn Qayyim menegaskan:“Roh ibadah adalah penghormatan dan kecintaan, apabila salah satu dari keduanya tidak wujud maka ibadah itu akan rusak.”[8]

Dalam salah satu haditsnya, Nabishallallahu alaihi wasallambersabda:

“ لا تزال هذه الأمة بخير ما عظموا هذه الحرمة [يعني : الكعبة] حق تعظيمها، فإذا ضيعوا ذلك هلكوا ”

“Umat ini akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka benar-benar mengagungkan kehormatan (Ka’bah) ini. Apabila mereka mengabaikan kehormatan itu maka mereka akan binasa.”[9]

Keempat,mencintai Rasulullahshallallahu alaihi wasallam:

Mencintai Rasulullahshallallahu alaihi wasallamtermasuk amalan hati yang paling agung dan cabang keimanan yang paling mulia. Kecintaan kepadanya melahirkan sikapmutaba’ahdan komitmen kepada petunjuknya. Sedang komitmen mengikuti petunjuk Rasulullahshallallahu alaihi wasallamdalam pelaksanaan ibadah haji mengantar seseorang menggapai cintanya karena beliau bersabda:“Ambillah dariku tata cara pelaksanaan manasik haji kalian”, sedang mengikuti petunjuknya akan mewujudkan kecintaan kepada Allah sebagaimana dalam firman-Nya:

}قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله{[ آل عمران : 31].

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu.” (QS. Ali Imran: 31).

Kelima,mewujudkanwala’/loyalitas kepada orang-orang mukmin danbara’ah/berlepas diri dari orang-orang musyrik:

Sungguh menyedihkan fenomena perpecahan kaum muslim menjadi beberapa sekte, golongan, dan negara yang saling berseteru dan didominasi perselisihan ala jahiliah.

Ibadah haji merupakan terapi yang sangat ampuh untuk meminimalisir perselisihan dan perpecahan tersebut. Karena ibadah haji dapat menyatukan potensi mereka, menumbuhkan sikap loyal, cinta dan suka menolong sesama mukmin. Jika kaum muslim itu disatukan oleh sumbertalaqqiyang satu yaitu Al-Quran dan Sunnah sebagaimana mereka disatukan oleh qiblat yang sama, maka dalam ibadah haji hubungan mereka akan semakin dekat karena mereka disatukan oleh pakaian, tempat, dan waktu yang sama dalam melaksanakan manasik ibadah yang sama pula.

Dalam ibadah haji terwujud banyak bentukwala’kepada sesama mukmin. Di dalamnya terealisasi madrasah yang mengajarkan kedermawanan, kesenangan berinfaq, dan kebiasaan melakukan kebaikan berupa mengajari orang jahil, menuntun orang tersesat, memberi makan orang lapar, memberi minum yang haus dan membantu orang yang membutuhkan bantuan.

Sebaliknya, dalam ibadah haji juga terdapat penanaman nilai-nilaibara’ahdan penyelisihan terhadap orang-orang musyrik. Ibn Qayyim menyatakan:“Syariat Islam bersifat statis dalam menyelisihi orang-orang musyrik terutama dalam pelaksanaan manasik haji”.[10]

Dalam hal talbiah, Nabishallallahu alaihi wasallambertalbiah dengan talbiah tauhid yang menyelisihi talbiah orang-orang musyrik. Dalam hal ifadhah, Nabi berifadhah/bertolak dari Arafah (yang letaknya berada di luar batas tanah haram, pent.) untuk menyelisihi orang-orang musyrik yang berifadhahdari dalam tanah haram. Dan dalam hal waktuifadhah, Nabi melakukannya setelah Magrib untuk menyelisihi orang-orang musyrik yang berifadhahsebelum magrib.

Karena orang-orang musyrik biasanya meninggalkan Muzdalifah setelah terbit matahari (tanggal 10 Zulhijjah, pent.) maka Nabi menyelisihi mereka dengan meninggalkannya sebelum terbit matahari.

Nabishallallahu alaihi wasallamjuga mengikis habis tradisi jahiliah dalam khutbahnya pada haji wada’ dengan menegaskan bahwa:“Semua kebiasaan jahiliah telah dilindas dengan kedua telapak kakiku.”[11]

Dalam mengomentari hal itu, Ibn Taimiyah menulis:“Termasuk dalam penegasan itu semua bentuk tradisi dan ibadah, seperti kebiasaan menyeru dengan seruan: “Ya” untuk seseorang, atau “Wahai” untuk si fulan, begitu pula dengan perayaan-perayaan mereka dan segala kebiasaan mereka yang serupa dengannya.”[12]

Keenam,mengingatkan hari akhirat:

Pada saat jama’ah haji meninggalkan kampung halamannya dan memulai perjalanan ibadahnya hendaknya ia mengingatkan dirinya bahwa suatu saat nanti ia akan mati dan keluar meninggalkan kehidupan dunia menujumiqatdan dahsyatnya hari kiamat.

Saat mengenakan pakaian ihram, hendaknya ia mengingat pakaian kafannya, dan bahwa ia akan menjumpai Allah dengan pakaian berbeda dengan pakaian di dunia.

Ketika wukuf di Arafah, saat meyaksikan kedahsyatan jumlah manusia dan keributan suara serta keragaman bahasa mereka, maka hendaknya ia teringat dengan dahsyatnya padang mahsyar saat manusia dikumpulkan di tempat tersebut.[13]Karena sesungguhnya wukuf pada hari itu jauh lebih dahsyat daripada wukuf di Arafah sebagaimana telah ditegaskan oleh Ibn Qayyim.

Kita berdo’a dan memohon kepada Allah kiranya berkenan menerima amal-amal shaleh kita dan amalan shaleh kaum muslim lainnya.Wabillah at-taufiq.


[1]HR. Bukhari,Kitab al-Hajj, bab taqbil al-hajar.

[2]Fathul al-Bari, Juz II, hal. 463.

[3]Maksudnya atsar-atsar yang shahih.

[4]Al-Hujjah fi Bayan al-Hujjah, Juz II, hal. 435.

[5]Al-Shawaiq al-Mursalah,Juz IV, hal. 1560-1561.

[6]Lihat:Tafsir Ibn Athiyah, Juz IV, hal. 120.

[7]Lihat:Tafsir al-Thabari, Juz XVII, hal. 157>

[8]Madarij al-Salikin, Juz I hal.495>

[9]HR. Ibn Majah, Kitab al-Manasik,bab fadhl Makkah.Ibn Hajar menyatakan: “Sanadnya hasan“. (lihat:Fathul Bari, Juz III, hal. 449).

[10]Tahzib Sunan Abi Daud,Juz III, hal. 309.

[11]HR. Muslim,Kitab al-Hajj, bab hajjah al-Nabiy shallallahu alaihi wasallam, No. 147.

[12]Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim, Juz I, hal 301.

[13]Lihat:Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 48.

 

Sumber: https://albayan.co.uk/id/article.aspx?id=202

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author