Natal Bersama, Membangun Toleransi atau Menyuburkan Kemunafikan?
Pernah suatu saat ada Hari Raya idul Fitri yang jatuhnya hampir bersamaan dengan hari Natal. Maka ada yang mengusulkan, untuk mempererat rasa toleransi umat beragama agar diadakan “Perayaan Natal Bersama” antara umat Kristen dan umat islam yang merayakan Idul Fitri saat itu.
Atas usulan itu, Buya Prof. DR. Hamka yang saat itu sebagai ketua MUI berpendapat begini :
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi.. Dan Al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja.
Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima…
Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima.
Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”
Prof. Hamka menyebut tradisi Perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi menyuburkan KEMUNAFIKAN. Yang muslim disuruh pura-pura khusyu’ dan menerima ajaran Kristiani, sementara yang beragama Kristen juga disuruh khusyu’ mendengarkan keterangan tentang tauhid yang sebetulnya tidak mereka terima.[]