Meraih Berkah Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

0

Diantara keutamaan dan kebaikan yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba- Nya adalah adanya musim-musim kebaikan. Pada musim tersebut kebaikan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah Ta’ala. Dia jadikan bagi hamba-hamba-Nya yang shalih masa dan musim tersebut sebagai momen berlomba-lomba untuk memperbanyak amal shaleh di dalamnya. Dan diantara musim yang paling agung ini adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Dalil tentang keutamaan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah dalam Al Qur’an dan as Sunnah antara lain:

1. Allah Ta’ala Bersumpah Dengannya.

Allah Ta’ala berkata :

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (QS. Al Fajr:1-2).

Para Ahli Tafsir (Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid ) menafsirkan ‘malam yang sepuluh’ dengan 10 hari pertama bulan dzulhijjah. Sedangkan al-fajr ditafsirkan oleh Masruq dan Muhammad bin Ka’ab dengan fajar pada yaumun Nahr (idul adha) secara khusus yang merupakan penutup dari sepuluh pertama bulan dzulhijjah. (Lihat, al Mishbaahul Munir fiy Tahdziybi Tafsiyr Ibni Katsiyr :1505). Sumpah Allah atasnya menunjukkan keagungan dan keutamaannya.

2. Amal Kebaikkan Pada Hari-Hari Tersebut Lebih Baik dan Lebih dicintai Oleh Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya: “tidak juga jihad fi sabilillah?”. Beliau menjawab: “Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang pergi (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun” (HR. Bukhari).

Dalam hadits Ibnu Umar - Radhiyallahu ‘anhuma -, ia berkata,

“Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari pertama ini. Maka pada hari hariitu perbanyaklah tahlil, takbir dan tahmid” (HR. Ath Thabrany dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir)

3. Waktu Siangnya Lebih Mulia Dari Sepuluh Terakhir Ramadhan

Para muhaqqiq dari kalangan ahlul ilmi berkata, “Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling utama, dan sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan adalah malam-malam yang paling utama. Hal ini karena pada sepuluh malam terakhir Ramadhan terdapat Lailatul qadri (satu malam lebih baik dari seribu bulan), sedangkan pada sepuluh pertama dzulhijah terdapat satu hari paling mulia selama setahun.

Ibnu Hajar al-astqalaniy rahimahullah dalam kitab Fathul Baari berkata: “Sebab yang tampak dari keistimewaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah karena pada waktu tersebut berkumpul induk ibadah-ibadah yang agung. Yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Yang mana hal ini tidak diperoleh dalam bulan bulan yang lain.”

Berikut ini adalah bentuk-bentuk amalan yang disyariatkan untuk dilakukan pada bulan Dzulhijjah khususnya pada 10 hari awal bulan Dzulhijjah.

1. Melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Amal ini adalah yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain; sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga.”

2. Berpuasa selama hari-hari tersebut, atau pada sebagiannya terutama pada hari Arafah.

Puasa merupakan amalan yang paling utama. Ia satu-satnya amalan yang Allah pilih dan khususkan untuk diri-Nya. Disebutkan dalam sebuah hadits qudsi yang artinya: Allah subhanahu wa Ta’ala berkata:

“Puasa itu adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.Sungguh ia telah meninggalkan syahatnya,makanannya,dan minumannya semata-mata karena Aku”. (Hadits Muttafaq ‘alaih).

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah, melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun.” [Hadits Muttafaq ‘Alaih].

Bagi yang tidak dapat memperbanyak puasa pada hari-hari ini, maka jangan sampai ia ketinggalan puasa ‘Arafah. Puasa Arafah adalah puasa yang dikerjakan pada saat jamaah haji sedang wuquf di ‘Arafah (Tgl. 09 dzulhijjah). Puasa Arafah memiliki keutamaan melebur dosa selama dua tahun Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Berpuasa pada hari Arafah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.”

3. Takbir dan dzikir pada hari-hari tersebut.

Sebagaimana kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“… dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” [Surah Al-Hajj : 28].

Para ahli tafsir menafsirkan ‘hari-hari yang telah ditentukan’ dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid.” [HR. Ahmad].

Imam Bukhariy rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu keuar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir, lalu orang-orang pun mengikuti takbir mereka.

Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika di Pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya, sebagaimana perkataan Allah Ta’ala.

“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu. . . . “ (Al Baqarah :185)

4. Taubat serta meninggalkan segala maksiat dan dosa, sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat.

Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan ketaatan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” [Hadits Muttafaq ‘Alaih].

5. Banyak beramal shalih,

Berupa ibadah sunnah seperti: shalat, sedekah, jihad, membaca al-Qur’an, amar ma’ruf-nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipatgandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, bahkan sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihadnya orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.

6. Disyariatkan pada hari-hari itu takbir muthlaq.

Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama’ah; bagi selain jama’ah haji dimulai dari sejak Zhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada akhir hari Tasyriq.

7. Berkurban pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq.

Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim ’alaihi salam yakni ketika Allah menebus putranya dengan sembelihan yang agung.

8. Melaksanakan shalat Idul Adha dan mendengarkan khutbahnya.

Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti: nyanyian, judi, mabuk dan sejenisnya. Hal ini akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukannya selama sepuluh hari.

9. Mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.

Waffaqanallaahu Limaa Yuhibbuhu Wa Yardhaahu.

Sumber : Fadhlul ‘Ayyamil ‘Asyr Dzilhijjah wal a’mal al waridah fihaa, syaikh ‘Abdullah bin AbdurRahman al Jibrin rahimahullah.

Share.

Leave A Reply