Diantara nilai-nilai ukhuwah dan indikasi-indikasi kasih sayang adalah menutupi kesalahan orang yang bersalah sebagai realisasi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa menutupi aib seorang muslim niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. (HR. Muslim)
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib sesama hamba di dunia kecuali Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat. (HR. Muslim)
Termasuk di dalam hal ini adalah memaafkan kesalahan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa memaafkan kesalahan seorang muslim niscaya Allah memaafkan kesalahannya.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Ini tentu saja merupakan buah dari kesucian hati dan kelapangan dada kepada kaum muslim. Lihatlah akhlak yang mulia dan etika yang tinggi ini pada diri Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu saat ia mengatakan: “Seandainya aku tidak mendapatkan sesuatu untuk menutupi aib pencuri, pezina dan peminum khamar kecuali pakaianku niscaya aku akan menutupinya.” (Diriwayatkan Abdu al-Razzaq)’
Kalau akhlak dan sikap ini tetap diberikan kepada para pelaku dosa tersebut maka menutupi kesalahan dan kekeliruan para ulama dan para dai tentu lebih pantas lagi. Dalam hal ini Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Maafkanlah kesalahan orang-orang yang memiliki kedudukan sosial kecuali kesalahan yang melanggar hukum-hukum had.” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Tindakan tajassus (mencari-cari keburukan orang lain) termasuk di antara akhlak yang buruk. Sifat ini tidak disematkan kecuali oleh orang-orang yang banyak kejahatannya dan kurang muru’ahnya serta lemah komitmen keagamaannya. Sedang Allah melarang keras dan tegas hal itu dalam firman-Nya:
وَلَا تَجَسَّسُوا۟
“Janganlah mencari-cari keburukan orang lain.” (QS. al-Hujurat:12)
Sedang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengategorikan hal tersebut sebagai salah satu pintu keburukan. Sebagaimana diceritakan oleh Muawiyah radhiyallahu ‘anhu: “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Anda mencari-cari keburukan orang lain maka Anda telah atau hampir merusak mereka.” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Beliau sangat tegas dan mengancam pelaku perbuatan ini dengan perlakuan yang memalukan dan membuka aibnya. Abdullah ibnu Umar ibnu Khattab menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah naik ke mimbar lalu menyeru dengan suara lantang:
“Wahai orang-orang yang telah berislam dengan lisannya dan belum masuk keimanan ke dalam hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslim, jangan menjelek-jelekkan mereka, jangan mencari-cari kekurangan mereka. Karena barang siapa mencari-cari kekurangan saudaranya niscaya Allah akan mencari-cari kekurangannya. Dan barang siapa dicari-cari kesalahannya oleh Allah niscaya Allah akan membeberkannya walaupun kesalahan itu berada di tengah rumahnya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan peringatan keras untuk tidak mengungkit-ungkit kesalahan kaum muslim sekaligus menguatkan sendi-sendi pemeliharaan martabat manusia, menjaga kedudukan dan reputasinya. Dan ini termasuk di antara sarana yang paling efektif dalam menjaga hubungan kasih sayang di tengah masyarakat.
Tapi coba perhatikan! Bagaimana realitas pergaulan manusia dalam beberapa forum dan pertemuan-pertemuan sosial mereka, juga realitas beberapa media massa kontemporer; Anda akan dapatkan banyak orang yang lahap memakan harga diri saudaranya. Ia tak segan-segan mencari dan membeberkan kesalahan mereka. Kita khawatir jangan sampai hal ini masuk dalam kategori menyebarkan keburukan di tengah orang-orang beriman yang diancam oleh Allah dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفٰحِشَةُ فِى الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاللّٰـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nuur: 19)
[]
Sumber:
Buku “Min Ma’alim al-Rahmah” Karya Syaikh Ahmad ibn ‘Abdul Rahman al-Sowayan. Judul Indonesia, “Rahasia Kasih Sayang dalam Islam”, penerjemah: Salahuddin Guntung, Lc. & Saiful Yusuf, Lc. Diterbitkan oleh Wahdah Islamiyah bekerja sama dengan Yayasan Kemanusian Syaikh Tsani ibn Abdullah.