Mengapa Mereka Menyerang Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab?
Oleh: Ganna Pryadha*
Sejak awal kemunculannya, dakwah yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab senantiasa mendapatkan serangan menohok dan selalu berhadapan dengan musuh-musuh keji, baik dari pihak penguasa, kalangan yang mengklaim berafiliasi kepada ilmu (baca: ulama jahat), kelompok-kelompok sesat, ataupun orang-orang kafir.
Beragam metode dan konsep diterapkan mereka guna membendung dakwah Ahlussunnah yang dikembangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mulai dari penulisan dan pendistribusian buku-buku yang menyerang dakwah ‘salafiyyah’ reformis itu, semisal buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi yang ditulis oleh Syaikh Idahram (Marhadi Muhayyar); lalu agitasi, provokasi, dan intimidasi para penguasa kafir terhadap para pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab, dan bahkan dengan kekerasan fisik (senjata).
Bahkan musuh-musuh itu tidak segan-segan memberikan stigma negatif-ofensif kepada dakwah yang mengajak manusia untuk bertauhid secara lurus dan purfikatif itu. Mereka mencap para pengikut dakwah Syaikh yang tumbuh-besar di Nejed itu sebagai teroris, ekstremis, radikalis, kelompok eksklusif, dan sederet terminologi buruk lainnya. Mereka mengistilahkan “Wahhabi” untuk setiap pengikut dakwah Syaikh. Para pengikut dakwah tauhid disebut sebagai orang-orang yang melanggar tradisi dan kepercayaan, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur‘an Al-Karim dan hadits-hadits shahih.
Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan ‘Wahhabi’. Tak ayal, yang lahir adalah citra buruk dan keji tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kaum muslimin untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau para pelaku bid’ah.
Mengomentari serangan seperti itu, di dalam Majmu’ah Mu‘allafat Asy-Syaikh Muhammad ibni Abdil Wahhab (26/5), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menceritakan, “Tatkala aku muncul ke permukaan untuk membenarkan dakwah Rasulullah, orang-orang mencaciku dengan keji. Mereka mengira bahwa aku telah mengafirkan semua orang Islam dan menganggap halal harta-harta mereka.”
Dalam surat korespondensinya kepada As-Suwaidi –seorang ulama asal Irak— sebagai jawaban atas surat As-Suwaidi kepadanya, Syaikh Ibnu Abdul Wahhab mengutarakan kebencian dan fitnah dusta yang dilayangkan musuh-musuh mereka. Syaikh berkata:
“Bermacam-macam tuduhan telah dilontarkan kepada kami, fitnah pun makin menjadi-jadi, mereka mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dari kalangan iblis untuk menyerang kami. Dan di antara kebohongan yang mereka sebarkan, adalah tuduhan bahwa aku mengkafirkan seluruh kaum muslimin kecuali pengikutku, dan menikah dengan mereka hukumnya tidak sah. Untuk menukil tuduhan tersebut saja orang yang berakal merasa malu, apalagi untuk mempercayainya. Bagaimana mungkin orang yang berakal memiliki keyakinan seperti itu? Apakah mungkin seorang muslim meyakini keyakinan demikian? Aku berlepas diri dari tuduhan itu. Tuduhan itu tidaklah dilontarkan melainkan dari orang yang tidak waras dan linglung. Semoga Allah Ta’ala memerangi orang-orang yang bermaksud jelek.” (Kitab Ad-Durar As-Saniyyah, I/80)
Jika kita meneliti kitab-kitab dan tulisan-tulisan yang menyerang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, maka kita bisa mendapatkan fakta bahwa kebanyakan mereka berasal dari kelompok Syi’ah Rafidhah, kelompok Sufi ekstrim, kaum sekular-liberalis, orang-orang kafir, Para ulama su‘ yang memandang kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran, dan yang lainnya. Kelompok Syiah Rafidhah melancarkan serangan kepada dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab demi membela akidah dan imam-imam mereka.
Akidah Syi’ah menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah telah murtad dari Islam, dikarenakan tidak mendahulukan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khatthab. Tak aneh jika Syi’ah sampai menyatakan halal atas darah dan harta Ahlussunnah. Dalam akidah Syi’ah, mencaci dan menghina sahabat mempunyai keutamaan besar, sehingga termasuk tindakan yang diganjar hadiah surga. Kebencian Syi’ah kepada para sahabat Nabi Muhammad, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, dan lainnya sungguh mengurat-akar. Tidak sedikit ulama Ahlussunnah yang membantah ajaran-ajaran sesat Syi’ah melalui kitab-kitab dan tulisan-tulisan. Termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Melalui Risalah fi Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah (Risalah untuk Membantah Syi’ah Rafidhah), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah sejumlah prinsip dan ajaran Syi’ah melalui argumentasi singkat dan dalil-dalil yang meyakinkan. Belum lagi kemarahan mereka semakin menghebat, karena para ksatria dakwah tauhid telah menghancurkan bangunan kubah di atas kuburan Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Semua ini mendorong mereka untuk memusuhi dakwah tauhid, dan menebarkan kedustaan-kedustaan tentangnya.
Pun demikian dengan golongan Sufi yang melakukan hal-hal bid’ah dalam agama. Prinsip-prinsip kelompok tasawuf banyak bertentangan dengan ajaran Islam sesuai pemahaman Rasulullah dan para sahabat beliau. Sehingga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta para muridnya merasa perlu untuk meluruskan pemikiran kelompok Sufi dengan hujjah-hujjah yang gamblang dan tegas. Satu persatu syubhat dan kerancuan kaum Sufi pun terbantahkan. Seluruh bid’ah dan amalan-amalan keagamaan yang bernuansa kesyirikan dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah lambat-laun menghilang dari bumi Najed dan Hijaz. Tak pelak lagi, hal tersebut membuat murka kalangan Sufi, sehingga pengikut mereka semakin susut. Kemudian mereka menghalalkan segala cara untuk membendung dakwah tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sementara orang-orang sekular dan liberalis –serta orang-orang yang mengaku reformis-moderat– sengaja menyerang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab demi mempreteli prinsip-prinsip syariat Islam, berlepas diri darinya, serta memarjinalkan Islam dari sendi-sendi kehidupan masyarakat demi kepuasan hedonistik dan kehidupan permisif. Ditambah lagi pihak-pihak yang mencoba untuk memprovokasi orang-orang agar menyerang dakwah tauhid, dikarenakan prinsip-prinsip dakwahnya –semisal jihad fi sabilillah dan al-wala‘ wa al-barra‘ (loyalitas dan anti-loyalitas dalam Islam)— menghalangi syahwat keduniaan mereka. Sehingga mereka, misalnya, terhalang untuk bisa bermesraan dengan orang-orang kafir dan terhalang meraup keuntungan materialistik. Tujuan para pengusung akal adalah kehidupan dunia; makan enak, tidur nyenyak, dan harta banyak, meskipun harus mengorbankan prinsip-prinsip akidah dan hukum-hukum syariat.
Adapun permusuhan Barat kepada dakwah yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sudah jauh lebih lama menyeruak, sejak dakwah penuh keberkahan ini muncul. Jalal Abu Alrub, dalam Biography and Mission of Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb, menyebutkan bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan ‘Wahhabisme’, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ulama di India yang memeluk dan menyokong dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dalam situs Wikipedia disebutkan, imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab terhadap eksistensi mereka. Sebab Syaikh menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid’ah, sedangkan Inggris justru mempertahankan hal-hal tersebut, karena di situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syirik dan bid’ah, niscaya mereka akan angkat senjata melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan istilah ‘Wahhabi’ dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci mereka.
Hal demikian senada dengan analisa W.W Hunter dalam bukunya yang berjudul The Indian Musalmans. Dia mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim ‘Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menulis, “Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhabi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi (membangkitkan semangat) umat dengan atas nama jihad untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”
Tidaklah mengherankan jika Barat begitu gigih menentang dakwah ‘salafiyah’ ini. Orang-orang Kristen Barat merupakan penganut trinitas dan melakukan kesyirikan kepada Allah. Sedangkan dakwah yang dikomandoi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berdiri di atas prinsip pengesaan (tauhid) Allah SWT. Orang-orang Barat begitu menikmati hubungan mesra mereka dengan syahwat dunia, harta, tahta, dan wanita. Sementara dakwah tauhid menyeru orang-orang agar patuh kepada Allah, mau beribadah kepada-Nya tanpa dibarengi kemusyrikan, dan berpaling dari segala sesuatu selain-Nya.
Secara definitif, Syaikh Abdul Aziz Abdul Latif menerangkan faktor-faktor pemicu pertentangan orang-orang awam terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang diringkas ke dalam poin-poin berikut:
1. Ketidaktahuan akan agama Islam secara komprehensif dan terstruktur, berkembangnya penyimpangan-penyimpangan akidah yang dianut kebanyakan orang Islam, sikap fanatik terhadap pendapat-pendapat ulama yang tidak memiliki pemahaman lurus tentang Islam, taklid buta, pemujaan terhadap kuburan, berhukum kepada thaghut (segala sesuatu yang disembah dan ditaati selain Allah), condong dan merasa nyaman ‘bermesraan’ dengan orang-orang kafir. Semua fenomena di atas terlihat jelas dari kehidupan kaum muslimin kontemporer. Sementara dakwah tauhid meniscayakan ketundukan kepada teks-teks wahyu dan penyembahan kepada Allah semata.
Dakwah tauhid mengajarkan bahwa para ulama hanyalah sekadar sarana dan wasilah untuk memahami Islam. Jika para ulama itu menyimpang dari akidah yang benar, maka pendapat mereka tidak bisa diikuti. Islam menetapkan bahwa siapa saja yang menuhankan ulama atau penguasa dalam proses menghalalkan apa yang Allah haramkan, atau mengharamkan apa yang Allah halalkan, maka para ulama dan penguasa itu tak ubahnya tuhan-tuhan selain Allah. Islam juga melarang umatnya untuk loyal kepada orang-orang kafir. Siapa saja muslim yang membantu mereka untuk menyerang kaum muslimin, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam. Wajar jika dakwah tauhid yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini muncul, maka para ulama su‘ (jahat) dan orang-orang awam beramai-ramai menentangnya. Ini mengingat, dakwah tauhid menyelisihi kebiasaan-kebiasaan syirik dan bid’ah yang biasa mereka lakukan.
2. Faktor kedua yang memicu serangan bertubi-tubi kepada dakwah tauhid adalah stigma yang melekat pada dakwah dan tokoh-tokohnya. Tak terhitung lagi banyaknya distorsi, tuduhan dusta, dan kerancuan-kerancuan yang diarahkan musuh-musuh tauhid kepada dakwah dan tokoh-tokohnya.
Segenap musuh beramai-ramai melakukan kedustaan atas nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sebagaimana dilakukan Abdullah bin Suhaim –salah seorang musuh Syaikh Ibnu Abdul Wahhab. Dia menulis surat ke sejumlah ulama negeri muslim untuk memprovokasi mereka agar menentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dalam surat yang ditulisnya terdapat berbagai kebohongan dan kedustaan. Tak heran jika kemudian orang-orang termakan hasutan dan kedustaan para ulama su‘ itu, sehingga mereka dengan sukarela melancarkan serangan.
3. Pertikaian-pertikaian politik dan peperangan yang terjadi antara para pengikut dakwah tauhid dengan orang-orang Turki Utsmani, serta antara para pengikut dakwah tauhid dengan para penguasa. Pertikaian-pertikaian ini masih menyisakan bekas hingga saat ini. Di majalah Al-Manar, Muhammad Rasyid Ridha pernah menulis, “Sesungguhnya penyebab munculnya tuduhan bahwa Wahhabiyah melakukan ‘bid’ah’ dan ‘kekafiran’ adalah murni karena persoalan politik an-sich, agar kaum muslimin yang telah menguasai daerah Hijaz menghindar darinya. Orang-orang Turki Utsmani merasa ketakutan bahwa kaum muslimin akan mendirikan sebuah Negara Arab. Sejatinya, apabila badai politik mereda, maka orang-orang Turki Utsmani tidak akan mengotak-atik para ‘Wahhabis’.
4. Termasuk ke dalam faktor yang membuat musuh-musuh menentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ketidaktahuan mereka tentang hakikat dakwah tauhid dan keengganan mereka untuk menelaah karya-karya dan tulisan-tulisan tokoh-tokoh dakwah tauhid. Disebabkan kedengkian dan sikap apriori, mereka enggan untuk mau meneliti karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau tokoh-tokoh lainnya, secara fair dan dengan hati serta pikiran terbuka. Adakah dari mereka yang secara tulus mau menelaah kitab Ushul Al-Iman, Al-Qawa’id Al-Arba’ah, Tsalatsah Ushul, Kitab At-Tauhid, Kasyfu Asy-Syubuhat, dan lain sebagainya? Jika memang mereka merasa keberatan dengan dakwah yang diusung Syaikh, maka silahkan kritisi dan bantah dengan dalil-dalil yang kuat dan mu’tabar (kredibel). Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya. Mayoritas intelektual dan ‘ulama’ mengetahui dakwah yang diusung Syaikh Ibnu Abdul Wahhab melalui kitab-kitab dan tulisan-tulisan musuh-musuhnya. Sebagaimana dinyatakan sebuah ungkapan: “Manusia selalu memusuhi sesuatu yang tidak diketahuinya.”
Bagi orang-orang yang mau bersikap adil, mereka akan mengetahui betapa istimewanya dakwah tauhid yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Istimewa dari segi pengambilan-pengambilan hukum dan prinsip melalui sumber-sumber primer Islam yang purifikatif, kemurnian akidah, dan keabsahan manhajnya. Membela dakwah tauhid bukan sekadar membela para ulama dan tokohnya semata, namun juga membela prinsip-prinsip dan hukum-hukum Allah dan manhaj salafush-shalih. Akhirnya, semoga kita semua bisa mengambil manfaat dari upaya-upaya ilmiah dan khazanah intelektual berharga yang diwariskan para ulama dan tokoh dakwah tauhid. Sebagaimana juga mengambil manfaat dari kehidupan dan pengalaman mereka. Wallahu A’lam.[]
* Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
[voa-islam/wahdahmakassar]