Mengamalkan Ilmu bertambah Ilmu
Abu Ishmah, seorang murid Imam Ahmad bin Hambal mabit (bermalam) di rumah beliau. Seperti biasanya, beliau menyiapkan air wudhu untuk tamunya. Menjelang Shubuh, Imam Ahmad mendapatkan air wudhu masih utuh dan belum tersentuh. Lalu beliau berkata, “Apa sebenarnya tujuan Anda datang kemari?” Abu Ishmah menjawab, “Saya kesini untuk belajar hadits.” Imam Ahmad berkata, “Bagaimana aku hendak mengajarimu hadits, sementara kamu tidak menjalankan tahajud di malam hari?”
Imam Ahmad melihat pemandangan itu sebagai kejanggalan, Dan mafhum yang bisa dlipahami dari ungkapan beliau adalah, bahwa penuntut ilmu semestinya memiliki kesungguhan yang lebih untuk menjalankan shalat malam, juga amal-amal sunnah lain setelah yang wajib.
Sufyan bin Uyainah memiliki sikap yang mirip dengan Imam Ahmad, beliau tidak berselera mendidik orang yang mencari ilmu, namun tidak ada tanda-tanda hendak diamalkan, Beliau berkata, “Jika kamu melihat seorang penuntut ilmu, ketika bertambah ilmu ilmu justru bertambah banyak debatnya, dan bertambah gandrungnya terhadap dunia, maka jangan ajarkan ilmu kepadanya.”
Amal, Wujud Syukur Terhadap Ilmu
Selayaknya seorang penuntut ilmu antusias untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya, sebagaimana antusias dia dalam mencari tambahan ilmu baru. Karena tujuan pokok menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Mengamalkan ilmu juga menjadi pertanda atas nikmat Allah berupa ilmu, yang dengannya Allah akan menambahkan ilmu sebagai ziyadah (tambahan) nikmat atasnya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,” (QS. Ibrahim: 7)
Maka barangsiapa yang mensyukuri nikmat ilmu dengan amal, niscaya Allah akan menambah nikmat berupa ilmu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Wahid bin Zaid, “Barangsiapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan membuka baginya ilmu yang belum diketahui sebelumnya.”
Jika kita merasa sulit untuk menjaga ilmu yang pernah kita ketahui, atau menambah ilmu yang kita ingini, sepantasnya kita banyak, adakah kita telah mengamalkan ilmu yang telah kita ketahui? Karena hakikat ilmumu itu seperti yang dikatakan oleh Ibrahim bin Adham, “Ilmu selalu memanggil/mengundang amal, jika dipenuhi panggilannya akan ikut, namun jika tidak ilmu akan pergi.”
Orang yang hanya sibuk mencari ilmu namun tidak berusaha mengamalkannya, seperti orang yang mencari uang namun ia tidak mampu membelanjakannya, lalu apa gunanya dia mencari uang?
Abdullah bin Mubarak berkata, “Orang yang berakal adalah, seseorang yang tidak melulu berpikir untuk menambah ilmu, sebelum dia berusaha mengamalkan apa yang telah dia miliki, Maka dia menuntut ilmu untuk diamalkan, karena ilmu dicari untuk diamalkan.”
Tentu saja penekanan beliau adalah motivasi untuk mengamalkan ilmu yang telah dimiliki, bukan mengerem atau menjatuhkan semangat untuk menambah ilmu. Bagaimanapun, kita tetap harus senantiasa menuntut ilmu dan terus berusaha mengamalkan ilmu. Tidak dibenarkan juga seseorang yang tidak sudi menuntut ilmu dengan alasan takut akan tuntutannya. Karena berarti dari awal dia sudah tidak memiliki niat untuk mengamalkan ilmu. Akhirnya ia menjadi orang yang bodoh dari ilmu dan kosong dari amal. Tepat sekali jawaban sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ketika seseorang kepada beliau, “Sebenarnya aku ingin mencari ilmu, tapi aku takut menyia-nyiakannya (yakni takut tuntutan mengamalkannya).” Maka beliau berkata, “Cukuplah kamu dikatakan menyia- nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar.”
Kesesuaian Antara Ilmu dan Amal para Salaf
Para ulama memandang, seseorang tidak dikatakan alim (orang yang berilmu) kecuali setelah mengamlkan ilmu yang dimilikinya “Innamal ‘aalim, man ‘amila bimaa ‘alim.”
Imam asy-Sya’bi juga berpendapat bahwa orang yang faqih adalah orang yang benar-benar menjauhi segala yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika kita menengok para ulama salaf dan para Imam yang bertabur ilmu, akan kita dapatkan bahwa mereka bukan sekedar ahli ilmu, tapi juga ahli ibadah. Bukan sekedar ibadah yang wajib dan yang tampak, tapi juga ibadah yang sunnah dan yang tersembunyi.
Seperti Imam Abu Hanifah rahimahullah. Beliau biasa menghidupkan separuh malamnya. Hingga pada suatu hari beliau melewati suatu kaum, dan beliau mendengar mereka berbisik, “Orang ini (yakni Abu Hanifah), menghidupkan malam semuanya untuk ibadah.” Maka Abu Hanifah berkata, “Sungguh! Aku malu kepada Allah, jika aku disebut-sebut dengan sesuatu yang tidak aku lakukan.” Lalu setelah itu beliau selalu menghidupkan malamnya semua.
Semoga Allah Ta’ala merahmati Imam Thawus apabila beliau bangun dari ranjangnya maka beliau berbolak-balik sebagaimana bijian berbolak-balik di atas wajan ketika digoreng. Kemudian beliau meloncat dari ranjangnya dan melaksanakan shalat hingga datang waktu Shubuh, lalu berkata: “Disebutnya naar Jahannam menghilangkan tidurnya para hamba Allah Ta’ ala.”
Keadaan mereka seperti yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i, “Sudah sepantasnya seorang penuntut ilmu itu memiliki suatu rahasia antara dia dengan Allah, yakni berupa amal shalih, tidak hanya mengandalkan banyaknya ilmu namun sedikit harapannya untuk akhirat.” Sudahkah kita layak untuk menyandang sebagai penuntut ilmu? Wallahul muwaffiq.
(Abu Umar Abdillah, Majalah ar-Risalah No. 99/Vol.IX/3/Ramadhan-Syawal, September2009)