Memandang Perang Shiffin Bukan dari Mata Pendengki
Shiffin merupakan sebuah wilayah berada di antara Kufah dan Syam. Di tempat itulah terjadi pertempuran antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Banyak pihak yang masih menilai bahwa perang tersebut disebabkan perebutan kekuasaan antara kedua sahabat mulia itu. Padahal kalau merujuk kembali sejarah yang ditulis para ulama, prasangka buruk tidaklah benar. Dan yang tidak pula kalah pentingnya, bahwa sebenarnya kedua sahabat tersebut beserta mayoritas umat Islam yang hidup di masa itu sama sakali tidak menginginkan pertumpahan darah, pengikut Abdullah bin Saba’ lah yang sebenarnya menjadi pemantiknya. Untuk mengetahui lebih detail mengenai persoalan itu, silahkan menyimak.
Dari Dendam terhadap Muawiyah Bermula
Peristiwa perang Shiffin tidak berdiri sendiri, dendam lama pengikut Abdullah bin Saba’ terhadap Muawiyah adalah faktor yang cukup menentukan.
Gerakan makar yang dilakukan Abdullah bin Saba’ beserta pendukungnya sudah terjadi sejak zaman Khalifah Utsman. Gerakan khas yang banyak mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan citra pejabat negara, dan menyebarkannya di tengah-tengah rakyat, hingga mereka tidak munyukai para pemimpin mereka. Amru bin Ash, gubernur Mesir adalah sasaran pertama, hingga beliau diturunkan dari jabatannya. Selanjutnya, ”kelompok Mesir” mengajak para pendukungnya yang sudah tersebar di Syam, Kufah dan Bashrah untuk melawan gubernur mereka, tapi hanya “kelompok Kufah” yang bangkit, hingga Said bin Ash, pun turun dari jabatannya. Selanjutnya, dari Kufah bergeser menuju Muawiyah yang berada di Syam. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjatuhkan Muawiyah tidak mampu mereka laksanakan, dan beliau tetap memimpin wilayah Syam walau selanjutnya mereka berhasil membunuh Khalifah Utsman.
Muawiyah telah menjabat sebagai gubernur di Syam sejak masa Khalifah Umar bin Al Khattab. Di masa Utsman menjadi khalifah, Muawiyah tetap menjadi gubernur wilayah itu. Keadaan ini tetap berlangsung hingga Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah Ustman terbunuh oleh kelompok Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’).
Posisi Gubernur Muawiyah terjaga dari gerakan ”makar Sabaiyah” disebabkan ada beberapa hal yang mendukung, yakni, bahwa di wilayah itu banyak tinggal para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, seperti Muadz bin Jabal, Ubadah bin As Shamit, Abu Darda, Abu Siad Al Khudri, Syadad bin Aus, Nu’man bin Bashir, Fudhalah bin Ubaid dan yang lainnya. Dengan demikian, penduduk Syam lebih mudah memperoleh pemahaman Islam yang baik, dibawah bimbingan para sahabat tersebut, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hasutan Khawarij Saba’iyah. Selain itu, kedekatan Muawiyah dengan rakyat Syam juga mempersulit gerakan makar ini. Apalagi Muawiyah memahami karakter kelompok ini, karena beliau pernah berhadapan dengan mereka di saat Khalifah Utsman Masih hidup. “Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah, untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka berbuat baik-baik terimalah, akan tetapi jika mereka melemahkanmu, maka kembalikan ke Kufah”, pesan Utsman kepada Muawiyah, sebagaimana dicatat dalam Tarikh At Thabari (5/138).
Benar adanya, mereka datang kepada Muawiyah, dan meminta agar Muawiyah melepas jabatannya. Muawiyah menjawab, “Seandainya ada orang lain yang lebih mampu daripada saya, maka saya dan yang lainnya tidak menduduki jabatan ini. Jangan tergesa-gesa, karena hal ini mirip apa yang diharapkan setan”. Kemudian mereka dikeluarkan dari Syam.
Dan setelah wafatnya Utsman, kelompok inilah yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib. Rupanya, kesegeraan mereka melakukan bai’at, memiliki misi tersembunyi, yang perlahan-lahan tersingkap setelah nanti berbagai peristiwa yang berkenaan dengan sahabat Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah terjadi.
Permulaan Perselisihan antara Ali dan Muawiyah
Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.
Dan kelompok ini sudah bergabung dalam barisan Ali bin Abi Thalib. Sehingga Dr. Hamid Muhammad Khalifah, dalam buku beliau Al Inshaf (hal. 418), menyebutkan,”Sesungguhnya sebab-sebab yang membuat meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para ”provokator” dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang ingin memerangi Muawiyah.”
Perselisihan dimulai setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dengan sahabat Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan pergi Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali. Mengetahui demikian, Ali mengirim surat kepada gubernur Syam itu, akan tetapi surat itu tidak dibalas, hingga tiga bulan setelah syahidnya Utsman.
Sampai akhirnya Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi, untuk menyampaikan kepada Amir Al Mukminin Ali, bahwa alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat, karena mereka meminta agar pelaku atas pembunuhan Utsman diadili. Ali pun mengatakan,”Ya Allah sesungguhnya saya berlepas diri kepada Engkau dari darah Utsman,”
Setelah Qubishah keluar, kaum Saba’iyah mengatakan, “Ini anjing, ini adalah utusan anjing, bunuhlah ia!” Saat itu kelompok ini mengerumuni Qubishah, akan tetapi Bani Mudhar mencegah mereka, sebagaimana disebut dalam Tarikh At Thabari (5/215).
Periwayatan ini menjukkan bahwa kaum Saba’iyah memang masih menyimpan dendam, karena gagal menjatuhkan Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam untuk ke sekian kalinya.
Di saat Ali berada di Bashrah saat terjadi perang Jamal, disebutkan Imam Al Bukhari dalam At Tarikh As Saghir (1/102), bahwa Imam Ali berada di wilayah itu hanya satu bulan, dan tidak berniat keluar menuju Syam, kecuali setelah ada desakan dari Saba’iyah.
Dalam At Tarikh At Thabari (5/282) disebutkan, “Saba’iyah inginkan Ali segera meninggalkan Bashrah, hingga mereka melakukan perjalanan tanpa meminta izin kepadanya. Sebab itulah Ali mengikuti jejak mereka, guna menyingkap apa kemauan mereka, dan itulah yang sebenarnya yang mereka inginkan.”
Al Asytar dan Ali bin Abi Thalib
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk “memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).
Bahkan kelompok Al Asytar sempat juga mengancam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (6/40), tatkalah salah satu sahabat Al Asytar, Al Asy’as bin Qais berkata kepada beliau, “Apakah kita hanya memperhatikan hukuman Al Asytar?” Amir Al Mukminin menjawab, “Apa hukumannya?” Al Asy’as berkata, “Hukumannya adalah timbulnya peperangan antara kita.” Beliau menjawab, “Tidakkah ada yang membakar bumi, kecuali Al Asytar?”
Sesampainya di Kufah, Amir Al Mukminin mengutus sahabat Jarir bin Abdullah Al Bajali kepada Muawiyah, untuk kembali menyeru agar Muawiyah melakukan baiat, dan memberi kabar bahwa kalangan Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya, sebagaimana disebut dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/265).
Sekali lagi, Al Asytar tidak menyukai sikap yang diambil oleh Amir Al Mukminin ini, dikarenakan kemulyaan akhlak yang dimiliki Jarir. Utusan ini kembali ke Kufah dengan memberi kabar, bahwa Muawiyah enggan melakukan baiat, dikarenakan belum ditegakkan hukum hadd kepada si pembunuh Utsman. Jika ditegakkan hadd, maka beliau bersedia melakukan baiat.
Mendengar penuturan Jarir, Al Asytar mengatakan kepada Amirul Mukminin, “Bukankah saya telah melarangmu untuk mengutus Jarir? Kalau engkau mengutusku, maka Muawiyah tidak akan membuka pintu, kecuali aku yang menutupnya.”
Mendengar ucapan Al Asytar, Jarir membalas, “Kalau engkau yang datang, mereka akan membunuhmu, disebabkan terbunuhnya Utsman.”
Al Asytar tidak mau kalah, “Kalau Amir Al Mukminin mematuhiku, maka ia akan mengurungmu, beserta orang-orang sepertimu, hingga perkara ini menjadi lebih baik.”. Jarir marah, hingga belau memutuskan untuk keluar dari Kufah, menuju Firqisiya’ wilayah yang pernah beliau pimpin saat menjadi gubernur di masa Utsman, kisah ini disebutkan dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah (7/294).
Sikap buruk yang membuat sahabat Jarir keluar di atas menunjukkan bahwa para pembesar pembuat fitnah sudah berada dalam tubuh kekhalifahan. Dan peristiwa ini juga menunjukkan bagaiamana usaha mereka untuk selalu menggagalkan usaha perdamaian.
Bukan Perebutan Kursi Kekuasaan
Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuat.
Setelah kembalinya utusan Amir Al Mukminin dari Syam, dan gamblangnya pendirian penduduk Syam, bahwa mereka enggan melakukan baiat, kecuali dilaksanakan hukuman hadd atas pelaku pembunuhan Utsman. Maka, eksistensi kelompok Saba’iyah semakin terncam, karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.
Tidak ada cara lain bagi mereka, kecuali mendesak Amirul Mukminin untuk menghadapi Muawiyah. Disebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/10), “Maka para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman, yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran, agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam.”
Saat itu Amir Al Mukminin pun melihat bahwa pelaksanaan hadd tidak bisa dilakukan kacuali setelah baiat bisa diselesaikan, apalagi para pelakunya berkeliaran di sekitar beliau dan jumlah mereka pun banyak, ini semakin menyulitkan posisi beliau.
Mayoritas Umat Tak Menghendaki Perang
Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah. Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.
Diriwayatkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/267), bahwa Imam Ali telah mengirimkan pasukan pembuka, yang berjumlah 8 ribu tentara. Pasukan ini menuju Syam dengan melewati sisi kanan sungai Eufrat, sedangkan pasukan Khalifah melewat sisi kirinya. Karena khawatir adanya serangan dari Muawiyah, disebabkan sedikitnya jumlah mereka, maka pasukan ini berancana bergabung dengan pasukan Khalifah di seberang, dengan melalui penyeberangan di wilayah ‘Anat, akan tetapi apa yang terjadi, penduduk kota wilayah itu menghalangi mereka. Tidak bisa melalui ‘Anat, pasukan hendak melalui penyeberangan lainnya, yang berada di wilayah Hiit, akan tetapi, seperti yang sudah-sudah, mereka dihalangi oleh penduduk setempat. Akhirnya, mereka terlambat, dan bertemu dengan pasukan Ali yang sudah berada di depan mereka.
Selanjutnya penduduk Qirqisiya’ menghalangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib itu, sedangkan penduduk Ar Riqah mengumpulkan seluruh perahu mereka dan enggan membantu pasukan itu menyeberang menuju Shiffin, hingga mereka memutuskan untuk menyeberang di wilayah Manbaj.
Sikap Khalifah Ali yang lemah lembut terhadap mereka yang menghalangi perjalanan pasukannya menunjukkan bahwa tujuan utama bukanlah menumpahkan darah, akan tetapi melakukan ishlah. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Al Asytar, yang juga berada dalam barisan yang sama, terhadap mereka yang enggan membantu penyeberangan ia mengancam “Jika tidak kalian lakukan, aku benar-benar akan membunuh para laki-laki, merusak tanah atau mengambil harta.” Riwayat ini termaktub dalam Tarikh At Thabari (5/229).
Awal mulanya, Khalifah masih mempercayai Al Asytar, karena tidak menilai, bahwa pria itu adalah salah satu pembunuh Utsman, walau ia adalah salah satu pemimpin Khawarij. Akan tetapi ada indikasi bahwa akhirnya beliau merubah pandangan tersebut. Diceritakan Al Hakim dalam Al Mustadrak (3/107), bahwa saat itu, penduduk Nakha’ berkumpul di dalam rumah Al Asytar. Ali bin Abi Thalib menyeru kepada mereka, “Apakah di dalam rumah hanya ada Al Asytar?” Mereka menjawab, “tidak.” Khalifah kembali mengatakan,”Umat ini bersandar kepada kaluarga yang paling baik, akan tetapi mereka telah membunuhnya (Utsman). Sesungguhnya kami memerangi Bashrah karena baiat yang kami takwilkan, sedangkan kalian bergerak menuju sebah kaum yang kami tidak dibaiat oleh mereka (Syam), hendaklah setiap orang melihat, dimana pedang harus diletakkan.”
Dialog di atas menunjukkan bahwa Amirul Mukminin telah memperingatkan Al Asytar, mengenai keputusannya untuk pergi ke Shiffin, dan menjelaskan bahwa tidak perlu dilakukan pertempuran di sebuah wilayah yang tidak terikat oleh Baiat, semisal Syam.
Niatan Amirul Mukminin untuk tidak mengutamakan kekuatan senjata didukung dengan riwayat yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/127) yang menyebutkan, bahwa Khalifah Ali mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam, bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Iraq untuk ingin mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah. Ketika perkara itu sampai kepada Muawiyah, beliau naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jama’ah, “Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Iraq untuk kalian. Apa pendapat kalian?” Para jama’ah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan, “Anda yang berfikir, kami yang melaksanakan.” Akhirnya Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi 3 bagian.
Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali bin Abi Thalib lalu mengabarkan, apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jama’ah, “Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?” Semua hadirin terheran dan berbiacara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar, dengan mengatakan, “laa haula wa la quwwata illaa billah.”
Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut membaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan, “Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”
Disebutkan juga oleh Ibnu Katsir bahwa, setelah Ali dibaiat, para tokoh sahabat beserta Thalhah dan Zubair menemui beliau dan meminta agar dilaksanakan hukuman kepada para pembunuh Utsman. Ali menyatakan udzur untuk melaksanakan hal itu di waktu itu, karena kekuatan mereka yang besar dan memiliki pendukung. Bahkan Ali meminta kepada Zubair untuk memerintah Kufah dan Thalah untuk memerintah Bashrah, dan beliau siap membekali keduanya dengan pasukan, agar bisa memperkuat dalam menghadapi kekuatan kaum Khawarij.
Akhirnya, para sahabat, termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi lagi Ali, setelah menunggu beberapa waktu dan melihat Khalifah belum melakukan “apa-apa” untuk menghukum kaum Khawarij. “Wahai saudaraku, bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka, apakah kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian inginkan?” Mereka menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan, “Tidak, demi Allah saya tidak melihat, kacuali apa yang telah kalian lihat insya Allah.”
Jelas, dari penjelasan di atas, tidak diragukan lagi, Ali sendiri berkeinginan untuk menegakkan hadd kepada para pembunuh Utsman, tapi beliau merasa kesulitan, karena mereka sendiri berada di sekeliling khalifah, dan kekuatan mereka tidak bisa diremehkan, hingga para sahabat pun mengakui hal tersebut.
Upaya Perdamaian di Shiffin
Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.
Dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/272) disebutkan bahwa Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dengan mengatakan, “Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga sepertinya?” Muawiyah menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengatahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdhalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya, agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya.
Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan beliau mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, “Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”
Dalam Minhaj As Sunnah (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mengapa mereka tidak membaiat Ali. “Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.”
Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain, kecuali pihak pengikut Saba’iyah yang berada di barisan Amirul Mukminin, yang selalu menginginkan adanya konflik antara Ali dan Muawiyah. Dan Muawiyah tetap berdiri tegak guna melawan para pengikut Abdullah bin Saba’ yang berada dalam pasukan Khalifah.
Khawarij yang Berbalik “Menikam” Khalifah
Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak, tapi kaum Saba’iyah terus berusaha memantiknya.
Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram di tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, “Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”
Pasukan Syam menyambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam Al Aqdu Al Farid (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.
Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam Minhaj As Sunnah (6/237).
Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang.
Terbunuhnya Amar bin Yasir
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Tarikh As Saghir (1/104).
Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam Al Majma’ Az Zawaid (7/244) “Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab, “Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.
Meninggikan Mushaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah, “Jika kita besok baru berhenti (bertenpur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”
Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, “Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan ketururnan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”
Maka saat itu, pasukan Syam menyeru,”Wahai pasukan Iraq diantara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Iya, diantara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab beliau.
Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, para pengikut Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk berdamai, mereka ingin agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, “Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. “Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, “Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.
Peristiwa Tahkim
Tahkim adalah penunjukkan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil, dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy’ari untuk menjadi penengah. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ibnu Hibban dalam At Tsiqat (2/293), hasil tahkim berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalm satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang. Dari kandungan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Muawiyah tidak ada keharusan untuk membaiat Ali, bagitu juga Ali, tidak ada keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman.
Dengan demikian, tidak ada lagi peperangan antara Syam dan Iraq, Muawiyah tetap tidak membaiat Ali, dan Ali pun tetap tidak menghukum para pembunuh Utsman. Dan konflik pun bergeser antara Khalifah Ali dengan Kaum khawarij, yang semula menjadi pendukung Amir Al Mukminin, yang tidak menyukai perdamaian antara Iraq dan Syam. Lantas mereka mengisukan bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan hasil yang telah diputuskan. Hingga akhirnya beliau menegaskan,”Barang siapa mengira bahwa aku tidak setuju dengan hasil tahkim, maka ia telah berbohong, barang siapa berfikiran demikian maka ia telah sesat. Akhirnya kaum Khawarij keluar dari masjid, dengan mengatakan, “la hukma illa lillah”, atau tidak ada hukum selain hukum Allah. Sehingga ada yang mengatakan kepada Khalifah, “Mereka telah keluar dari ketaatan terhadapmu.” Ali menanggapi, “Saya tidak akan memerangi mereka, hingga mereka memerangi kami, dan mereka akan melakukannya.” Hal ini disebutkan Ibnu Abdi Rabbih dalam Al Aqdu Al Farid (2/218).
Gerakan Khawarij tidak berhenti sampai di sini, mereka masih tetap bernafsu tidak hanya membunuh Muawiyah, tapi membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib serta Amru bin Ash. Ali bin Abi Thalib menjadi incaran, karena mereka merasa bahwa kedok mereka sudah terbuka secara sempurna dihadapan Khalifah, dan tidak ada yang bisa ditutupi dari gerakan mareka. Dan pembunuhan itu masih belum sempurna, kecuali jika menyertakan Muawiyah dalam terget serupa. Sedangkan Amru bin Ash ikut menjadi target, karena beliau adalah musuh pertama kelompok ini, di saat beliau berkuasa di Mesir, sehingga jika beliau tidak dibunuh, maka keberadaan beliau juga berpotensi untuk mengancam gerakan kelompok ini, beliau tidak ada bedanya dengan Muawiyah.
Ditugaskan tiga orang, untuk membunuh tiga sahabt mulia itu, Ibnu Muljim, sahabat dekat Ibnu Saba’ dari kalangan Khawarij menyerang Ali bin Abi Thalib di malam ke 17 dari bulan Ramadhan tahun 40 H, dengan menebaskan pedang, hingga mengenai kening beliau. Setelah bertahan selama dua hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib akhirnya wafat. Sedangkan Al Burk bin Abdullah Al Khariji, yang bertugas membunuh Muawiyah malah terbunuh terlebih dahulu oleh beliau, dengan pedangnya sendiri. Sedangkan Amru bin Bukair yang ditugaskan membunuh Amru bin Ash, malah membunuh salah satu petugas, yang disangkanya sasarannya, hingga kedua sahabat itu selamat dari pembunuhan.
Inilah peristiwa beruntun yang dilakukan kelompok Abdullah bin Saba’ terhadap para sahabat mulia, hingga terjadi fitnah besar yang menyebabkan bertumpahnya banyak darah. Mudah-mudahan umat Islam bisa mengambil ibrah dari rentetan peristiwa ini. Allahu’alam bishawab.[]
(wahdahmakassar.org/almanar.wordpress.com)