Memahami Kalimat Cinta Tertinggi
Oleh Ustadz Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc., M.Si.
Seperti telah disebutkan bahwa kita tak akan pernah mencapai manisnya kisah cinta dengan sang Rabb kecuali bila makna ‘La ilaha illallah’ benar-benar dipahami. Kalimat agung ini, jika saja diucapkan dengan penuh kesadaran dan perasaan, sesungguhnya adalah kalimat yang memiliki makna yang sangat dekat dengan hati kita. Kalimat ini adalah kalimat yang kutub putarannya pada segala kemahasempurnaan. Sebuah pengakuan hakiki akan segala kemahaagungan dan kemuliaan. Ia adalah sebuah ungkapan hati yang tunduk sempurna pada Allah.
Pernahkan kita mencoba memahaminya?
Tidak terhitung berapa banyak kita telah mengucapkan kalimat ini. Tapi di usia kita sekarang ini, pernahkah kita sekali saja menyempatkan diri untuk lebih dalam memasuki makna ‘laa ilaha illallah’ jauh lebih dalam? Mungkin tidak pernah. Paling jauh kita akan mengatakan, “Iya, saya pernah mengetahui artinya. Tiada Tuhan selain Allah kan?”. Dan sudah, hanya sampai di situ. Sehingga wajar saja bila keindahan cinta antara sang makhluk dengan Khaliknya tak kunjung terwujud.
Bila kita telah memahami bahwa pangkal utama hilangnya keindahan itu adalah bermula dari ketidakmengertian kita akan kandungan makna kalimat agung itu, maka sekarang marilah kita mencoba menelusuri secara singkat apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik ‘La ilaha illallah’ itu.
Jika kita memperhatikan secara sekilas saja, maka akan kita temukan dua kata penting dalam kalimat ini. Dua kata yang merupakan ini perputaran semua keindahan Islam ini. Dua kata itu adalah Allah dan Ilah. Kata Ilah bila ditelusuri secara bahasa adalah sebuah kata yang bersifat qabliyah-wijdaniyah, artinya sebuah kata yang memiliki tautan dan kaitan yang sangat kuat dengan hati. Ia adalah kata yang menunjukkan keadaan-keadaan hati seperti cinta dan benci, gembira dan sedih, kerinduan, pengharapan, dan seterusnya. Dalam ungkapan bahasa Arab, bila dikatakan:
أَلِهَ الفَصِيْلُ ___ يَأْلَهُ
Makna itu berarti: anak unta itu meratap dan menangisi ibunya karena rindu. Kata Al-fashiil maknanya adalah seekor anak unta yang baru saja disapih oleh ibunya lalu ia dikurung dalam sebuah kandang dan ibunya meninggalkannya untuk pergi ke padang penggembalaan. Setelah lama menunggu, anak unta itu menangis karenanya. Maka dalam kasus ini, secara bahasa, sang ibu adalah ilah si anak unta itu.
Intinya bahwa Ilah adalah apa yang selalu dirindukan oleh hati, yang selalu membawa jiwa sampai pada tingkatan ketundukan dan kepatuhan pada yang dirindu. Itulah sebabnya ada yang mengatakan kata ini berakar dari al-Walah. Anda tahu apa itu al-Walah? Biarkan Ibn Mandzhur rahimahullah (penulis Lisan al ‘Arab) menjelaskannya: “Kata al-Walah itu maknanya adalah sebuah ‘kegilaan’ yang muncul disebabkan kecintaan yang sangat kuat atau kesedihan yang begitu mendalam.” (Lihat penjelasannya secara terperinci dalam Lisan al-‘Arab materi alif-lam-ha’ dan materi waw-lam-ha’. Lihat pula al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an pada materi yang sama).
Dan kata Allah secara umum memiliki kaitan yang sangat erat dengan kata ilah tersebut. Hanya saja ia tidak lagi digunakan untuk selain Sang Pencipta dan Penguasa Alam semesta satu-satuNya. Ia adalah nama yang menunjukkan dzat ilahiyyah, sebuah nama yang mengumpulkan segala makna kesempurnaan dan kemuliaan mutlak tanpa ada yang menyaingi dan menandingi. Berbeda dengan kata ilah yang bisa digunakan dalam bentuk jamak –yang menunjukkan kenyataan (bukan membenarkan!) bahwa memang banyak ilah yang dicintai manusia selain Allah Ta’ala-, kata Allah tidak digunakan kecuali dalam bentuk tunggal (mufrad). Satu hal yang menunjukkan bahwa nama ini dan Pemiliknya hanya satu, yaitu Allah Ta’ala sendiri sang Rabbul ‘alamin.
Begitulah, akhirnya kita melihat bagaimana kedua kata ini, Ilah dan Allah ternyata memiliki kaitan yang sangat dalam dengan hati. Keduanya secara umum memberikan gambaran adanya hubungan kejiwaan yang dipenuhi dengan cinta. Sehingga ketika seorang mu’min mengatakan ‘La Ilaah illallah’, sesungguhnya (baca: seharusnya!) ia sedang mengungkapkan tautan hatinya pada sang Rabb. Bahwa tidak ada yang ia cintai selain-Nya, tidak ada yang ia takuti selain-Nya dan tidak ada yang berhak untuk ia sembah dan patuhi selain-Nya. Hatinya tidak dipenuhi dengan apapun selain kehendak yang murni pada Allah Ta’ala. Para ulama menyebutnya sebagai al-Ikhlas.
Jika demikian adanya, maka kalimat ini memang bukan kalimat mainan. Ini adalah kalimat yang agung. Dan tidak ada satupun yang mengetahui kejujuran sang pengucapnya, kecuali Allah Ta’ala kemudian sang pensyahadat itu sendiri. Sebab ini adalah tentang hati. Hati yang dipenuhi cinta, atau tidak sama sekali.
Ibn Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan:
“Sesungguhnya cinta sang hamba pada Rabbnya itu berada di atas segala cinta apapun untuk diukur. Tidak dapat dibandingkan dengan kecintaan pada apapun. Dan inilah hakikat sesungguhnya dari ‘La ilaha illallah’.”
Hingga -masih dalam konteks yang sama- beliau menyatakan: “Jika saja masalah cinta ini dihapuskan (dari kalimat La ilaha illallah –pen) maka akan hilanglah semua derajat keimanan dan keihsanan. Akan terhentilah semua jalan-jalan menuju Allah, sebab (cinta itu) adalah ruh untuk setiap jalan, tangga dan amal (menuju Allah). Hubungan rasa cinta dengan amal adalah sama dengan hubungan keikhlasan dengannya. Bahkan cinta adalah hakikat keikhlasan yang sesungguhnya. Lebih dari itu, cinta Islam adalah Islam itu sendiri. Sebab Islam adalah penyerahan diri yang disertai ketundukan, kecintaan dan kepatuhan pada Allah.
Maka barang siapa yang tak memiliki rasa cinta (pada Allah-pen), maka ia tidak memiliki keislaman sedikit pun. Cinta ini adalah hakikat dari pernyataan Syahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah. Karena “Ilah” adalah apa yang dipatuhi para hamba dengan rasa cinta dan rendah diri, dengan rasa takut dan harap, disertai sikap ta’zhim dan patuh…
Maka, -kesimpulannya- al Mahabbah (rasa cinta) itu adalah hakikat dari segalah penghambaan pada Allah.” (Lihat Madarij As Salikin 3/26).
Meluruskan “Cinta” pada Allah
Sampai di sini, mungkin sebagian dari kita lalu teringat akan sebuah ungkapan sebagian para tokoh sufi yang mengatakan: “Ya Allah, jika aku beribadah padaMu karena mengharapkan surgaMu, maka jauhkanlah aku darinya. Bila aku beribadah padaMu karena takut pada nerakaMu, maka masukkanlah aku ke dalamnya.” Untuk sebagian orang kalimat ini nampak begitu mulia. Beribadah tanpa mengharapkan balasan selain apa yang mereka sebut dengan cinta Allah. Mereka menganggap keikhlasan beribadah itu diukur dengan mengharap Surga atau tidak, takut pada neraka atau tidak. Jika Anda tidak mengharapkan apa-apa, maka itu adalah ikhlas. Entah apa yang mereka lakukan dengan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memburu surga dan takut pada neraka… Entah apa yang mereka lakukan dengan do’a-do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meminta surga dan mohon perlindungan dari neraka.
Hakikat cinta pada Allah Azza Wa Jalla tidak akan pernah tegak tanpa dua sayap penghambaan, khauf (takut pada-Nya) dan raja’ (harap pada-Nya). Ayat-ayat Al-Qur’an dan pesan-pesan kenabian terlalu dipenuhi dengan penjelasan akan hal ini. Hanya orang bodoh atau berpura-pura bodoh yang tidak mengetahui ini.
Seorang pecinta yang hakiki pasti akan selalu takut mendapatkan siksa dari Yang dicintainya, di saat sama dimana hatinya dipenuhi harapan untuk mendapatkan karunia terbaik dari Yang dicintainya. Bila mahabbah pada Allah Ta’ala telah ditelanjangi dari khauf dan raja’, maka pengakuan cinta hanya menjelma menjadi sebuah kepalsuan. Allah menggambarkan tentang para manusia pilihan-Nya, para Nabi dan Rasul ‘alaihimu shalatu wa sallam:
“Sesungguhnya mereka bersegera menuju kebaikan-kebaikan, mereka berdoa pada Kami dengan penuh rasa harap dan takut, dan adalah mereka itu sangat khusyu’ pada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)
Dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasul penghulu seluruh manusia, telah menyatakan:
“Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan paling takwa pada Allah di antara kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akidah Cinta
Maka dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa akidah ‘La ilaha illallah’ adalah akidah yang ditegakkan di atas cinta. Ia bahkan menjadi ikatan kuat rasa cinta. Karena itulah ia memancarkan cahaya keindahan dan keagungan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan neraka untuk orang-orang yang mengatakan “La ilaha illallah” karena mengharapkan wajah Allah” (Muttafaqun ‘alaihi), kita bertanya, apakah semudah itu?? Hanya dengan satu kalimat. Iya, semudah itu. Tapi ini adalah soal kemana hati kita terarah, terikat dan bergantung sepenuh-penuhnya. Ini adalah soal pautan-pautan cinta. Siapa yang mencintai Allah, niscaya Allah akan menunjukkan padanya jalan untuk menghamba dan taat pada-Nya.
Bukankah ini sebuah makna yang sangat indah dan agung? Ketika kita tidak lagi merasakan ini, maka disitulah titik awal persimpangan yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dari kedalaman Ad-Din yang sesungguhnya. Dari jalan yang lurus, Ash Shiratal Mustaqim.[]
Rujukan:
“Jamaliyyah ad Din Fi Jamaliyyah at Tauhid” oleh DR. Farid al-Anshary,
“Ma’alim Asy Syakhsiyah al-Islamiyah” oleh DR. Umar al-Asyqar.
Sumber : Majalah Islamy, No. 2 tahun 1426 H