Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, Hindun binti Utbah pernah datang lalu berkata, “Ya Rasulullah, dahulu tidak ada penghuni rumah (keluarga) yang lebih aku sukai untuk dihinakan dari pada penghuni rumah (keluarga)mu. Kemudian hari ini menjadi tidak ada penghuni rumah (keluarga) yang lebih aku sukai untuk dimuliakan dari pada penghuni rumah (keluarga)mu.” Beliau lantas bersabda, “Dan lagi, demi Tuhan Yang jiwaku berada di Tangan-Nya.” Dia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah pria yang pelit. Lalu, apakah aku berdosa bila aku memberi makan keluarga kami dengan harta miliknya?” Beliau menjawab, “Aku tidak melihat hal itu (diperbolehkan), kecuali (jika dilakukan) secara ma’ruf (wajar).” (HR. Bukhari)
Kata khibaa’ yang terdapat di dalam hadits di atas berarti tenda yang terbuat dari bulu binatang. Kemudian kata itu digunakan untuk menyebut rumah secara umum, bagaimana pun kondisinya.
Dan barangkali salah satu penyebab kebencian Hindun tersebut adalah karena Hamzah, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang yang membunuh paman Hindun, Syaibah, dan turut serta dalam pembunuhan ayahnya, Utbah (dalam perang Badar).
Di situ terlihat jelas pengaruh iman di dalam jiwa Hindun. Sebab, dia bisa berpindah dari sikap yang sangat ekstrim dalam membenci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya kepada sikap lainnya yang sangat ekstrim dalam mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya, dengan disertai keinginan yang jujur agar mereka mendapatkan kemuliaan dan martabat yang tinggi.
Kita juga melihat komitmen yang begitu kuat untuk berhenti pada batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah, segera setelah dia mendeklarasikan keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab, dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau-kalau dia diperbolehkan mengambil sebagian harta suaminya, Abu Sufyan untuk memberi makan keluarganya.
Tanggapan yang diberikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun, “Dan lagi, demi Tuhan Yang jiwaku berada di Tangan-Nya” memberikan informasi kepada kita bahwa ketika iman di dalam hati seorang mukmin meningkat, maka meningkat pula rasa cintanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu dijelaskan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari (7/ 141).
Di dalam kitabnya tersebut dia mengatakan, “Dan lagi” artinya kecintaanmu itu akan semakin bertambah ketika iman di dalam hatimu semakin mantap, dan engkau akan benar-benar meninggalkan kebencian tersebut hingga tidak ada bekasnya sama sekali.
Dari Hadits ini bisa dipetik pelajaran bahwa orang yang mempunyai keperluan kepada seseorang dianjurkan untuk mendahului pembicaraannya dengan permintaan maaf, jikalau ada perasaan yang mengganjal di dalam diri lawan bicaranya. Karena, apa yang disampaikan Hindun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung makna permintaan maaf kepada beliau dari apa yang pernah dilakukan olehnya, yakni kebencian yang mendorongnya untuk memprovokasi Wahsyi bin Harb agar membunuh paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hamzah.
Dan secara tidak langsung ini adalah seruan kepada para istri untuk tidak segan-segan meminta maaf kepada suaminya dari ucapan atau tindakannya yang kurang baik, ketika meminta sesuatu kepada suaminya.
Istri yang meminta maaf juga dianjurkan untuk menyampaikan sesuatu yang bisa menegaskan kesungguhannya ketika meminta maaf kepada suaminya. Karena Hindun juga menyampaikan pengakuan tentang kebenciannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : dan keluarganya di masa lalu, agar beliau mengetahui bahwa dirinya bersungguh-sungguh tentang kecintaannya kepada beliau dan keluarganya. (Fathul Bari, 7/ 142).
Jadi, seorang istri bisa menyampaikan pengakuan bahwa dirinya seorang kalut atau emosi ketika mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas atau melukai perasaan. Karena pengakuan semacam ini akan membuat suaminya lebih mudah percaya dan memaafkannya.
Meminta maaf adalah akhlak yang sering kali hilang dari kehidupan kita. Ketika salah kita ragu-ragu untuk meminta maaf, dan menganggap bahwa hal itu akan mengurangi kemuliaan kita. Ini adalah halusinasi yang sering menghantui pikiran banyak orang. Terutama bagi sebagian istri yang merasa bahwa meminta ini adalah persoalan besar di dalam dirinya sehingga lidahnya tidak bisa mengucapkan kata-kata permintaan maaf.
Memang, meminta maaf adalah seni yang perlu dipahami dan dilakukan secara kontinyu oleh wanita, untuk mengambil hati suaminya dan menghindari pertengkaran yang lebih jauh dengannya, sehingga dengan begitu keutuhan rumah tangganya bisa dipertahankan. Jadi, demi Allah, itu adalah harga sangat murah yang bisa digunakan oleh istri untuk membeli keutuhan keselamatan dan kedamaian rumah tangganya.[]
(Disalin dari buku “Aku Tersanjung” (Kumpulan Hadits-hadits Pemberdayaan Wanita dari Kitab Shahih Bukhari & Muslim Berikut Penjelasannya), Karya Muhammad Rasyid al-Uwayyid.)