Kita, Ukhuwah dan Sandiwara
Senyumnya tak lagi seindah dulu, saat awal aku diajak untuk menuntut ilmu. Sapaannya tak selembut dan sesering dulu, saat menutup aurat aku masih canggung dan malu, kini ketika aku terbaring sakit berkeluh tak ada pelipur yang membuat haru meski sekedar pelaru rindu. Ah, seandainya bukan karena Rabb-ku aku ingin kembali seperti dulu. Atas nama ukhuwah aku menuntut kemana ia berlalu?
Saudaraku, mungkin setiap hari kita senantiasa menyebut kata ukhuwah, menceramahkannya, menceritakan keindahan dan keutamaannya dan –mungkin- tak jarang kita bahkan terkagum-kagum dengan kisah-kisah lampau yang menggambarkan keajaiban ukhuwah yang terjalin di antara pejuang sofwah Islamiyah, menjadikan kita bersemangat untuk mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari kita baik kepada sesama penuntut ilmu dan pejuang dakwah maupun kepada orang awam sekeliling kita, terlebih kita tahu bahwa ia adalah salah satu sendi agama kita.
Tapi pernahkah kita berpikir dan merenung, seiring dengan perjalanan waktu ia kadang menguap tak terasa dan meninggalkan kesan bahwa ia hanya dibutuhkan untuk sementara, hanya untuk menarik simpati belaka.
Suatu saat kita disibukkan untuk mengajak orang-orang ke jalan Allah, dengan bahasa-bahasa lisan dan gerak yang memukau, tapi pada saat yang sama kita justru melupakan orang yang pernah berjuang dengan kita dan kini terbaring tak berdaya ditemani kenangan indah masa lalu saat ia terpukau dengan bahasa indah kita, terlepas kita lupa atau tidak tahu.
Saudaraku –ah, kata ini terlalu indah hingga saya suka mengulangnya, tapi mudah-mudahan tidak membosankan apalagi menghilangkan makna keanggunannya-, kita memang bukan orang sempurna dalam segala hal, di tengah kesibukan kita apalagi seruan iblis la’natullah ‘alaihi memang kadang membuat pikiran kita terpecah -parsial- antara prioritas dan bukan, bahkan membuat kita lupa dan menjadikan kita tak sadar. Tapi tahukah kita dalam keadaan penuh kesadaran pun kadang kita menginjak keagungan ukhuwah tersebut. Penyakit individualis adalah propaganda iblis untuk mengikis ukhuwah yang seharusnya menjadi ciri khas kaum muslimin terlebih bagi para pejuang dakwah telah menimpa kebanyakan kita, jika begitu apa yang membedakan kita dengan orang awam? Mungkin hanya pakaian dan beberapa amalan lainnya.
Saudaraku, manusia terbaik dan paling bertaqwa yang pernah ada di muka bumi ini ditegur oleh Sang Khalik ketika beliau tidak memperdulikan seorang buta datang kepadanya untuk bertanya dan lebih mementingkan berbicara dengan orang kafir yang sombong dengan harapan mereka masuk Islam. Tak tanggung-tanggung, teguran itu diabadikan-Nya dalam kitab suci-Nya, Al Qur’an al Karim dan dikhususkan dalam sebuah surah yang bernama ‘Abasa (Ia bermuka masam) mungkin kita sudah tahu bahkan sudah menghapalnya.
Sejak teguran itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam semakin bersikap lunak kepada semua orang dan teguran itu semakin memposisikan beliau sebagai makhluk yang maksum (terjaga) dalam penjagaan-Nya.
Mungkin peristiwa tersebut di atas juga bisa kita samakan kebanyakan fenomena sekarang ini, ketika kehangatan ukhuwah hanya ada pada jumpa pertama, hanya menjadi senjata pamungkas untuk mengajak orang ke jalan Allah. Meski untuk tujuan baik lagi mulia tapi itu adalah tindakan yang hampir mirip dengan sandiwara, ukhuwah bukanlah kebutuhan sementara.
Saudaraku, tiap hari kita menyaksikan para pejuang yang datang dan pergi -futur- dan tahukah kita apa yang membuat mereka meninggalkan jalan yang seharusnya mengasyikkan ini? Kebanyakan mereka beralasan yang menunjukkan adanya ketimpangan dalam ukhuwah itu. Di satu sisi alasan mereka memang tidak bisa kita benarkan sebab dalam perjuangan kita hanya membutuhkan Allah dan keridhoan-Nya tanpa mengharap dari makhluk, tapi di sisi yang lain seharusnya membuat kita intropeksi akan perilaku ukhuwah kita yang memang kebanyakan temporer. Dari itu kita seharusnya semakin memperbaiki diri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah ditegur, tentu saja bukan hanya karena untuk mempertahankan keutuhan pejuang semata tapi lebih dari itu memang ia adalah kewajiban. Ukhuwah tidak hanya dibutuhkan untuk mengkader.
Saudaraku, tulisan ini bukan untuk memvonis siapapun, hanya sekedar nasehat buat penulis dan buat kita semua sebagai bentuk cinta atas dasar ukhuwah Islamiyah dan mudah-mudahan ia tak berakhir sampai di sini… (AF)
Makassar, Ba’da Isya 15 Jumadil Ula 1430 H