Kita Harus Berubah!
Apakah ada yang statis dalam perputaran alam semesta ini? Apakah ada yang tidak berubah dalam pentas dunia? Dan lebih dalam lagi, apakah ada yang tidak berubah dalam catatan diri kita yang lemah ini? Jawabnya: tidak, semuanya pasti berubah. Di alam raya ini, semua makhluk mengalami perubahan. Menjadi lebih besar, lebih baik, lebih kecil, lebih buruk, lebih kuat atau lebih lemah dari sebelumnya… Artinya, di alam semesta ini tidak satu pun yang berada dalam posisi yang “itu-itu saja”. Pasti berubah. Dan perubahan itu mengarah kepada 2 arah saja pada dasarnya: menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk.
Ini mungkin sedikit mengoreksi pandangan yang umum kita ketahui dan yakini tentang “Tipe manusia dalam perubahan”. Jika Anda ditanya tentang “Tipe manusia dalam perubahan”, maka jawaban yang umum diberikan adalah: manusia itu ada tiga jenis; (a) yang hari ini lebih baik dari kemarin, (b) yang hari ini sama saja dengan kemarin, dan (c) yang hari ini lebih buruk dari kemarin. Prinsipnya memang seperti itu secara umum. Namun bila direnungkan lebih dalam, “Tipe manusia dalam perubahan” sesungguhnya hanya 2 saja-sebagaimana disebutkan sebelumnya-; menjadi lebih baik atau lebih buruk. Tidak ada yang statis. Karena manusia yang hari ini “kelihatannya” atau “merasa” sama saja dengan yang kemarin, sebenarnya adalah sosok yang “hari ini lebih buruk dari kemarin”. Sebab tidak berubah menjadi lebih baik artinya berubah ke arah yang lebih buruk. Jika kita tidak berubah menjadi lebih shaleh, itu artinya catatan amal kita di sisi Allah semakin buruk. Itu saja sudah cukup, apalagi jika kita benar-benar melakukan maksiat.
Bagi para ulama salaf, perubahan menjadi lebih baik adalah hitungan detik per detik. Bukan tahun per tahun, atau bulan per bulan. Seperti yang pernah dituturkan Ibrahim al-Harby tentang Imam Ahmad ibn Hanbal. “Aku menyertainya selama 20 tahun, siang dan malam, musim panas dan musim dingin, namun tidak satu hari pun yang aku lalui bersamanya, melainkan hari ini ia jauh lebih baik dari sebelumnya,” tuturnya suatu saat.
Saya tidak bosan-bosannya mengulangi kisah ini. Karena ia sungguh menakjubkan, dan menginspirasi! Bahwa seorang Ahlussunnah ternyata seharusnya adalah sosok yang harus terus-menerus mendorong dirinya untuk berubah ke arah yang semakin lama semakin baik, hingga kelak mengantarnya ke surga terbaik, Jannah al-Firdaus.
Dan kemestian perubahan ini semakin jelas ketika kita dengan nyata melihat bahwa pendukung-pendukung kebatilan terus menerus melakukan perubahan ke arah yang “lebih baik” dalam menghunjamkan nilai yang mereka “da’wahkan”. Sementara kita, umat Islam-dan lebih khusus lagi Ahlussunnah wa al-Jama’ah-masih terus berkutat dalam hal-hal yang kontra produktif dan tidak jelas manfaatnya.
Seperti mereka yang tidak bosan-bosannya melemparkan tudingan-tudingan palsu dan dusta kepada sesama Ahlussunnah: “Fulan hizbi… fulan sururi… yayasan ini sirriyah… tanzhim itu bid’ah…” dan sederet label-label lain yang dari ke hari ke hari mereka semakin “kreatif” saja menciptakannya. Perhatikanlah dengan seksama. Prototipe yang “menikmati” kebiasaan semacam ini, menurut Syekh Bakr Abu Zaid-anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama di Saudi- dalam bukunya, Tashnif al-Nas, adalah contoh orang yang “tidak berusaha mematahkan makar musuh Islam dan juga tidak mendukung Islam itu sendiri”. Perhatikanlah apa yang disumbangkan “kelompok tukang fitnah” seperti ini bagi Islam? Mungkin saja ada, tapi mudharatnya justru lebih banyak. Jangankan memberikan sumbangsih bagi umat, sesama mereka sendiri justru sering berseteru dan sangat rentan mengalami perpecahan. Meskipun mengaku mengusung manhaj al-Salaf, tapi mereka sebenarnya menodai manhaj mulia ini-sadar atau tidak sadar-.
Bukankah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Bakr al-Shiddiq, Umar, Utsman, ‘Ali-radhiyallahu ‘anhum-, al-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, ‘Abd al-‘Aziz ibn Baz, Muhammad ibn ‘Utsaimin, Muhammad Nashir al-Din al-Albany –rahimahumullah-; bukankah mereka semua tidak pernah mencontohkan hal semacam itu?
Benar, bahwa fenomena ini adalah fenomena yang sudah basi. Tapi anehnya, hingga hari ini masih saja ada yang mengaku sebagai Ahlussunnah yang membiarkan dirinya terjebak dalam “kenikmatan” menyebar fitnah dan syubhat semacam itu (Dan anehnya, mereka tidak pernah berani untuk tatsabbut secara langsung!). Padahal tantangan semakin berat. Dan kewajiban yang harus ditunaikan jauh lebih banyak dari waktu yang tersedia.
Karena itu, kita harus berubah! Sekarang, atau tidak sama sekali!
Para pejuang Ahlussunnah harus mengubah diri mereka menjadi lebih baik, dengan terus belajar tentang apa saja yang berwujud kebajikan-meski berasal dari Iblis sekalipun-sembari terus bermujahadah merendahkan hati (bukan diri!) kepada sesama kaum muslimin.
Para pejuang Ahlussunnah harus bermetamorfosa dan keluar dari “tempurung” hizbiyyah-yang mengukur kebenaran atas dasar fatwa syekh-syekh atau ustadz tertentu-, membuka wawasan dan ufuk pikirannya sebagaimana dahulu Imam al-Syafi’i berharap menemukan kebenaran dari lisan lawan diskusinya, dan bukan dari lisannya sendiri.
Para pejuang Ahlussunnah harus bermujahadah sungguh-sungguh membersihkan hati dari hawa nafsu hasad dan dengki, agar dapat mewujudkan sebuah tanzhim da’wah Ahlusunnah yang solid dan kuat, yang bergerak seiring-seirama menyebarkan manhaj mulia ini dalam balutan ruh cinta dan kasih sayang khas Ahlussunnah di seluruh bumi Nusantara ini.
Hal min mujiib?
Apakah ada yang sedia menjawab seruan ini?[]
Makassar, 6 Sya’ban 1427 H
Muhammad Ihsan Zainuddin
(https://abul-miqdad.blogspot.com/)