Kita Hanya sebagai Perantara
“Hendaklah Setiap Kalian berbuat semampunya, untuk menolong pasangannya
mencintai Allah dan mendapat ridha-Nya. Betapa banyak perempuan yang telah menjadi
perantara bagi keshalihan suaminya.” (Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi)
******
Hari ini dia pergi sangat pagi, meninggalkanku anak–anak dan rumah kami yang penuh dengan ketenangan, dengan penuh antusias aku menyediakan perlengkapannya mulai dari sarapan, pakaian hingga bekal khusus. Satu dari beberapa pesannya yang selalu kuingat “Jika esok tak ada lagi yang memberimu suapan ketika kau makan seperti biasa yang kulakukan padamu maka yakinlah Allah akan memberi suapan itu kepadamu lebih dari segala yang pernah aku berikan untukmu. Segala musibah, ujian dan sejuta masalah akan senantiasa datang silih beganti dalam kehidupan, sementara aku tak akan selamanya bersama dirimu, maka dekatlah kepada Allah, dan kau tak akan sendiri…”
(Lamat-lamat kalimat ini mengiringi kepergiannya untuk sebuah misi dakwah).
*****
Interaksi dengan sesama manusia dalam kehidupan ini terjadi tak pernah berhenti. Setiap kita bisa saling mengisi dan saling melengkapi, demikian halnya bagi pasangan suami istri, mereka dipersatukan bukan untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat dari yang lain. Sama sekali bukan itu. Karena sesungguhnya kita semua sama saja, berasal dari nol, lalu kemudian masing-masing dilebihkan Allah dari sisi pemberian yang berbeda-beda. Dari sisi itu kita saling mengisi. Maka interaksi kita, antara satu dengan yang lain, sejatinya sekedar menjalankan fungsi kita sebagai perantara. Hanya itu. Dan itu yang sering terlupakan.
Ada banyak kisah yang terurai dalam sejarah dapat menjadi bukti, bahwa menjadi perantara itu penting. Maka, izinkan saya menarik benang yang menyambungkan untaian 3 kisah wanita shalehah yang berbeda dalam keadaannya namun mengerti bahwa Allah adalah tujuan dan fungsi mereka sebagai perantara itu penting. Yah, ini tentang Ummu Sulaim, Khadijah dan tentang Asiah. Ummu Sulaim yang mampu menuntun pada cahaya kebenaran, Khadijah yang menjadi pantas untuk lelaki terbaik, dan Asiah yang tetap bertahan dengan keteguhannya meski harus bersanding dengan seburuk-buruknya manusia. Satu jawaban untuk menghubungkan ketiganya: “Mereka semua -radhiyallahu anhuma, memiliki satu hal yang membuat segalanya menjadi indah; Sadar bahwa mereka hanya sebagai perantara. Selebihnya serahkan kepada Allah.
Di dalam Islam, seorang istri memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga dan peranannya yang sangat dibutuhkan ini menuntutnya untuk memilih kualitas yang baik sehingga bisa menjadi seorang istri yang baik pula. Pemahamannya, perkataaannya dan kecenderungannya, semua ditujukan untuk mencapai keridho’an Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika seorang istri membahagiakan suaminya, hal itu adalah untuk mendapatkan keridho’an dari Allah sehingga dia (seorang istri) berkeinginan untuk mengupayakannya. Tapi hal ini tidak lantas terjadi sekaligus dan tanpa celah. Terkadang, banyak istri yang merasa telah melakukan yang terbaik, tapi tak diterima baik oleh suami. Demikian pula sebaliknya.
Pada keadaan ini, istri bisa saja tersinggung, merasa tidak dihargai, lalu membenamkan diri pada perasaan–perasaan yang melankolis dan menjadikan diri semakin rapuh. Ingat, kita hanya sebagai perantara. Kualitas seorang istri seharusnya memenuhi sebagaimana yang disenangi oleh pencipta-Nya.
Seorang wanita shalehah adalah seorang wanita yang benar (dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami tidak ada di rumah, mempertahankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah dan senang serta mengajak untuk senantiasa ada dalam pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika seorang wanita muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus mengerti bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggungjawaban dalam Islam kepada pencipta-Nya, Allah.
Kisah pernikahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah tentu sudah sangat mahsyur. Satu bagian yang hampir selalu ada dalam sirah yang membahas tentang salah satu dari mereka. Bahkan, Ummu Sulaim menjadi identik sebagai shahabiyah dengan mahar yang paling agung, yakni ke-Islaman suaminya: Abu Thalhah.
Betapa rangkaian sirah itu mengajarkan kita pada keteguhan Ummu Sulaim. Beliau tidak ingin menikah dengan seseorang yang bukan Islam. Bahkan meski saat itu Abu Thalhah adalah seseorang yang yang berat untuk-ditolak, dengan segala keunggulan beliau kala itu. Namun, seunggul-unggulnya beliau, Abu Thalhah kala itu adalah seorang kafir, sementara Ummu Sulaim adalah seorang muslimah yang taat. Maka pernikahan itu menjadi tercatat dalam sejarah, sebab maharnya yang sangat istimewa: Ke-Islaman Abu Thalhah.
Sosok Abu Thalhah yang menjadi salah satu sahabat yang dikenang dengan manis kisahnya. Pasca ber-Islam dan pernikahannya dengan Ummu Sulaim, tidak putus sumbangsih beliau dalam perkembangan Islam. Ini jelas merupakan sebuah pertanda, betapa hidayah Allah telah merasuk ke dalam dirinya, dan tentu itu pun tidak lepas dari peranan sang istri dalam mendampingi beliau.
Khadijah yang berjodoh dengan Rasulullah shallalahu ‘alahi wa sallam menjadi pasangan yang dicetak sejarah dalam keunggulannya di segala sisi. Meski memiliki kelebihan harta, tak merasa lebih unggul dan mengungguli. Sadar bersanding dengan seorang utusan Allah, beliau menjadi pendukung setia di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan ketika semua mendustakan, khadijah hadir pertama kali membenarkan apa yang beliau shalallahu alaihi wa sallam bawa.
Kisah yang lebih ekstrim datang dari Asiah, istri Fir’aun. Jika kita menggunakan ‘logika kepantasan’, maka jelas tidaklah pantas Asiah seorang wanita yang dijamin surga, bersanding dengan Fir’aun yang diabadikan namanya sebagai contoh buruk sepanjang masa. Dan demikianlah takdir yang tergariskan Allah. Asiah menjadi istri yang begitu sabar dan senantiasa bemanis wajah dan Allah pun menjaganya dan melindunginya. Meskipun bersuamikan Firaun, Firaun tidak memiliki peluang untuk tidur bersama Asiah. Begitulah Allah hendak membuktikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, kalau mereka benar-benar ikhlas dan bertaqwa kepada Allah, Allah sentiasa memberikan jalan yang mudah.
Ummu Sulaim yang mampu menuntun pada cahaya kebenaran, Khadijah yang menjadi pantas untuk lelaki terbaik, dan Asiah yang tetap bertahan dengan keteguhan imannya meski harus bersanding dengan seburuk-buruknya manusia adalah cermin yang jelas bagi kita untuk mengarungi hidup dan berkehidupan dalam biduk yang bernama rumah tangga. Kisah mereka adalah kolase indah yang perlu kita pajang di dinding rumah kita.
Maka pada intinya kehidupan dalam dunia ini adalah sebuah interaksi yang saling mengisi dan saling melengkapi.
Memang semua orang menginginkan suasana rumah tangga yang bahagia, tetapi ada kalanya Allah sengaja jadikan suami atau isteri sebagai sebab untuk menguji kesabaran kita. Bukan begitu ???
“Barangsiapa yang sabar terhadap akhlak yang jelek dari isterinya, maka Allah akan memberinya pahala sebagaimana yang diberikan pada Nabi Ayub ‘alaihi salam. Dan mana-mana isteri yang sabar di atas akhlak suami yang jelek maka akan diberi oleh Allah pahala sebagaimana pahala Asiah isteri Firaun.”
Wallahu a’lam bishawab. (ZA)
(Rubrik Muslimah, Majalah SEDEKAH PLUS edisi 2 Tahun I 2014)