Khutbah Jum’at: Sikap Orang Beriman terhadap Rezeki Allah
Oleh: Ustadz Harman Tajang, Lc.
Khutbah Pertama
Hadirin jamaah Jum’at rahimakumullah…
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita taufiq dan menjadikan kita termasuk dalam orang-orang yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
فَبَشِّرْ عِبَادِ ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“…sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 17-18)
Sudah menjadi aqidah bagi kaum muslimin bahwa Allah yang menciptakan, menghidupkan, dan menjadikan khalifah di muka bumi ini, dan sekaligus menanggung rezeki hambaNya. Oleh karenanya ketika Allah menjelaskan hakikat penciptaan manusia dan jin dengan firmanNya:
مَآ أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلْقُوَّةِ ٱلْمَتِينُ
“Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 57-58)
Allah menanggung rezki hamba yang diciptakanNya, baik dari kalangan manusia, orang beriman dan kafir, para jin bahkan hewan melata.
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Hud: 6)
Allah Ta’ala yang kita sembah dan kita yakini tidak akan menyelisihi janji-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَفِى ٱلسَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (QS. Adz-Dzariyat: 22)
Olehnya Rasulullah telah menjelaskan dalam sebuah hadits:
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“..Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya…” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
إِنَّ رُوحَ القُدُسِ نَفَثَ فيِ رَوْعِي أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَجَلَهَا وَتَسْتَوْعِبَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فيِ الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمْ اِسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالىَ لاَ يُنَالُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
“Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril) telah meniupkan wahyu ke dalam hatiku, bahwa suatu jiwa tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan ajalnya dan mengambil seluruh rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan baik. Dan jangan sampai anggapanmu akan lambatnya rezeki mendorongmu untuk mencarinya dengan maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya apa yang di sisi Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan menaati-Nya.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, Lihat Shahihul Jami’ no. 2085)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam Al-Qur’an:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 32)
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Ini menunjukkan keadilan Allah Azza wa Jalla. Karena tak satupun diantara kita yang lahir ke permukaan bumi ini yang diberikan pilihan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seandainya setiap diantara kita sebelum lahir diberikan pilihan, tentu ia tidak memilih menjadi orang miskin dan fakir, tentu ia memilih untuk menjadi orang yang gagah dan ganteng, tentu ia memilih menjadi orang yang dengannya ia mendapatkan pujian dari manusia. Namun Allah menciptakan hamba-Nya bi hikmatin baalighah. Oleh karenanya, dalam Islam Allah tidak menjadikan pangkat dan jabatan sebagai standar kemuliaan. Allah tidak menjadikan harta benda yang kita miliki sebagai ukuran kemuliaan di sisi Allah, paras bukan ukuran kemuliaan.
“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”. (HR. Muslim)
Ini aqidah seorang muslim, bahwa sesungguhnya rezeki telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang berkeyakinan seperti itu, maka ia akan mengembalikan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya kepada takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan dialah yang akan merasakan kebahagiaan hidup di dunia ini insya Allah sebagaimana Perkataan ibnu Sabiq: “Engkau tidak akan pernah merasakan indahnya kehidupan sampai engkau menyadari dan meyakini bahwa apa saja yang telah ditentukan Allah untukmu maka tak satupun yang dapat menghalanginya. Dan apa yang bukan untukmu tak satupun yang dapat memberikannya kepadamu”.
Olehnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Wahai umat manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam hal mencari rezeki. Karena, sesungguhnya manusia itu tidak akan mati sebelum disempurnakan rezekinya. Allah hanya memperlambat turunnya rezeki kepadanya. Dan kemudian menurunkannya secara berangsur-angsur. Karena itu (sekali lagi), bertakwalah kalian semua kepada Allah dan perbaikilah usahamu dalam meraih rezeki. Ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram.” (HR Ibnu Majah).
Namun, tidaklah dipahami atau merupakan pemahaman yang keliru, ketika dengan alasan karena rezki sudah ditentukan Allah, kita duduk berpangku tangan di rumah, kemudian bermalas-malasan. Ini bukan merupakan ajaran Islam. Agama kita adalah agama yang mengajarkan tentang Manhaj Tawaazun, keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. Al-Qashash : 77).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumuah: 10)
Bukanlah alasan dengan rezki dan tawakkal kepada Allah, kemudian ia menelantarkan orang-orang yang semestinya menjadi tanggung jawabnya, dari anak dan istrinya dengan alasan ia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“cukuplah seseorang dikatakan buruk ketika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggung jawabnya. Sesungguhnya jasad memiliki hak darimu, dan keluargamu memiliki hak darimu, dan tamumu memiliki hak darimu, dan berilah setiap hak itu haknya” (HR. Abu Daud)
Di dalam mencari rezeki, kita diperintahkan mencari yang halal, dan kita boleh mengerahkan seluruh potensi yang kita miliki, bahkan bukan hal yang tercela ketika seseorang berniat menjadi orang kaya dalam agama ini, sebagaimana doa yang masyhur dari kalangan salaf:
“Ya Allah, Jadikanlah dunia di tanganku dan janganlah engkau jadikan dunia di hatiku”.
Sebab ketika dunia berada di tangan kita maka kitalah yang mengatur dunia. Tetapi ketika dunia itu memasuki hati kita, maka kitalah yang diatur oleh dunia. Dan sungguh celaka orang yang diatur oleh dunianya sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah, dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi, dia senang, tetapi jika tidak diberi, dia marah.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barangsiapa menjadikan urusan dunia sebagai perhatian utamanya, maka Allah akan membuatnya kesusahan (dalam mencari dunia tersebut), dan bayang-bayang kemiskinan akan diletakkan tepat di depan matanya. Ia tidak akan mendapat apa-apa dari dunia ini selain apa yang telah dituliskan baginya (takdir). Barangsiapa menjadikan urusan akhirat sebagai fokus perhatiannya, maka segala urusannya akan dimudahkan oleh Allah dan kekayaan akan diletakkan dalam hatinya. Dunia akan mendatanginya meskipun ia tidak mencarinya,” (HR Tirmidzi).
“Seandainya anak cucu Adam mempunyai dua lembah harta, tentu ia masih menginginkan yang ketiga…” (Shahih Muslim)
Hadirin jama’ah jum’at rahimakumullah…
Bukanlah banyak sedikitnya harta yang menjadi ukuran kebahagiaan seseorang, namun yang menjadi inti kebahagiaan seseorang adalah bila hartanya diberkahi. Betapa banyak orang yang diluaskan untuknya kehidupan dunia, ia memiliki rumah bertingkat, tetapi rumah itu menjadi neraka baginya. Ada orang yang memiliki banyak kendaraan, namun kendaraan itu menjadi adzab baginya.
Lihatlah kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan penuh kefaqiran, beliau bahkan ketika hendak qiyamullail memberi isyarat kepada Aisyah untuk melipat kakinya agar ada tempat untuk bersujud. Istri-istri beliau pernah mengatakan sampai beberapa bulan dapur mereka tidak pernah mengeluarkan asap karena tidak ada sesuatu yang bisa dimasak. Namun itu merupakan rumah yang paling bahagia di dunia ketika diisi dengan keridhaan dan ketaatan kepada Allah, diisi dengan cahaya ilahi, cahaya sunnah.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an:
وَٱذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِى بُيُوتِكُنَّ مِنْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ وَٱلْحِكْمَةِ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ahzab: 34)
Itulah sumber kebahagiaan hakiki, bukan ketika ia telah memiliki segalanya namun jauh dari agama Allah Ta’ala. Rumahnya hanya memperdengarkan seruling setan dan kemaksiatan kepada Allah. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaha: 124)
قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ ءَايَٰتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَٰلِكَ ٱلْيَوْمَ تُنسَىٰ
“Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. (QS. Thaahaa: 126)
Khutbah Kedua
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah...
Sebab pintu-pintu rezki dibuka, diantaranya:
Yang pertama, memperbanyak istighfar kepada Allah.
Kemaksiatan adalah musibah dan malapetaka yang bisa menghilangkan keberkahan, menjadi sebab Allah menahan menurunkan hujan dan keberkahan dari langit.
فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًا
يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا
وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَٰلٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّٰتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَٰرًا
“maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
Imam Hasan al Bashri pernah didatangi orang orang yang mengadukan permasalahannya, ada yang mengadukan kemarau panjang, ada yang mengadukan kefaqiran, ada yang mengadukan tidak punya anak. Beliau berkata banyak istighfar kepada Allah. Kemudian beliau membaca firman Allah di atas.
Yang kedua, memperbanyak sedekah di jalan Allah.
Di sebut sedekah, berasal dari kata ash Shidqu (Jujur). orang yang bersedekah menampakkan kejujuran dan keyakinannya dengan ganti dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan dilipatkandakan dan diberikan dengan ganti yang lebih baik dari apa yang dia sedekahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji:
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah [166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 261)
Dalam hadits qudsi:
“Ya Bani Adam, keluarkanlah nafkah dan sedekah kalian, Aku akan memberikan sedekah itu kepada kalian.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat. Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”, sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)” (HR Bukhari)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ وَٱسْمَعُوا۟ وَأَطِيعُوا۟ وَأَنفِقُوا۟ خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. At-Taghabun: 16)
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah….
Nafkah dan infaq yang paling mulia adalah ketika diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, dan kepada para penuntut ilmu, kepada para asatidz yang menafkahkan waktunya untuk menuntut ilmu. Pada masa salafusshaleh, para ulama mendapatkan tunjangan dari baitul mal bukan karena mereka bertawakkal pada apa yang ada di kantong saudaranya, namun karena ini merupakan anjuran bagi mereka yang memiliki keluasan harta untuk memperhatikan para penuntut ilmu. Sebagaimana hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmdzi:
Rasulullah pernah didatangi oleh seorang lelaki yang memiliki saudara. Ia bekerja dan saudaranya menuntut ilmu. Ia mengadukan saudaranya kepada Rasulullah karena ia yang menafkahi saudaranya. Rasulullah berkata: “Karena dialah kamu diberikan rezki oleh Allah.”
Banyak penuntut ‘ilmu yang membutuhkan, mari kita menyalurkan harta pada hal yang diridhai Allah. Dan meminta untuk kebaikan kaum muslimin bukanlah hal yang tercela. Semoga Allah melapangkan rezki dan memberikan keberkahan.[]