Khutbah Jum’at: Menjaga ‘Bangunan’ Islam.
Oleh Ustadz Bahrun Nida, Lc.
Khutbah Pertama
إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له و من يضلله فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمدا عبده و رسوله. يأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته و لا تموتن إلا و أنتم مسلمون. يأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة و خلق منها زوجها و بث منهما رجالا كثيرا و نساء و اتقوا الله الذي تساءلون به و الأرحام إن الله كان عليكم رقيبا. يأيها الذين آمنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم و يغفر لكم ذنوبكم و من يطع الله و رسوله فقد فاز فوزا عظيما. ألا فإن أصدق الحديث كتاب الله و خير الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم و شر الأمور محدثاتها و كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار. اللهم فصل و سلم على هذا النبي الكريم و على آله و أصحابه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.
قال الله تعالى: يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟ بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِۦ وَالْكِتٰبِ الَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَالْكِتٰبِ الَّذِىٓ أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّـهِ وَمَلٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًۢا بَعِيدًا ﴿النساء:١٣٦﴾
Ma’asyiral muslimin, sidang jamaah Jumat rahimanillahu wa iyyakum
Sebagai sebuah analogi dan penggambaran sederhana bahwa di dalam kehidupan kita ini, senantiasa kita melakukan pembangunan-pembangunan. Katakanlah, sebuah gedung yang kita bangun, namun di dalam perjalanan bangunan itu, pastilah membutuhkan biaya pemeliharaan. Bahkan segala infrastruktur dalam kehidupan kita, yang merupakan kepentingan umum, pada setiap unit-unitnya membutuhkan biaya pemeliharaan. Gedung-gedung, jalan-jalan, instansi-instansi, untuk supaya objek-objek yang disebutkan itu bisa termanfaatkan secara kontinu, maka ada satu pos anggaran yang dinamakan anggaran pemeliharaan.
Jamaah Jumat rahimanillahu wa iyyakum
Ini hanya sekedar prolog, untuk kita jadikan sebagai mukadimah membahas sebuah ayat yang terdapat dalam surah An Nisa’ ayat 136 yang berbunyi
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟ بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِۦ وَالْكِتٰبِ الَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَالْكِتٰبِ الَّذِىٓ أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّـهِ وَمَلٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًۢا بَعِيدًا ﴿النساء:١٣٦﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisaa’ ayat 136)
Kalau Islam itu kita gambarkan sebagai sebuah bangunan, dan memang seperti itu adanya, seperti yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang populer
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ
“… Islam dibangun di atas lima pilar”.
Kalau kita katakan bahwa Islam itu digambarkan dan dianalogikan sebagai sebuah bangunan, dan pelakunya bernama muslim. Islam adalah objek dan tempat kerja kita. Pegawai-pegawainya, pekerja-pekerjanya, karyawan-karyawannya bernama muslim. Ada kata-kata iman, itu adalah wilayah kerja kita. Para pekerja, karyawan, dan pegawainya bernama mu’min. Ada kata-kata takwa, itu adalah wilayah kerja kita, yang pelakunya bernama muttaqin. Ada ihsan yang merupakan wilayah kerja kita, yang pelakunya bernama muhsinin. Ketika kita kaitkan ayat yang saya bacakan tadi, “… Hai orang-orang yang beriman, berimanlah!”. Artinya, jamaah sekalian, bangunan itu sudah ada, bangunan itu sudah lama berdiri. Atau kita katakan, jalanan itu adalah jalanan yang sudah lama dilewati oleh lalu lintas, dan para pengguna daripada bangunan atau jalanan itu sudah ada. Maka apa yang bisa kita tangkap ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan “… Hai orang-orang yang beriman”?
Biasanya ada ayat-ayat yang mengajak untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Beberapa di antaranya ayat di dalam Al Qur’an, tapi sasarannya adalah orang luar yang diajak untuk masuk. Seperti dalam salah satu ayat Allah mengatakan “… Wahai para Ahli Kitab …” orang-orang di luar Islam, orang-orang Yahudi dan Nasrani, dikatakan sebagai Ahli Kitab karena memang secara historis memang diakui bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah mempunyai kitab suci, kitab samawi yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, telah mengalami perubahan-perubahan, maka dengan hikmah dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menurunkan kitab suci yang terakhir, yang dijelaskan oleh seorang yang bernama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang-orang yang telah berada pada keyakinan itu sebelumnya diajak untuk masuk ke dalam wilayah kerja yang baru, yang terakhir, yang bernama Islam. Dan karenanya, mereka orang-orang luar diajak untuk masuk ke dalamnya “… mari kita bersama-sama menyatukan persepsi yaitu … menuju kepada satu kalimat yang sama”. Kalimat yang sama itu terutama kalimat pembuka pintu gerbang yang menjadi titik penentu apakah kita bersaudara ataukah kita tidak bersaudara, yaitu kalimat tauhid, kalimat Lailaha Illallah. Akan tetapi, ketika ayat ini mengawalinya dengan mengatakan “… Hai orang-orang yang beriman!”. Ini bukan ditujukan kepada orang luar, tapi ayat ini berbicara tentang intern umat Islam itu sendiri, berbicara tentang kita-kita sendiri, kita tidak berbicara pada wilayah-wilayah yang lain. Artinya, kita semenjak dilahirkan oleh orang tua kita, orang tua kita dikenal sebagai seorang muslim dan muslimah, maka terlahirlah kita sebagai keturunan yang muslim. Artinya, bangunan itu sudah ada. Identitas sebagai seorang muslim itu sudah ada. Akan tetapi, seperti analogi yang saya sebutkan pada mukadimah khutbah, pada awal pembicaraan saya tadi, bahwa andaikan Islam ini kita analogikan sebagai sebuah bangunan, maka bangunan itu membutuhkan pemeliharaan. Harus ada ‘anggaran’ tersendiri yang disiapkan. Harus ada pos tersendiri yang dianggarkan untuk biaya pemeliharaan. ‘Bangunan’ yang bernama iman.
Atau kita menganalogikan bahwa Islam ini diandaikan sebuah perjalanan air sungai yang dari hulu ke muara, berjalan dan berjalan, asalnya ketika ia keluar dari hulu sungai, air itu asalnya bersih, jernih, standar menurut standar kesehatan. Akan tetapi, karena air ini mengalami perjalanan yang cukup panjang, melalui muara-muara sungai yang cukup panjang, maka terkadang terjadi hujan, terkadang terjadi longsor besar, sehingga air yang tadinya berasal dari sumber yang jernih, akhirnya bercampur dengan lumpur dan menjadilah ia air yang tidak standar. Islam yang berada pada dada-dada kita, akidah yang berada pada hati-hati kita, pada hari ini, membutuhkan ‘biaya pemeliharaan’. Bahkan mungkin tidak terlalu ekstrim dan berlebihan, kalau saya mengatakan membutuhkan ‘biaya renovasi’. Ada bahagian-bahagian gedung itu yang mungkin perlu untuk dirobohkan dan dibangun kembali, karena ada struktur bangunan yang sudah termakan oleh zaman. Apakah dari sisi pemahaman yang keliru, atau dalam bahagian unit-unit tertentu yang perlu untuk selalu kita perbaharui. Salah satu di antara interpretasi dan kandungan makna daripada ayat yang kita bahas ini, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan “Hai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah!”, tentu saja bukan maksudnya anjuran untuk melakukan syahadat ulang. Karena bagi seorang muslim, ketika dia telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak ada faktor yang membatalkan dan membuat syahadat itu diragukan, maka syahadat itu adalah syahadat yang tetap legal, diakui akan keberadaannya. Makanya, mungkin karena ada keraguan di antara kita, kadang-kadang, sehingga menjadi budaya sebahagian imam, ketika menikahkan dua pasang mempelai laki-laki, ketika dituntun oleh sang imam, biasanya diawali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Itu bukan pembaharuan, tapi yang inti adalah akadnya, karena bukan orang yang baru mau diajak ke dalam agama Islam. Maka tanpa syahadatpun itu sudah sah pernikahannya, yang penting akadnya sudah ada.
Jamaah Jumat rahimanillahu wa iyyakum
Poin yang pertama yang perlu kita lakukan ‘pemeliharaan dan renovasi’, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak kita untuk beriman kepada-Nya dan beriman kepada Rasul-Nya, yang pertama adalah tashihul aqidah, bagaimana kita memperbaiki dan memelihara akidah kita. Mungkin saja ada di antara orang yang mengatakan “Masa persoalan kepercayaan kita kepada Allah bisa bergeser. Nah, sejak dulu kita sudah memahami dan mendengarkan yang seperti itu”. Akan tetapi di antara salah satu penyakit hati adalah gampangnya dia menerima yang namanya syubhat. Gampangnya dia menerima sebuah bisikan-bisikan. Pada hari ini, menjajakan saja sesuatu yang tidak berkualitas, akan tetapi terus-menerus dilakukan, orang akan terpengaruh. Coba kita lihat contohnya penjual rokok. Penjual rokok itu menjajakan melalui semua media, media elektronik, iya, media cetak, dia jajakan, iya. Akan tetapi, terus-menerus, walaupun secara jujur dia mengatakan “barang dagangan saya ini, sebenarnya merusak kesehatan”, akan tetapi, karena terus dipromosikan, akhirnya banyak juga orang yang terpengaruh. Demikian pula persoalan akidah yang melenceng, ketika ia terus dikumandangkan dan dijajakan, iya, ada-ada saja di antara pengikut dan pelanggan-pelanggannya. Karenanya, perlu kita memelihara akidah dan keyakinan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kadang ada di antara kita yang mengatakan, “Tidak mungkin. Tidak mungkin”. Terkenallah seorang nabi, yang tidak berlebihan kalau kita namakan dia adalah seorang simbol Bapak pembawa tauhid. Dia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihi salam. Akan tetapi, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ketika akan membangun Ka’bah, salah satu di antara doa Beliau. Beliau ini adalah sumbernya akidah dan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan dia melahirkan keturunan-keturunan nabi. Dia adalah nabi. Anaknya adalah nabi. Cucunya adalah nabi. Dan keturunannya adalah para nabi dan para rasul. Tapi apa di antara cuplikan kekhawatiran Beliau yang Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan di dalam Al Qur’an “… Ya Allah, peliharalah aku, jangan sampai aku terjatuh kepada bentuk kesyirikan, mempersyarikatkan-Mu”. Sejak kecil kita telah memahami betul bahwa Nabi yang terakhir, yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Nabiyullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi yang namanya faktor syubhat. Apa yang kita lihat pada hari ini, ternyata paham Ahmadiyah adalah salah satu di antara sekte yang berafiliasi pada Islam ternyata jutaan pengikutnya di permukaan bumi ini. Kalau saja, kita tidak menyiapkan ‘anggaran’ terkhusus, untuk melakukan perbaikan-perbaikan, untuk melakukan pemeliharaan-pemeliharaan pada bangunan yang bernama Islam ini, maka lambat laun, kalau bukan kita, maka anak, cucu, dan keturunan kita akan mengalami sebuah malapetaka yang tentu menjadi tanggung jawab kita. Karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengatakan, يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟ adalah anjuran untuk melakukan pemeliharaan. Bagaimana bentuk pemeliharaan itu? Pemeliharaan itu adalah dengan banyak mendengarkan ilmu-ilmu dari para ulama, banyak membaca buku-buku dan literatur-literatur, yang memang kita pahami bahwa ia adalah sesuatu yang absah, yang datangnya dari ulama-ulama yang tepercaya.
Yang kedua, “يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟ بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِۦ” adalah anjuran untuk senantiasa konsisten dan beristiqomah. Salah satu di antara doa yang sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu”.
Di saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa ini, di samping untuk diri Beliau, sekaligus bentuk pengajaran kepada umatnya bahwa kalau saja Beliau adalah orang yang paling kuat benteng akidahnya masih berdoa dengan doa yang seperti itu, maka itu dapat kita mengambil sebuah kesimpulan lebih-lebih kita yang tidak maksum, yang tidak terpelihara dari yang namanya dosa dan kesalahan-kesalahan.
Dalam hadits Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ada orang yang di pagi hari masih beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi di sore hari dia sudah ingkar dan sudah kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di saat ia belum terpengaruh oleh pemahaman-pemahaman, shalatnya masih shalat lima waktu, rukun imannya masih enam rukun iman, rukun Islamnya masih tetap lima rukun Islam.
Pada hari ini, sudah beberapa orang-orang yang menamakan dirinya sebagai tokoh intelektual muslim, yang pada hakekatnya perusak-perusak akidah Islam, sudah berani menyuarakan hal-hal yang sifatnya prinsip, dan sudah ada penganut-penganutnya, terutama dari kalangan tokoh-tokoh dan penganut-penganut sekuler, yang tentu saja, apa yang mereka tawarkan kepada kita sangat bertentangan dengan akidah Islam. Itulah sebabnya sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [آل عمران: 102] .
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Alloh sebenar-benarnya takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan memeluk agama Islam.”
Seakan-akan di saat ajal ini sudah hampir datang menjemput kita, andaikan kita bisa memberikan instruksi pada ajal itu: “Jangan Engkau menjemput saya sebelum akidah saya baik!”, “وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ”, sebab yang akan menjadi penentu selamat tidaknya seseorang di hari kemudian adalah persoalan kepercayaannya di dalam agama ini. Memang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan,
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“… Siapa yang ingin beriman silahkan beriman, dan siapa yang ingin kafir silahkan kafir”, (QS. al-Kahfi ayat 29)
Akan tetapi, tidaklah kita memilih sebuah jalan, terkecuali setiap jalan itu pasti ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أقول قولي هذا و أستغفر الله لي و لكم و لسائر المسلمين و المسلمات من كل ذنب فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم
Khutbah Kedua
الحمد لله على إحسانه و الشكر له على توفيقه و امتنانه، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه و أشهد أن محمدا عبده و رسوله الداعي إلى رضوانه. اللهم فصل و سلم على هذا النبي الكريم و على آله و أصحابه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.
Jamaah Jumat rahimanillahu wa iyyakum
Di antara makna daripada “يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟ بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِۦ adalah anjuran untuk menyempurnakan hal-hal yang masih kurang dalam aplikasi pelaksanaan Islam kita dalam kehidupan kita sehari-hari. Mungkin poin yang terakhir ini, kita akan fokuskan sedikit bahwa yang saya maksudkan pada poin yang terakhir ini adalah kita sebagai seorang muslim yang biasa-biasa, anjuran untuk senantiasa memelihara kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang muslim, yang tentu akan menjadi pertanggungjawaban kita di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam keseharian kita, kita melewati lima waktu shalat dalam sehari semalam. Kalau ada di antara kita yang masih Senin-Kamis cara melaksanakan shalat lima waktunya, sudah saatnya untuk merenungkan daripada ayat ini “يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟ بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِۦ. Jangan lagi dikorting, jangan lagi dikurangi. Sebab pada asalnya shalat ini berjumlah lima puluh kali dalam sehari semalam. Kemudian Allah memberikan kemudahan dan kemurahan kepada Nabi-Nya, akhirnya dikurangi menjadi empat puluh lima, ‘didiskon’ menjadi empat puluh, sampailah menjadi lima kali sehari semalam saja. Maka kalau kita mengandaikan bahwa shalat lima waktu ini adalah sebuah ‘produk’, maka ia adalah ‘produk’ yang sudah sangat murah sekali, sudah sangat diskon sekali. Maka barangsiapa yang meminta ‘diskon’ setelah yang lima ini, sungguh sangat keterlaluan. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita,
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,”. (QS. Al-Maa’uun ayat 4-5)
Kalau saja orang yang sudah shalat, masih mempunyai kemungkinan ancaman untuk diancam Neraka Wail, bagaimana dengan orang yang tidak punya bangunan sama sekali, yang tidak ada standar penilaian di hari kemudian, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan titik sentral penilaian yang pertama adalah shalat-shalat kita di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فاعلموا أن الله أمركم بأمر بدأ فيه بنفسه و ثنى بملائكته المسبحة بقدسه و ثلث بكم أيها المسلمون فقال عز من قائل إن الله و ملائكته يصلون على النبي يأيها الذين آمنوا صلوا عليه و سلموا تسليما. اللهم صل و سلم على نبينا محمد و عل آله و صحابته و من اهتدى بهديه و استن بسنته إلى يوم الدين. ثم اللهم ارض عن الخلفاء الراشدين المهديين أبي بكر و عمر و عثمان و علي و على بقية الصحابة و التابعين و تابع التابعين و علينا معهم برحمتك ي أرحم الرحمين.
اللهم إنا نسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدا من خلقك أو استأثرته في علم الغيب عندك أن تجعل القرآن ربيع قلوبنا و نور صدورنا و جلاء أحزاننا و ذهاب همومنا و غمومنا
اللهم اغفر للمسلمين و المسلمات و المؤمين و المؤمنات الأحياء منهم و الأموات.
اللهم أعز الإسلام و المسلمين و أهلك الكفرة و المشركين و دمر أعداءك أعداء الدين
اللهم أصلح لنا ديننا الذي هو عصمة أمرنا، و أصلح لنا دنيانا التي فيها معاشنا و أصلح لنا آخرتنا التي إليها معادنا و اجعل اللهم حياتنا زيادة لنا في كل خير و اجعل الموت راحة لنا من كل شر
اللهم أعنا على ذكرك و شكرك و حسن عبادتك
اللهم إنا نسألك الهدى و التقى و العفاف و الغنى و حسن الخاتمة
اللهم اغفر لنا و اوالدينا و ارحمهم كما ربونا صغارا
ربنا هب لنا من أزواجنا و ذرياتنا قرة أعين و احعلنا للمتقين إماما
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا و هب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
ربنا آتنا في الدنيا حسنة و في الآخرة حسنة و قنا عذاب النار
عباد الله إن الله يأمركم بالعدل و الإحسان و إيتاء ذى القربى و ينهى عن الفحشاء و المنكر و البغي يعظكم لعلكم تذكرون فاذكروا الله العظيم يذكركم و اسألوه من فضله يعطكم و لذكر الله أكبر و الله يعلم ما تصنعون.