Khamr, diantara Hukum Allah dan Hukum Manusia

0

Khamr dan jenis-jenisnya

Khamr menurut bahasa berarti “penutup”, asal dari kata khamra yang artinya “menutupi” yang bermaksud bahwa khamr bisa menutupi akal fikiran dari mengetahui keadaan yang benar.

Dalam hadits shahih Muslim meriwayatkan: Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Setiap yang memabukkan itu (dinamakan) khamr, dan setiap yang memabukkan itu (hukumnya) haram.”

Dengan demikian bahan-bahan yang bisa merusak akal baik padat maupun cair, seperti zaman sekarang ini ada yang namanya : alkohol, ganja, morfin, heroin dan pil-pil semacam pil rohypnol, magadon, dumoli, sedatin juga termasuk bahan-bahan yang bisa menutup atau merusak akal. Dengan demikian, maka semuanya itu termasuk jenis khamr.

Hukum Khamr

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Terjemahan Qur’an surah al-Maidah 90)

Perintah untuk menjauhi adalah salah satu dalil paling kuat tentang haramnya sesuatu. Di samping itu, pengharaman khamr sebagaimana disebutkan ayat di atas disejajarkan dengan pengharaman berhala-berhala, yakni tuhan-tuhan orang kafir dan patung-patung mereka. Karena itu tidak ada alasan bagi orang yang mengatakan, ayat al-Qur’an tidak mengatakan, meminum khamr itu haram, tetapi hanya mengatakan, jauhilah!!

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang ancaman bagi peminum khamr,

“Sesungguhnya Allah memiliki janji untuk orang-orang yang meminum minuman keras, akan memberinya minum dari thinatul khabal.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah thinatul khabal itu?” Beliau menjawab, “Cairan kotor (yang keluar dari tubuh) penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan, “Barang siapa meninggal sebagai peminum khamr, ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan seperti penyembah berhala.” (HR. At-Thabrani)

Hikmah diharamkannya Khamr
Salah satu tujuan daripada syariat adalah menjaga akal. Akal adalah organ mulia anugerah Allah untuk mengontrol gerak gerik anggota tubuh kita agar menjadi manusia yang mulia.

Selain khamr bisa menutup dan menghilang akal, khamr juga berpengaruh terhadap banyak hal, seperti

1. Khamr merusak kesehatan.
Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya , “Bahwasanya khamr itu bukan obat tetapi adalah sebagai pembawa penyakit.”

Mengikut kajian ilmiah bahwa khamr menjadi sebab datangnya bermacam-macam penyakit seperti sakit perut, hilang selera makan, perjalanan darah tidak teratur, sakit paru-paru, lemah syahwat, sesak nafas, kecacatan pada kandungan, mandul dan sebagainya.

2. Khamr adalah puncak kejahatan.

Islam memandang khamr (miras) sebagai ummul khabaa-its (sumber segala perbuatan keji) dan miftahu kulli syarrin (kunci segala kemaksiatan). apabila akal sudah tertutup oleh pengaruh khamr (miras), dipastikan seseorang bertindak di luar kontrol yang berujung pada segala macam kemaksiatan lainnya misalnya sex bebas, pemerkosaan, perkelahian, pembunuhan, dll.

3. Khamr menyebabkan permusuhan

Ini dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya Surat Al–Maidah ayat 91 (yang artinya) : “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi…”
Apabila seorang itu mabuk maka akalnya tidak dapat menghalang dirinya dari mengeluarkan kata-kata atau perbuatan yang menyakiti orang lain. Sehingga bisa terjadi pergaduhan, permusuhan, dan pembunuhan.

4. Menghabiskan harta.

Jika seorang itu asyik minum khamr yang menjadi puncak kejahatan maka dia kemungkinan besar akan melakukan kejahatan-kejahatan yang lain seperti berjudi, berfoya-foya, pergi ke tempat-tempat maksiat dengan menghabiskan uang dan harta.

Antara Hukum Allah dan Hukum Manusia

Telah menjadi watak dan karakter kita sebagai manusia, bahwa tidak semua hukum dan perintah Allah bisa kita terima dan sesuai dengan selera kita. Namun, bukan berarti, ketika hukum tersebut tidak sesuai dengan selera, kemudian kita boleh menolaknya. Ketetapan Allah bukan untuk menyusahkan kita atau merepotkan kehidupan kita. Allah berfirman (yang artinya),

“Bisa jadi, kalian membenci sesuatu sementara itu baik bagi kalian, dan bisa jadi, kalian mencintai sesuatu sementara itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

Ayat di atas Allah akhiri dengan firman-Nya (yang artinya),

“Allah mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui.” Di antara rahasia di balik penyebutan keterangan di atas oleh Allah, setelah Dia menyatakan bahwa hukum-Nya terkadang tidak sesuai dengan selera manusia, adalah untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah lebih mengetahui hal yang terbaik untuk kita daripada diri kita sendiri. Allah lebih mengetahui tentang kebutuhan hidup kita daripada kita sendiri. Karena itu, yang dijadikan tolak ukur baik dan buruk dalam kehidupan manusia bukanlah kecenderungan dan selera hati manusia. Namun, yang menjadi tolak ukur adalah pilihan Allah Ta’ala. (Ibnul Qayyim, Al-Fawaid, 91.)

Allah berfirman (yang artinya),

“Demi Rabmu (Allah), mereka belum beriman, sampai mereka menjadikan dirimu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus perkara) dalam setiap perselisihan di antara mereka, sementara mereka tidak mendapatkan adanya kesempitan dalam hati mereka terhadap hal yang engkau putuskan, dan menerima dengan pasrah.” (QS. An-Nisa’:65)

Ibnul Qayyim menjelaskan, “Menerima keputusan agama adalah suatu kewajiban, dan sikap ini merupakan landasan islam dan pondasi keimanan seseorang. Karena itu, setiap hamba wajib untuk rela terhadap hukum islam, tanpa diiringi kesempitan hati, sikap skeptis, mempertentangkannya dengan hal yang lain, atau menolaknya …. Dalam ayat di atas, Allah bersumpah atas nama diri-Nya, bahwa manusia belum dianggap beriman sampai memenuhi tiga syarat:
1. Dia menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim, dengan mengembalikan semua permasalahan kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Tidak ada rasa berat dalam menerima hukum tersebut.
3. Pasrah sepenuh hati .” (Madarij As-Salikin, 2:192)

Meniru kepasrahan para sahabat
Disebutkan dalam riwayat Ahmad bahwa terkait dengan pelarangan khamr, Allah menurunkan tiga tahapan peringatan. Pada tahap awal, Allah jelaskan bahwa khamr memiliki dampak negatif (dosa) dan dampak positif (manfaat ekonomi). Tahap kedua, Allah melarang para sahabat untuk shalat dalam keadaan mabuk. Adapun pada tahap ketiga, Allah melarang khamr secara keseluruhan, dengan turunnya firman Allah di surat Al-Maidah ayat 90.

Satu sikap yang sangat mengherankan; ketika turun ayat pelarangan khamr, para sahabat secara serentak menumpahkan khamr-khamr yang mereka simpan di gudang. Sampai-sampai, jalanan kota Madinah becek dengan khamr, saking banyaknya khamr yang dibuang. Padahal, sebelumnya, khamr Madinah yang berbahan baku air kurma ini telah menjadi komoditas perdagangan masyarakat Madinah. Di saat yang sama, mereka menyatakan,

“Kami tidak akan melakukannya lagi, ya Allah ….” (HR. Ahmad)

Andaikan peristiwa itu terjadi pada masyarakat kita saat ini. Malah, bisa jadi, akan banyak pihak yang menolaknya. Mereka membawakan berbagai macam alasan agar bisa menunda keputusan pelarangan khamr. Lebih-lebih, ketika pelarangan ini bertabrakan dengan kepentingan perekonomian negara: bisa menutup banyak lapangan pekerjaan karena semua produsen khamr harus gulung tikar, menutup perusahaannya. Hukum ini, bisa jadi, dianggap tidak memberikan solusi, namun justru menimbulkan permasalahan baru bagi kehidupan masyarakat.

Dan itulah yang memang kita bisa lihat. Berapa banyak kaum muslimin yang masih menjadikan minuman keras sebagai konsumsi yang biasa baginya. Malahan beberapa pemerintah daerah menjadikan retribusi penjualan Miras sebagai PAD (Pendapatan Asli Daerah). Alih-alih untuk menekan penjualan miras, solusi bagi mereka adalah dengan menaikkan retribusi miras sehingga nantinya miras hanya dijual oleh kalangan tertentu saja. Padahal miras yang beredar di masyarakat bukan hanya yang bermerk tapi juga minuman keras lokal.

Bagaimana bisa negeri ini mendapat berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala jika dibangun dari uang haram? Dengan memberlakukan retribusi maka secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa minuman keras itu halal asal pajaknya telah dibayar. Padahal Allah Azza wa Jalla dengan tegas berfirman (yang artinya):

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al-Ahzab : 36)

Jika memang pemerintah menyayangi rakyatnya dan betul-betul serius untuk memberantas sumber penyakit masyarakat ini maka sudah seharusnya menutup rapat peredaran miras mulai dari produsen hingga distributornya. Jika minuman itu diimpor maka jalur pengimporan harus diblokir sebagaimana aturan terhadap narkotika. Sembari itu memberikan penyadaran kepada masyarakat dengan melibatkan tokoh-tokoh, LSM ataupun ormas-ormas Islam.

Wallahu a’lam.

Disusun dari berbagai sumber.

Share.

Leave A Reply