Ketetapan-Ketetapan Syariat Dalam Mempersatukan Barisan Pengikut Salaf (6-terakhir)
6. Melatih diri sekuat mungkin untuk tetap inshaf (berlaku adil) terhadap mereka yang berbeda pendapat.
Banyak sekali dalil yang mewajibkan berlaku inshaf. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8)
Pada ayat sebelumnya, Allah berfirman:
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)
Juga firman Allah:
( وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُواْ )
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil.” (QS. al-An’am: 152)
Allah juga berfirman:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. al-Nahl: 90)
Lihatlah bagaimana Allah menyuruh berlaku adil, namun tidak cukup sampai di situ, Allah kemudian memerintahkan berbuat ihsan (kebajikan), dan tidak cukup dengan ihsan secara mutlak, Allah kemudian merincinya dengan menyuruh memberi kepada kaum kerabat, dan masih belum cukup hingga Allah menekankan agar kita meninggalkan perbuatan serta perkataan keji dan mungkar.
Sudah sepantasnyalah seorang salafi meniru manhaj Salafnya (pendahulunya) dalam hal ini. Generasi awal umat ini telah mengukirkan lembaran-lembaran sejarah yang cerah, walaupun terjadi beberapa fitnah di antara mereka.
Muhammad bin Sirin berkata: “Seorang pria berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: ‘Ceritakanlah kepadaku tentang Quraisy.’ Maka Ali menjawab: ‘Yang paling teguh cita-citanya di antara kami adalah saudara kami Bani Umayyah.”(26) Renungkanlah ungkapan ini dengan apa yang terjadi antara mereka.
Dari Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain dari ayahnya, ia berkata: “Disebutkan di majlis Ali tentang Perang Shiffin (atau Perang Jamal), maka kami menyebutkan ‘kekufuran’. Maka dia berkata: ‘Janganlah berkata seperti itu, sebab mereka kira kita zalim kepada mereka, dan kita kira merekalah yang zalim kepada kita. Karena itulah kita perangi mereka.”(27)
Begitupula sebaliknya. Ketika kabar wafatnya Ali sampai kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Alangkah banyaknya ilmu yang hilang dari umat, juga kebaikan, kemuliaan, dan fiqih.” Istrinya berkata: “Bukankah kemarin kau memeranginya dan sekarang kau beristirja’ (mengucapkan Inna lillahi . . . )?” Maka Mu’awiyah menjawab: “Celaka kamu, kamu tidak sadar berapa besarnya kita kehilangan ilmu, kemuliaan, dan keutamaannya.” (28) Dan tak jarang Mu’awiyah meminta fatwa dari Ali, sedang mereka berselisih.(29)
Dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, ia berkata: “Kami sampai ke majlis Ali radhiyallahu ‘anhu dan beliau berbicara tentang Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata: ‘Ia adalah kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Dzahabi berkata: “Hadits ini hasan, Mush’ab adalah orang shaleh, tidak ada masalah dengannya. Inilah yang beliau ucapkan terhadap Ummul Mukminin, walaupun terjadi sesuatu antara mereka berdua.”(30)
Seorang lelaki berbicara jelek tentang Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu di hadapan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka Aisyah berkata: “Adapun Ammar, maka saya telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Tidaklah ia disuruh memilih antara dua perkara, kecuali ia memilih yang terbaik.”(31)
Maka hendaklah kita mencontoh keteladanan kaum Salaf dalam sikap inshaf mereka terhadap saudara yang berselisih dengannya, walaupun sampai pada taraf peperangan. Sikap ini kemudian mewariskan buah yang baik bagi generasi selanjutnya. Pengakuan sahabat akan kemulian sahabat lainnya, mewajibkan generasi Ahlus Sunnah selanjutnya untuk tidak terjerumus dalam perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, dan harus tetap mengakui kemulian mereka.
Inshaf juga berarti berusaha mencarikan alasan agar kesalahan saudara kita dari Ahlus Sunnah dapat ditolerir. Pada taraf ini setan sangat berperan dalam mengaburkan kebenaran, sehingga seseorang menganggap bahwa perseteruannya dengan sahabatnya adalah bagian dari tuntunan syariat, dan bahwa ia melakukannya hanya karena Allah.
Adapun sahabatnya, dalam anggapannya, sangat jauh dari kebenaran dan sikapnya tidak memiliki peluang ta’wil yang diperbolehkan, oleh seorang alim pun; dan bahwa kebenaran yang ia yakini tidak samar kecuali bagi orang yang berwawasan sempit.
Kemudian setan mendorong seseorang agar dengan mudahnya memvonis saudaranya jatuh dalam dosa yang membatalkan keislaman, seperti menuduhnya sebagai kaki tangan orang kafir, khawarij, dan zalim. Akhirnya menyalalah api permusuhan dan bertambah besarlah perselisihan antara saudara seagama.
Bahkan tak sedikit dari mereka yang menipu dirinya, dan berharap bahwa ia bertindak benar-benar sesuai dengan syariat, dan terkadang niat orang yang lemah imannya dirasuki tujuan-tujuan sampingan lainnya.
Tidak jauh kemungkinan sebagian dari tokoh-tokoh mulia ikut terjerumus dalam penyimpangan ini, dan sejarah telah membuktikannya. Akhirnya tertumpahlah darah yang suci, hancurlah harta berharga, lemahlah negara, dan hampir saja kekuatan kaum Mulimin sirna. Dan fitnah ini jarang disadari oleh para ilmuan kecuali setelah terjadi, dan apa yang telah tertulis dalam takdir menjadi nyata, agar Allah melakukan urusan yang Dia tetapkan.
Penutup
Pembahasan ini cukup menarik, namun kesempatan terbatas. Saya telah membidik dakwah Salafiyah dengan panah harapan seraya menanti apa yang akan terjadi padanya, sejak masa generasi awal melewati generasi berikutnya, dan demikianlah seterusnya.
Tetapi para pengusung dakwah ini akan selalu konsisten, dan dakwah Salafiyah insya Allah akan tetap kokoh. Akan senantiasa ada sekelompok dari umat ini yang tegak di atas kebenaran, tidak dapat membahayakan mereka orang yang menghina, tidak pula yang menyelisihi mereka. Sekelompok orang tersebut di zaman ini telah terbagi-bagi dalam berbagai kelompok, jama’ah, dan yayasan. Lalu di antara mereka ada yang menganiaya dirinya sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Maka hendaklah para cendikiawan dan ulama dari mereka gigih berusaha menyatukan barisan, agar perjuangan kaum Salaf dapat menggapai cita-cita yang diidam-idamkan, dan umat ini bangkit dalam berbagai aspek kehidupan. Apalagi di zaman ini, umat sangat membutuhkan sumbangsih mereka semua.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (31
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (32
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. al-Rum: 31-32)
Barangsiapa mengagungkan sesesorang, siapa pun dia, kemudian mencintai dan membenci yang lain demi mengikutinya, dalam kata-kata dan perbuatan, maka ia termasuk dalam golongan “orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.”(32)
Wallahu a’lam.
_______________
(26) Diriwayatkan oleh Ma’mar dalam al-Jami’, Juz XI, hal. 56; dan darinya oleh Abdul Razzaq, Juz V, hal. 451, dengan sanad shahih.
(27) Riwayat Ibn ‘Asakir, Juz I, hal. 343, dan selainnya dengan sanad shahih.
(28) Diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Duniya, Bab Maqtal Ali, no. 106, dan dalam Hilm Mu’awiyah, no. 19; al-Saqthi, Fadha’il Mu’awiyah, no. 29; Ibn ‘Asakir, Juz 59, hal 142, dari Jarir bin Abdul Hamid, dari Mughirah bin Miqsam, dan sanadnya shahih. Dan ia meriwayatkan dari sekelompok tsiqat dari sahabat Mu’awiyah dan Ali radhiyallahu ‘anhuma.
(29) Imam al-Syafi’i, al-Umm, Juz VI, hal. 30 dan 137; Abdul Razzaq, Juz IX, hal. 433; Ibn Abi Syaibah, Juz IX, hal. 402, Sa’id bin Manshur, Juz I, hal. 40, al-Khaththabi, al-Gharib, Juz II, hal. 199, Hilm Mu’awiyah, no. 27; al-Kalabadzi, Bahr al-Fawa’id, Juz I, hal. 466 (disertasi doktor), Ibnu Asakir, Juz XLII, hal. 415.
(30) Siyar A’lam al-Nubala’, biodata Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, Juz II, hal 177.
(31) Ringkasan dari atsar. Lihat: al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, Juz II, hal. 489, no. 835.
(32) Al-Fatawa, Juz XX, hal. 8.
[albayan.co.uk/alinshof.com]