Ketetapan-Ketetapan Syariat Dalam Mempersatukan Barisan Pengikut Salaf (5)
5. Mendahulukan sisi positif dari seorang alim yang tersalah atau khilaf.
Seorang alim bisa dimaafkan pada kondisi dimana orang lain tidak bisa dimaafkan. “Barangsiapa menjadikan kekeliruan tsiqat (ulama yang terpercaya) sebagai alat tajrih (kritikan negatif) dan penolakan, maka ia telah berbuat salah.”(16)
Syaikh Al-Islam juga telah menegaskan: “Siapa saja yang mengikuti hawa nafsu dan prasangkanya, kemudian memaki seorang alim karena kesalahan dalam ijtihad yang ia anggap benar, maka orang tersebut telah terjebak dalam bid’ah yang menyalahi Sunnah. Karena ia juga akan mendapat balasan serupa, atau lebih besar, atau mungkin lebih kecil dari orang-orang yang memuliakan sang alim tersebut. Dan sungguh sedikit ulama yang terlepas dari kesalahan dalam berijtihad, khususnya mereka yang datang kemudian. Hal ini disebabkan banyaknya syubhat dan kekacauan, jauhnya manusia dari cahaya kenabian dan sinar risalah yang dengannyalah kita memperoleh petunjuk serta kebenaran, dan dapat menghilangkan segala bimbang dan keraguan dari hati.”(17)
Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maafkanlah kekhilafan orang-orang shaleh.”(18). Sebagian ulama menilai shahih Hadits ini.(19)
Al-Thahawi berkata: “Mereka adalah orang-orang saleh, bukan yang lainnya. Dan kekhilafan mereka tidak mengeluarkan mereka dari kehormatan dan harga diri yang merupakan inti dari keshalehan mereka.”(20)
Ibnu Al-Qayyim berkata: “Saya mendengar Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Begitu pula Musa yang menampar mata Malaikat Maut sampai pecah dan Rabb-nya tidak menegurnya. Pada malam peristiwa Isra’, Musa menyinggung Rabb-nya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengangkat tinggi suaranya, dan Allah Azza wa Jalla tidak menyalahkannya atas tindakan ini. Sebab Musa alaihis salam telah berhasil mengukir prestasi-prestasi besar yang membuat beliau agak manja. Beliaulah yang telah melawan Fir’aun, musuh terbesar bagi Allah di muka bumi. Beliau menghadapinya, begitu pula kaumnya. Beliau juga sudah berusaha keras membimbing Bani Isra’il, berjihad menghadapi musuh-musuh Allah dengan jihad yang besar, dan beliau sangat marah kepada mereka yang menentang Allah. Maka kekhilafan beliau dapat ditolerir dalam kondisi ini.
‘Adapun Dzun Nun (Nabi Yunus ‘alaihis salam) yang belum mencapai posisi ini, telah dipenjarakan di perut ikan hanya karena sebuah kemarahan, dan Allah telah menetapkan ketentuan bagi segala sesuatu.(21)
‘Walaupun demikian, Allah juga telah memuliakan Nabi Yunus ‘alaihis salam dan memperlakukannya dengan istimewa. Allah mengurungnya di perut ikan sebagai karamah baginya dan balasan kebaikannya. Allah Ta’ala berfirman:
( فَلَوْلا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ (143) لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (144) )
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” ( QS. al-Shaffat: 143-144)
“Ibnu Taimiyah juga menulis: ‘Di antara kaidah syari’at yang utama adalah jika sesorang memiliki kebaikan yang banyak dan besar, dan ia memiliki peran penting dalam Islam, maka ia dapat ditolerir. Sedangkan orang lain tidak, kesalahannya dapat dimaafkan sedang yang lainnya tidak. Sesungguhnya maksiat adalah khabats (kotoran), dan air jika sampai dua qullah (tempayan besar) tidak akan terpengaruh dengan kotoran. Adapun air yang sedikit akan berubah walaupun dengan sedikit kotoran.
‘Senada dengan hal ini sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Umar radhiyallahu ‘anhu: ‘Wahai Umar, tahukah kamu, padahal Allah telah melihat amalan Ahli Badar dan berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya kalian telah Aku ampuni.’(22) Inilah yang menghalangi Rasulullah dari membunuh orang yang telah memata-matai kaum Muslimin dan melakukan kesalahan besar. Beliau memberitahu bahwa orang tersebut adalah Ahli Badar. Jadi, sebenarnya ia berhak mendapat sanksi, tapi sanksi itu tidak dijatuhkan karena ia memiliki keutamaan besar. Maka kesalahan ini dimaafkan karena adanya prestasi besar yang ia miliki.
‘Ketika Rasulullah mendorong kaum Muslimin untuk bersedekah, maka Utsman bin Affan menyerahkan sedekah yang sangat banyak. Maka Rasulullah bersabda: ‘Tidak akan ada yang membahayakan Utsman setelah apa yang ia lakukan hari ini.’(23)
‘Pada Perang Uhud Rasulullah ingin menaiki sebongkah batu besar agar dapat melihat orang-orang kafir, namun beliau tidak sampai. Maka Thalhah duduk agar Rasulullah naik di pundaknya dan dapat mencapai batu tersebut, maka Rasulullah pun bersabda: ‘Thalhah pasti mendapatkan surga.’(24)
Dalam kesempatan lain, Musa kalimullah mencampakkan alwah (lembaran-lembaran Taurat) ke tanah sampai terpecah belah. Ia juga menjambak rambut saudaranya, Harun. Begitu pula pada malam peristiwa Isra’, ia berkata: ‘Seorang pemuda (Nabi Muhammad) datang setelahku dan umatnya lebih banyak yang masuk surga dari umatku.’ Dan beliau adalah seorang nabiullah, tapi semua ini tidak mengurangi kedudukannya di sisi Rabb-nya. Allah tetap memuliakan dan menyayanginya. Perjuangan Musa ‘alaihis salam, jihadnya melawan musuh, dan tingginya kesabaran beliau tidak ternodai dengan kekhilafan seperti di atas.
Mayoritas manusia menyadari hakikat ini dan fitrah mereka mendukungnya. Bahwa seseorang yang memiliki seribu kebaikan akan ditolerir jika jatuh dalam satu atau dua kekhilafan. Sehingga penyeru sanksi atas kesalahan beradu dengan penyeru syukur dan terima kasih atas kebaikannya. Maka penyeru terimakasih dapat mengalahkan penyeru sanksi.
Seorang penyair berkata:
Andai sang kekasih datang dengan satu kesalahan
Maka kebaikannya kan tiba dengan seribu pembela
Yang lainnya berkata:
Jika perbuatannya membawa satu kekecewaan
Maka perbuatannya yang membuat bahagia amatlah banyak kiranya
Dan pada hari kiamat, Allah Ta’ala akan menimbang amal baik dan amal buruk hamba. Mana yang lebih banyak, itulah penentu. Maka Allah akan menyelamatkan orang yang memiliki kebaikan lebih banyak, yang lebih mengutamakan cinta kepada Allah dan ridha-Nya, dan pembawaan jiwa mereka membuat mereka suka memaafkan; yang tidak dimiliki oleh orang lain.”(25)
_______________
(16) Lihat: Sub Bab Khata’ al-Tsiqat wa Kaunihi laa Yaslam minhu al-Basyar, dalam al-Adab al-Syar’iyah, Juz II, hal. 145.
(17) Dar’u al-Ta’arudh, Juz I, hal. 283.
(18) HR. Abu Dawud, no. 4375; al-Nasa’i, no. 7253, Ibn Hibban, no. 94, dll.
(19) Seperti Syaikh al-Albani, al-Arna’uth, dan yang lainnya.
(20) Bayan Musykil al-Atsar, Juz VI, hal 51.
(21) Madarij al-Salikin, Juz II, hal 456.
(22) Shahih al-Bukhari, no. 3007; dan Shahih Muslim, no. 2494.
(23) Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dala’il al-Nubuwah, Juz V, hal. 215; juga al-Tirmidzi dengan lafaz sedikit berbeda, no. 3701. Syekh al-Albani menyatakan riwayat al-Tirmidzi hasan. Lihat: Misykat al-Mashabih, no. 6018.
(24) HR. al-Tirmidzi, no. 1692, Ibn Hibban, no. 6979, dan sebagian ulama menilainya shahih.
(25) Miftah Dar al-Sa’adah, Juz I, hal 176.
[albayan.co.uk/alinshof.com]