Segala puji bagi Allah Yang telah menyatukan hati kaum terdahulu setelah perpecahan, mengumpulkan mereka dalam kebersamaan setelah sekian lama larut dalam perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfal: 63)
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas Nabi pembawa hidayah, yang dengannya Allah menyelamatkan umat ini dari lembah kehinaan; atas keluarga, sahabat beliau, dan siapa saja yang mengikuti mereka pada masa-masa selanjutnya.
Al-’Allamah al-Wazir Abu Yahya bin ‘Ashim mengarang sebuah kitab yang dia beri judul: “Jannah al-Ridha fii al-Taslim li Maa Qaddarallahu wa Qadha.” Buku ini ditulis setelah melihat kondisi kaum Muslimin di negeri Andalus mulai bergolak dan persaudaraan antara mereka kian rapuh.
Di dalam kitabnya, dia berkata: “Siapa saja membaca sejarah yang tertulis dan kisah-kisah para raja yang diriwayatkan, dia akan tahu bahwa kaum Nasrani, yang mudah-mudahan Allah menghancurkan mereka, tidak pernah mampu membalas dendam terhadap kaum Muslimin. Tidak bisa mengangkat aib dari diri mereka, dan tidak pula mampu menghancurkan pemukiman, bahkan tak bisa menguasai satu pun dari negeri kaum Muslimin. Kecuali setelah mereka berhasil menanamkan bibit perpecahan dan usaha keras mereka dalam menyebarkan perselisihan, melancarkan berbagai macam makar dan tipu daya terhadap raja-raja kepulauan, serta menjerumuskan mereka ke dalam fitnah yang menenggelamkan. Dan bilamana kaum Muslimin bersatu, mereka mempunyai cita-cita yang sama, sedang para ulama bersatu hati mendekatkan diri kepada Allah, maka pada saat itu perang akan menjadi seru lagi menjanjikan. Orang-orang akan berlomba-lomba berperang di jalan Allah, dan terbuka lebarlah kesempatan untuk mempertahankan negeri dan kehormatan, dengan direncanakan sebelumnya ataupun tanpa terencana.”(1)
Sungguh ungkapan beliau sangat tepat. Telitilah sejarah, maka Saudara akan paham, dan peristiwa-peristiwa kontemporer telah menjadi saksi. Sedang firman Allah ‘Azza wa Jalla lebih benar adanya:
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)
Kemenangan serta kekuasaan raja-raja Andalus dan ‘Udwah (2) atas kaum Nasrani sudah bukan rahasia lagi. Hingga kaum Muslimin menjadi lemah dan takut, maka keadaan pun berbalik. Yang sangat mengherankan adalah bahwa semua orang sadar akan dampak buruk dari perselisihan dan perpecahan. Tapi amat sedikit dari orang-orang mulia, sepanjang sejarah, yang dapat selamat darinya. Semua peristiwa ini mengajarkan kita agar selalu kembali kepada Allah, memohon kepada-Nya agar memberi petunjuk, dan menyelamatkan serta melindungi kita dari berbagai fitnah dan cobaan.Jika saja orang-orang pilihan dari para pengikut pendahulu yang mulia saja terkena duka perpecahan, maka tentu duka tersebut lebih dalam jika perpecahan terjadi antara mereka dengan orang-orang biasa. Inilah titik kelemahan yang ditakutkan atas kaum Muslimin. Dan bagaimanapun, musuh-musuh mereka tidak akan mendapatkan senjata ampuh selainnya.Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bahwasannya Rabb-ku berfirman: ‘Hai Muhammad, jika Aku telah menetapkan suatu perkara, maka ketetapan itu tak akan bisa berubah, dan sesungguhnya Aku telah memberikan kepadamu bagi umatmu untuk tidak dibinasakan dengan sebab paceklik yang berkepanjangan, dan tidak akan dikuasai oleh musuh selain dari kaum mereka sendiri, maka musuh itu tidak akan bisa merampas seluruh negeri mereka, meskipun manusia yang ada di jagat raya ini berkumpul menghadapi mereka, sampai umatmu itu sendiri sebagiannya menghancurkan sebagian yang lain, dan sebagian meraka menawan sebagian yang lain.”( 3)
Dan akibat pasti dari perpecahan adalah kegagalan dan perselisihan. Orang-orang berakal benar-benar sadar penuh akan keniscayaan ini. Oleh sebab itulah, Allah menghukumi orang-orang yang hatinya berselisih sebagai orang-orang yang tidak berakal. Allah berfirman:
( تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ )
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (QS. al-Hasyr: 14)
Seluruh kaum Muslimin telah sepakat atas wajibnya menegakkan syariat Allah, begitu pula wajibnya persatuan dalam memegang teguh Kitabullah dan mengajak manusia kepadanya. Apalagi di saat terjadinya kekacauan dan fitnah yang menyerang segenap negeri kaum Muslimin. Dan tiada yang tahu apa yang terjadi akhirnya. Apapun itu, yang terpenting adalah menjaga persatuan Ahlus Sunnah, para pengikut Salaf umat ini.Ada beberapa ketetapan syariat yang sangat penting demi mencapai tujuan mulia ini. Sebelumnya, Saudara, yang mudah-mudahan Allah menjagamu, harus pahami bahwa yang dimaksud dengan “jama’ah” adalah Ahlus Sunnah. Dan uraian ini ditujukan kepada mereka, para pengikut Salaf yang selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, yang memuliakan para ulama dari golongan mana saja mereka berasal. Saya menekankan perkara ini karena pembahasan tentang mereka yang menyelisihi Kitabullah dan selalu memperdebatkannya, dan bagaimana cara bergaul dengan mereka perlu penjelasan yang bukan di sini tempatnya.Di antara ketetapan-ketetapan syariat yang dengan mengamalkannya dapat mempererat persatuan Ahlus Sunnah, adalah sebagai berikut:1. Menyerahkan urusan orang awam dalam masalah khilafiyah kepada ulama-ulama yang dalam ilmunya, yang mana dengan taqlid kepada para ulama tersebut, terlepaslah tanggungan mereka.Jangan menyibukkan orang awam dengan ulama yang kapasitas keilmuannya lebih rendah, atau membenturkan mereka dalam perbedaan fatwa-fatwa ulama yang sezaman. Karena perbedaan pendapat dalam masalah kontemporer adalah hal yang lumrah, disebabkan adanya perbedaan pemahaman, sudut pandang, kapasitas kemampuan identifikasi dan memahami suatu masalah, atau perbedaan tingkat penguasaan ilmu syariat dan dasar-dasar hukum. Semua perbedaan ini pada hakikatnya tidak akan sampai menyebabkan rapuhnya ukhuwah (persaudaraan) antara sesama Ahlus Sunnah, bila semuanya tunduk kepada perintah Allah.Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kaum Mukminin untuk mengembalikan penentuan hukum semua masalah yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Allah menjelaskan bahwa hukum dari sebagian peristiwa yang terjadi masih samar, kecuali bagi sebagian ulil amri (tokoh-tokoh pemimpin) dari para ulama tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلاً
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. al-Nisa’: 83)
Allah mengkhususkan pengetahuan tersebut bagi ulil amri dari para ulama, dan mewajibkan kaum awam untuk mengembalikan keputusan suatu permasalahan kepada mereka. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
( فأسْأَلوُا أَهْل الذِكرْ إنْ كُنتمْ لا تَعْلَموُن )
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Nahl: 43; dan al-Anbiya’: 7)
Bahkan Allah dari awal telah memerintahkan para ulama untuk menjelaskan kebenaran dan mengancam siapa saja yang menyembunyikannya. Firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ . إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Alkitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati (159). Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah: 159-160)
Allah Azza wa Jalla tidaklah memerintahkan para ulama menjelaskan kebenaran kecuali untuk diikuti, dan tidaklah mengancam mereka yang menyembunyikannya kecuali karena beratnya sanksi dari perbuatan tersebut. Orang yang beruntung adalah orang yang mengembalikan perkara-perkara penting kepada para ahlinya, dan orang yang mendapat taufik adalah yang bermusyawarah bersama mereka dan memperlihatkan hasil penelitiannya kepada mereka. Dalam pribahasa lama diungkapkan: “Fatwa seorang alim lebih utama daripada kesaksian seorang pemuda, barangsiapa mengandalkan pendapatnya sendiri maka ia akan jatuh dalam bahaya.”Adapun pendapat sepihak tidaklah pantas bagi ulama, dan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang awam, dan sombong atas ilmu yang dimiliki adalah kebiasaan orang-orang yang disesatkan Allah dengan ilmunya. Mereka mengira mereka menjadi manusia paling mulia dengan ilmu tersebut, dan bahwa tidak seorang pun yang diberikan seperti ilmu yang ada pada mereka, kemudian mereka terlampau bangga dengan ilmu yang walaupun bukan ilmu batil, tapi dia tidak akan dapat menyelamatkan mereka dari murka Allah:
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-sasul (yang dulu diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (QS. al-Mukmin: 83)
Maka sudah sepantasnya bagimu wahai saudaraku, untuk selalu mencintai para ulama, husnu zhan kepada mereka, dan selalulah kembalikan urusanmu kepada mereka, apalagi perkara-perkara yang rentan menyebabkan perpecahan.Kapan saja kaum Muslimin mengabaikan perintah Allah untuk mengembalikan urusan agama kepada para ulama rasikhin (yang dalam ilmunya), maka persatuan mereka akan terpecah, perjuangan mereka sia-sia, dan harapan mereka pun sirna. Perpecahan adalah sebab utama melemahnya kekuatan ahlul haq, dan inilah sunnatullah terhadap makhluk-Nya.Bila terjadi perbedaan persepsi setelah proses pengkajian dan penelitian, maka sudah sepatutnya kaum Muslimin menyerahkannya kepada ulama rasikhin untuk memberikan solusi terakhir. Kemudian menerima keputusan mereka dengan penuh ridha. Karena inilah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan jangan sekali-kali bergantung pada ulama yang tidak mumpuni.Tidaklah cukup embel-embel ‘salafi’ sebagai penjamin seseorang termasuk dalam golongan thullabul ilmi (penuntut ilmu), atau masyaikh (ulama senior), apalagi golongan ulama mujtahid yang memiliki kedudukan tinggi di tengah-tengah umat dan dengan taqlid kepada mereka tanggung jawab agama individu terlepas. Walaupun ia telah membaca buku yang banyak dan menghadiri berbagai majlis masyaikh. Bukankah dalam kata-kata mutiara disebutkan: “Yang merusak manusia adalah setangah ahli kalam, setengah faqih (ahli fikih), setengah ahli nahwu, dan setengah tabib. Yang pertama merusak agama, yang kedua merusak bangsa, yang ketiga merusak lisan (bahasa), dan yang terakhir merusak badan.”(4)
Lanjutan tulisan:
(1) Lihat: Abu al-Abbas l-Maqarri l-Tilmasani, Azhar al-Riyadh fii Akhbar al-Qadhi Iyadh, Juz I, hal. 50-51.
(2) Sejajar dengan Andalus dari al-Maghrib (Maroko), mencakup berbagai negara, di antaranya Sabtah, Ashilah, Rashif, ‘Udwah, Lawatah, dll.
(3) Shahih Muslim, no. 2889.
(4) Al-Raddu ‘ala al-Bakri, Juz II, hal. 730.
[albayan.co.uk/alinshof.com]