Oleh: Ustadz Aswanto Muhammad Takwi, Lc.
“Malu adalah bagian dari iman”, demikianlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika menjelaskan cabang-cabang keimanan, menggambarkan posisi sifat malu dalam Islam, bahkan ia adalah ciri khas akhlak Islam. Rasulullah bersabda:
“Setiap agama memiliki akhlak khsusus dan akhlak khas Islam adalah sifat malu” (HR. Ibnu Majah).
Malu adalah salah satu sifat yang Allah fitrahkan dalam diri setiap manusia, ia menjadi pembeda antara manusia dan hewan. Dengan sifat malu ini, manusia menjadi makhluk yang mulia dan sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Keberadaan sifat ini pada seseorang menunjukkan kebaikan pada dirinya, melindunginya dari celaan.
Hakikat sifat malu adalah dorongan untuk melakukan segala perbuatan terpuji dan meninggalkan segala perbuatan tercela, ia adalah pokok akhlak mulia yang menghiasi keimanan. Wahab bin Munabbih berkata: “Iman itu telanjang, maka pakaiannya adalah ketakwaan dan perhiasannya adalah sifat malu”, kata orang bijak: “Siapa yang mengenakan pakaian malu maka kekurangannya tidak akan terlihat oleh orang lain”.
Karena keistimewaan dan kedudukan sifat malu ini, sehingga Allah Ta’ala perintahkan manusia berakhlak dengannya, bahkan ia adalah bagian dari keimanan sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
“Sifat malu dan iman adalah dua hal yang saling bergandengan, jika salah satunya hilang maka yang lainnya pun ikut hilang” (HR. Hakim).
Sebab sifat malu adalah bagian dari keimanan, karena ia mengajak pemilik sifat ini kepada kebaikan dan menjauhkannya dari perlakuan buruk, inilah tafsiran sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
“Sifat malu akan selalu mendatangkan kebaikan” (HR. Bukhari & Muslim).
Mungkin setiap kita pernah mengalami, terkadang ada rasa keinginan untuk melakukan perbuatan buruk, namun karena rasa malu, kita urungkan niat untuk melakukannya. Maka ketahuilah, jika engkau melihat ada orang yang dengan berani melakukan perbuatan buruk di hadapan manusia, maka ini adalah bukti nyata bahwa rasa malunya kurang atau bahkan tidak tersisa lagi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Diantara warisan para nabi yang didapatkan oleh manusia adalah ungkapan: Jika engkau tidak malu maka lakukanlah apa saja yang engkau inginkan” (HR. Bukhari).
Ungkapan ini mengandung dua arti:
Pertama: ancaman dan larangan melakukan perkara buruk dan dosa, yakni: Jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu, maka silahkan perbuat sesuka hatimu, tapi ingat, Allah akan membalasnya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Lakukanlah apa yang engkau inginkan, sesungguhnya Dia (Allah) Maha melihat apa yang kalian kerjakan” (Terjemahan QS. Fushshilat:40).
Kedua: keterangan bahwa siapa saja yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan apa saja sesuka hatinya, tanpa peduli baik atau buruk, terpuji atau tercela, karena pada hakikatnya, sifat malulah yang menghalangi seseorang untuk melakukan perbuatan buruk dan dosa. Orang bijak berkata: “Ciri-ciri orang yang memiliki rasa malu adalah, ia tidak terlihat di tempat yang memalukan”.
Malu ada dua jenis, malu yang terpuji dan malu yang tercela. Malu yang terpuji adalah sebagaimana yang disebutkan di atas. Rasa malu terpuji manakala menahan seseorang untuk melakukan perbuatan buruk dan dosa, sebagaimana ia juga terpuji jika melarang seseorang untuk mengabaikan kewajibannya terhadap orang lain atau merugikan orang lain. Dengan rasa malu yang terpuji ini, ia berusaha menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk terhadap dirinya, terlebih lagi kepada orang lain. Dengannya ia tidak akan menyakiti dan mengganggu orang lain, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dan dengannya pula ia akan senantiasa menjalankan kewajiban dan amanah yang dipikulkan kepadanya dengan baik dan tidak mengabaikannya.
Adapun malu yang tercela adalah rasa malu yang menyebabkan seseorang meninggalkan perkara yang disyariatkan. Ada banyak fenomenanya dalam masyarakat kita, diantaranya:
1. Malu menuntut ilmu agama. Ada sebagian orang yang jika diajak untuk menuntut ilmu agama, baik formal maupun non formal, merasa malu, hingga akhirnya tidak belajar sama sekali. Akibatnya tersebarlah kebodohan terhadap hukum-hukum syariat dan semakin menambah deretan orang-orang awam. Lebih memilih taklid dan ikut-ikutan saja dalam menjalankan syariat. Bentuk lain dari masalah ini adalah malu bertanya ketika tidak tahu tentang suatu perkara tertentu dalam syariat, akhirnya meraba-raba dan mengikuti perasaan dan prasangka belaka. Akibatnya, terjatuh dalam kesalahan dalam pelaksanaan hukum atau ibadah. Malu dalam menuntut ilmu agama menyebabkan seseorang ketinggalan dan rela dalam kebodohan. Malu yang seperti inilah yang disebutkan oleh Ibnu Umar: “Orang yang malu tidak akan mendapatkan ilmu”.
2. Malu menjalankan dakwah dan amar makruf nahi munkar. Banyak di kalangan orang yang berilmu malu berdakwah dan amar makruf nahi munkar, atau hanya terbatas pada momen-momen resmi tertentu saja, misalnya khutbah jum’at, pengajian, proses belajar mengajar dalam ruang kelas dan kuliah, dan semisalnya. Tidak dipungkiri bahwa itu termasuk dalam aktivitas dakwah, tapi juga aktivitas dakwah yang tidak kalah pentingnya amar makruf dan nahi munkar di manapun berada, baik di rumah, di jalan, di dalam sarana transportasi umum, maupun di tempat-tempat umum. Terkadang perasaan malu menguasai seseorang hingga tidak menahan atau menegur kemunkaran yang terjadi di hadapan matanya, atau tidak mengajak kepada kebaikan, seperti mengajak melaksanakan shalat fardhu di masjid dan semisalnya. Bukankah ciri khas ummat Islam ini, hingga mendapatkan predikat ummat terbaik, disebabkan karena menjalankan amar makruf dan nahi munkar?! Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena) kalian menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran serta beriman kepada Allah” (Terjemahan QS. Ali Imran:110).
Jika tradisi amar makruf dan nahi munkar melemah dalam suatu masyarakat maka kemunkaran akan semakin tumbuh pesat dan merajalela, sementara perbuatan makruf (kebaikan) akan menjadi kabur, sehingga kemungkaran dianggap sebagai hal yang makruf dan perkara makruf dianggap sebagai kemungkaran dan asing. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disebutkan sebagai sosok orang pemalu, hingga dikatakan bahwa beliau lebih pemalu dibandingkan wanita perawan yang berdiam di dalam kamarnya, namun sifat malu beliau tidak menghalanginya untuk mengucapkan dan menyampaikan kebenaran, tidak memalingkannya dari amar makruf dan nahi mungkar, bahkan beliau sangat marah dan nampak jelas hal itu dari raut wajahnya ketika batasan-batasan Allah Ta’ala dilanggar.
Rasa malu yang tercela menyebabkan seseorang malu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar, dan itu bukanlah alasan untuk meninggalkan tugas tersebut, Allah Ta’ala akan memintai pertanggungjawaban atas kelalaian itu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengadili seorang hamba pada hari kiamat hingga Ia berkata kepadanya: Apa yang menghalangimu mengingkari suatu kemunkaran ketika engkau melihatnya? Ketika Allah telah mengajarkan hujjah-Nya kepada hamba-Nya, ia berkata: Wahai Tuhanku, aku berharap kepada-Mu dan aku takut kepada manusia” (HR. Ibnu Majah). Beliau juga bersabda: “Janganlah karena segan kepada manusia menyebabkan seseorang tidak mengucapkan kebenaran jika ia mengetahuinya” (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah).
3. Malu yang menyebabkan seorang melakukan perbuatan maksiat. Tidak jarang, akibat rasa malu menyebabkan seseorang melakukan perbuatan maksiat atau meninggalkan suatu kewajiban. Misalnya, karena perasaan malu, ia tetap melayani tamunya walaupun ia ketinggalan shalat berjamaah di masjid dan malu mengajaknya untuk shalat bersama di masjid. Atau malu mengenakan pakaian yang menutup aurat secara sempurna bagi seorang wanita muslimah. Malu yang seperti ini bukanlah malu yang terpuji, namun ia adalah malu yang menunjukkan lemahnya kepribadian seseorang. Jika rasa malu ini ada pada diri seseorang maka ketahuilah bahwa itu hanyalah bisikan-bisikan setan yang ingin menghalangi seseorang dari kebaikan atau menjerumuskannya ke dalam lembah maksiat.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa sifat malu adalah sifat fitrah manusia, setanlah yang menyebabkan fitrah ini melemah dan mungkin saja sampai sirna pada diri seseorang, utamanya malu yang diperintahkan oleh syariat.
Untuk menjaga agar malu yang syar’i tetap terjaga dan ada pada diri seseorang, maka ada beberapa hal yang patut dilakukannya, di antaranya:
1. Senantiasa komitmen menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala dan merasa diawasi oleh-Nya di manapun ia berada.
2. Komitmen menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam Kehidupan sehari-hari, baik yang bersifat ucapan maupun perbuatan.
3. Menahan pandangan dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Ta’ala.
4. Bersabar menahan diri untuk melakukan perbuatan buruk dan maksiat.
5. Membina dan membiasakan diri dan keluarga untuk menghias diri dengan sifat malu yang terpuji.
6. Berkawan dengan orang-orang yang memiliki sifat malu yang terpuji.
7. Senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala agar dianugerahkan sifat malu yang terpuji.
Semoga sifat malu menjadi penghias diri dan pribadi kita, amiin.[]
Sumber: MarkazInayah.com