Kemerdekaan Itu Ada Di sini
Merdeka adalah nikmat. Merdeka adalah keterlepasan dari berbagai belenggu. Dengan kemerdekaan banyak hal yang bisa dilakukan. Sebaliknya, jika kita terjajah dalam segala maka kita akan terkungkung dalam kehidupan. Apa yang Anda dapat perbuat jika fisik dan jiwa Anda terikat dengan jejaring belenggu?
Tapi, betulkah kita sudah merdeka? Di manakah sesungguhnya kemerdekaan itu? Al-Balagh edisi kali ini mencoba mengupasnya.
Pertama, Merdeka Dari Syirik.
Kesyirikan adalah induknya seluruh dosa. Allah ta’ala mewanti-wanti kepada para RasulNya, “Sungguh Kami telah wahyukan kepadamu dan orang-orang sebelummu bahwa jika kamu syirik maka pasti akan batal amal-amalmu…(Qs.39:65). Korupsi jelas-jelas penyakit kronis yang membangkrutkan negara, tapi syirik adalah penyakit merapuhkan pondasi jiwa ummat. Korupsi jelas merugikan Negara. Tapi syirik, memporak-porandakan seluruh amal shalih.
Kalau Anda menyimak berita di media, maka kita masih mendapati masyarakat kita terjerumus pada kesyirikan. Ketika gunung Merapi meletus salah seorang pembesar daerah setempat pergi melepas sesajian di gunung tersebut. Begitu juga ketika masyarakat Sidoarjo sudah mulai putus asa menghadapi lumpur Lapindo, masyarakat setempat menggelar acara lepas sesajen. Belum lagi merebaknya pengobatan alternatif yang sarat dengan kesyirikan. Mereka yang sudah putus asa mengahdapi maslah menahun penyakit menahun; jodoh yang tak kunjung datang; atau yang sudah sarjana belum dapat kerja, mencari jalan keluarnya dengan pergi ke paranormal (baca dukun).
Semua itu menyeret masyarakat kita terjatuh bahkan terbelenggu dengan kesyirikan. Maka hendaknya para penyeru di jalan Allah memberi perhatian khusus terhadap persoalan ini. Jika syirik ini membelenggu, secanggih dan semaju bagaimanapun peradaban sebuah masyarakat petaka akan selalu mengintai.
Kedua, Merdeka Dari Belenggu Dunia.
Dunia yang berwujud jabatan, pangkat, harta benda jelas sangat kita butuhkan dalam kehidupan ini. Apalagi jika itu semua bisa menjadi wasilah untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam kaitannya dengan ini, Rasulullah justru mendorong kita agar bersemangat mencari segala hal yang memberi manfaat. Tentu dalam batas-batas yang syar’i. Beliau bersabda:
“Lobalah Anda kepada hal yang memberi manfaat buat Anda, minta tolonglah pada Allah dan jangan lemah”
Tapi jangan lupa, dunia itu, sifat aslinya melalaikan. Allah ta’ala memuji mereka yang asyik dalam bisnisnya tapi itu tidak menghalangi mereka dari Ibadah. Allah berfirman,
“Laki-laki yang tidak tertipu oleh perdagangan dan jual beli dari berzikir kepada Allah, shalat dan menunaikan zakat…(QS. an-Nur: 37).
Tidak jarang, ada orang yang supernekat dengan menerjang larangan Allah. Untuk mendapatkan harta seseorang tidak segan-segan memubahkan segala cara guna meraih harta. Sudah jamak kita dengar seorang karyawan yang ingin meraih posisi “basah”, ia tidak segan-segan mensantet pesaingnya; seorang wanita, supaya bisa lolos menjadi Miss Univers, rela mempertontonkan auratnya di depan juri dan halayak. Atau seorang pebisnis yang merasa tersaingi bisnisnya, ia tidak ragu-ragu menyikat pesaingnya dengan cara yang licik.
Para hamba dunia itu lupa, bahwa tujuan awal mereka bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup; agar bisa makan dan minum; punya tempat berteduh yang layak; supaya anak-anak bisa sekolah. Itu adalah di antara motivasi awal seseorang itu bekerja. Tapi, begitu hasilnya mulai dinikmati banyak di antara mereka lupa daratan dan lautan.
Inilah salah bentuk belenggu dunia. Indah tapi menipu. Asyik tapi melenakan
Rasulullah bersabda dalam do’a beliau yang masyhur;
“Ya Allah, jangan Engkau jadikan dunia sebesar-besar motivasi kami, dan tidak pula iailmu kami yangpaling tinggi”.
Yang patut dicatat adalah memiliki segala kemewahan dunia tidak identik dengan keterhormatan. Sebaliknya, menjadi orang yang terhormat tidak mesti harus memiliki segalanya. Begitu pula, sejarah mencatat ada orang kaya tapi tidak tertipu dengan kekayaannya. Nabi Sulaiman, Khalifah Abu Bakr, Ibnul Mubarak adalah mereka di antaranya. Bahkan manusia yang paling mulia sesudah para Nabi dan Rasul, Abu Bakar as-Shiddiq pernah berdo’a, Ya Allah jadikanlah dunia itu di tangan-tangan kami dan bukan di hati-hati kami”.
Ketiga, Merdeka Dari Belenggu Manusia.
Hidup ini adalah interaksi dengan orang-orang di sekitar kita. Sulit kita bayangkan jika Anda hidup sebatangkara di tengah hutan belantara. Itulah sebabnya, kita sangat butuh dengan orang lain. Boleh dikata, tidak ada yang bisa kita kerjakan di dunia ini tanpa interaksi dengan manusia lain. Guna melanggengkan kerjasama itu, agama kita memberi pengaturan yang sangat apik. Secara khusus para ulama kita memuat persoalan ini dalam buku mereka, namanya “Bab Mu’amalah”.
Tapi, sering terjadi, dalam interaksi dengan manusia, kita menjadi begitu tergantung dengan mereka. Macam-macam sebabnya. Penyebab yang paling nyata yang menjadikan seseorang tidak merdeka adalah; terbelit utang. Jamak terjadi orang stres, depresi atau gila karena tidak sanggup menanggung utang yang menggunung. Bahkan ada yang sampai bunuh diri karena harus menghadapi kenyataan saat seluruh harta tersita oleh bank.
Dalam skop negara, lihatlah negara-negara Islam. Negara yang umumnya sangat kaya dengan berbagai kekayaan alam. Namun sayang, kekayaan itu tidak kunjung dinikmati penduduknya. Sebaliknya kekayaan yang melimpah itu digadaikan kepada negara-negara besar demi kepentingan individu tertentu yang memiliki utang. Saat utang mereka jatuh tempo maka kekayaan negara menjadi taruhannya. Realita seperti inilah yang menjadikan negara-negara Islam tidak berdaya menghadapi negara-negara besar.
Itulah sebabnya Rasulullah mengajarkan kita sebuah do’a. Do’a yang pantas diucapkan oleh setia muslim agar ia menjadi manusia merdeka dan tidak terbelenggu. Beliau bersabda dalam doa’nya:
“Ya Allah aku berlindung kepadamu dari sedih dan dukacita; dan dari sifat lemah dan malas; dan dari kikir dan kaku; dan dari belenggu utang dan dikuasai oleh seseorang”.
Keempat, Merdeka Dari Berbagai Pemikiran Menyimpang
Sejatinya, para pemikir Muslim berada di garda terdepan memberi solusi atas berbagai problem yang melilit ummat. Dengan tsaqaafah mereka yang mumpuni, seharusnya mereka memberi arah yang tepat dan menghalau berbagai pemikiran aneh yang menyusup di tengah ummat.
Tapi apa jadinya, jika ada seorang intelektual muslim sepert Prof. Dr. M. Qasim Mathar yang justru mengobok-obak ajaran Islam dari dalam. Alih-alih memberi taujiih justru orang seperti ini menambah deretan masalah yang dihadapi oleh ummat ini, bahkan menjadi duri dalam tubuh ummat ini.
Idealnya para pemikir Muslim adalah elit ummat paling sadar bahwa hanya Islamlah satu-satunya jalan menghadapi berbagai masalah. Namun apa lacur, mereka justru menyuntikkan racun ke dalam otak generasi muslim. Seperti ini pula yang dilakukan oleh Prof. Dr. Abdullah an-Naim, guru besar salah satu Universitas bergengsi di AS ini keliling dunia menjajakan ide-ide sekularnya ke negara-negara Islam, termasuk Sudan negeri asalnya. Tidak pelak lagi, mereka ini justru menambah urutan masalah ummat, Sama selkali tidak memberi jalan keluar.
Masalahnya, mereka selalu merasa memberi pencerahan kepada ummat. Meski sudah berulang kali diingatkan agar menyetop ide-ide gilanya, namun seperti kata pepatah “hujan deras musafir terus berjalan”. Allah ta’ala menyindir orang seperti ini dalam al-Qur’an.
Allah ta’ala berfirman,
“Apakah Anda lihat mereka yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya. Lalu Allah menjadikannya sesat karena ilmunya. Lalu Allah menutup pendengarannya, dan hatinya. Lalu Allah menutup matanya dari (dari melihat petunjuk). Lalu siapakah yang sanggup memberinya petunjuk setelah Allah menyesatkannya. (al-Jaatsiah: 23)
Apa yang disebut di atas menegaskan bahwa ada orang yang menuhankan ide-ide kufurnya. Mereka sadar bahwa pikiran-pikiranya sangat keliru, tapi karena dorongan hawa nafsu lebih besar maka jadilah hawanafsu yang dibalut dengan nama-nama keren seperti; “modernisme”,”Islam Progresif”,”Islam Liberal” dan seterusnya menjadi belenggu para pengusungnya.
Demikianlah seterusnya, bahwa merdeka itu tidak hanya ditinjau dari satu sisi saja, tapi ia harus ditinjau secara menyeluruh. Inti kemerdekaan seorang muslim terletak pada satu titik, yaitu jika ia sudah menjadikan Allah sebagai ilah satu-satunya. Ketika itu terjadi, maka segala sesuatunya kecil. Selain Allah, semuanya remeh dalam pandangan matanya. Sejak saat itulah ia merdeka dari seluruh bentuk penjajahan.
(Al Balagh Ed.98 Th.II/Sya’ban 1428 H)