Published On: Sat, Mar 23rd, 2013

Kaya Imanlah, Tak Harus Kaya Harta

Saudaraku, iman itu adalah kekayaan kita yang paling berharga. Sekiranya kita tidak memiliki kekayaan apa-apa kecuali hanya iman, maka sesungguhnya kita sudah kaya. Namun sekiranya kita memiliki kekayaan yang banyak dari harta benda yang menggembirakan, namun kita tidak memiliki iman yang benar kepada Allah, maka sadarilah sesungguhnya itu adalah kemiskinan yang besar.

Inilah yang tersirat dari sabda Rasulullah yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kaya jiwa”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Saudaraku, kata yang terakhir “kaya jiwa”, coba kita fikirkan dengan hati yang jernih, lalu hubungkan dengan sabda beliau ini yang lainnya, (yang artinya) “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang yang beriman; yaitu apabila mereka mendapatkan nikmat, maka ia bersyukur dan apabila mereka ditimpa musibah mereka bersabar.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Tentu saja tidak dimaksudkan bahwa menjadi orang kaya harta itu benar-benar tidak perlu, tapi maksud sebenarnya adalah, benar-benar kita perlu kaya iman. Karena harta di tangan orang-orang yang beriman itu akan baik, dan orang-orang yang beriman bila kekurangan harta juga akan benar-benar baik, sebab mereka punya sifat menakjubkan di atas yakni syukur dan sabar. Saudaraku, sungguh rahasia kebahagiaan itu ada pada keimanan yang benar, karena keimanan yang benar itu akan tampak nyata pada diri pemiliknya dimana mereka punya sifat menakjubkan di atas ditambah sifat merasa cukup atas rezki yang Allah anugrahkan. Beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kita, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezki yang mencukupinya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat Qona’ah(merasa cuku dan puas) dengan Rezki yang Allah berikan padanya.” (HR. Muslim).

Maka saudaraku jadilah pemilik kekayaan yang hakiki, yakni orang kaya iman di hati, yang terpatri kuat hingga tampak nyata pada diri dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sekali-sekali menjadi pengejar kekayaan semu yang tak terkendali, karena perhatikanlah dengan hati, telah betapa banyak dari mereka yang dijadikan hartanya melimpah oleh Allah, namun mereka tidak pernah merasa cukup sehingga ia terus menerus bekerja keras siang dan malam untuk menambah koleksi hartanya, sampai-sampai tak punya lagi waktu untuk shalat jama’ah di Masjid, tak punya lagi waktu untuk menghadiri Majelis Ta’lim, tak punya lagi waktu untuk belajar Al Qur’an, tak punya lagi waktu untuk mengajari anak-anaknya ilmu agama yang bermanfaat, akhlak mulia yang bermanfaat, yang bertambah parah bahkan dari mereka tidak lagi memperhatikan halal haram harta yang didapatkan. Maka dengan begitu terlihatlah ia seperti orang yang sangat miskin karena sifatnya pada dunia yang sangat rakus. Namun jadilah orang kaya iman karena iman itu akan melahirkan sifat syukur dan sabar dan terkhusus melahirkan sifat qona’ah yakni selalu merasa cukup dengan apa yang Allah rezkikan. Dengan begitu maka tampaklah Anda sebagai orang yang kaya.

Apa itu Iman yang Benar?

Saudaraku yang kucintai karena Allah, iman yang benar adalah engkau menjadikan Allah, Rasul-Nya kemudian jihad fii sabilillah lebih engkau cintai di atas segala-galanya. Itu artinya engkau lebih mengutamakan kecintaanmu pada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan Allah, daripada kepentinganmu terhadap kesenangan dunia ini. Inilah firman Allah, sebagai petunjuk bagi kita semua. (yang artinya):

“Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya, dan dari jihad di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)

Saudaraku, inilah keimanan yang benar yang kemudian akan melahirkan sifat mulia bagi kita yakni “ridha”, ridha Allah jalla wa ‘ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rasulnya. Yang terwujud dengan keikhlasan dalam beribadah, tidak menserikatkan-Nya dengan sesuatupun, mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan terlibat langsung dalam barisan orang-orang yang memperjuangkan agama Allah dengan diri dan hartanya serta waktunya.

Saudaraku, dengan keimanan yang benar seperti ini, maka akan terasalah manisnya iman. Manis yang akan membuat hati senang dan bahagia, gembira penuh suka cita. Walau mungkin ada cobaan, walau mungkin ada kesusahan, walau mungkin ada penderitaan.

Dari Al Abbas bin Abdil Mutthalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya.” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga perkara jika kalian miliki maka akan merasakan manisnya iman. (pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasullnya lebih dia cintai dari selainnya. (kedua) Mencintai hanya semata-mata karena Allah. (tiga) tidak senang kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah, sebagaimana tidak maunya dia dilempar masuk ke dalam api neraka.”

Ciri-ciri orang kaya iman dalam mencari harta

1. Rajin bekerja

Orang kaya iman sangat paham dan mengerti tentang pentingnya bekerja untuk mencukupi kebutuhan. Juga paham dan mengerti akan tercelanya berpangku tangan apalagi hidup dengan menjadi beban orang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: “Sama sekali tidak ada makanan yang dimakan oleh seseorang lebih baik dari makanan yang diperoleh dari kerja tangannya sendiri dan sesungguhnya Nabi Allah Daud juga makan dari kerja tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam hadits lain disebutkan,

“Sesungguhnya Zakariya ‘alaihi salam adalah seorang tukang kayu.” (HR. Muslim)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adam menjadi petani, Nuh menjadi tukang kayu, Idris menjadi penjahit, Ibrahim dan Luth menjadi petani, Shalih menjadi pedagang,, Daud menjadi pandai besi, Musa, Syu’aib dan Muhammad menjadi Penggembala.” (Terjemah Minhajul Qashidin, hal. 100)

Oleh karena itu orang kaya iman pasti rajin bekerja dan malu menjadi beban orang lain, karena iman mereka menuntut itu, di samping dia amat yakin akan rezki Allah yang pasti datang, selama nafas masih berhembus, selama jiwa masih di raga.

2. Berniat ibadah

Yakni niat bekerja sebagai wujud ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah telah berfirman (yang artinya), “Dan, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An Naba: 11)

“Dan, Kami adakan bagi kalian di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kalian bersyukur.” (QS. Al A’raf: 10)

Maka saudaraku, tujuan kita bekerja adalah ibadah kepada Allah, maka sungguh ini adalah sesuatu yang sangat mulia dan mengundang pahala yang tak terkira, disamping keuntungan materil yang akan menjadi kecukupan untuk dunia kita. oleh karena itu sebagai orang yang beribadah dengan kerjanya, maka tidak layak kita merusak niat itu dengan sifat tamak dan rakus. Karena sifat ini bisa menjatuhkan kita pada mengambil hak orang lain dengan cara yang batil.

Kemudian dengan niat ibadah ini maka kita tentu menjaganya dengan menjaga ibadah shalat kita lima waktu. Seorang lelaki beriman tidak boleh dihalangi oleh pekerjaannya dari berjama’ah di masjid, tidak juga dihalangi dari menghadiri majelis ilmu seperti majelis belajar al-Qur’an, ta’lim ilmu syar’i dan lebih khusus tarbiyah islamiyah yang konsisten dan berkelanjutan. Sebab bila itu terjadi pada kita maka, sungguh kita telah dilalaikan oleh dunia hingga dilupakan dari akhirat kita.

3. Tidak meremehkan syubhat

Tidak meremehkan yang syubhat dan tentunya terlebih lagi yang haram. Saudaraku tidak jarang kita mendengar ungkapan manusia yang dibisikkan oleh setan tentang ini, dimana mereka mengatakan bahwa yang haram saja sulit untuk didapatkan apalagi yang halal. Lalu berangkat dari perkataan ini maka akhirnya mereka kehilangan kewaspadaan pada yang syubhat dan bahkan akhirnya menerjunkan dirinya pada yang haram. Sungguh benar-benar ini adalah tipu daya setan. Dengarlah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, “Yang halal itu telah jelas dan yang haram itu pun telah jelas, dan diantara keduanya ada yang musytabihat (samar-samar).”(HR. Bukhari dan Muslim)

Maka dalam menghindari syubhat, ikutilah langkah-langkah berikut ini.

1. Jauhi semua yang telah difatwakan haram oleh Ulama.

2. Jauhi perkara-perkara yang meragukanmu akan hukumnya apakah halal atau haram. Inilah pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkan hal-hal yang membuatmu ragu dan beralihlah pada yang tidak meragukanmu”.

3. Jauhi hal-hal yang halal bila khawatir dapat menjatuhkanmu pada yang haram. Untuk poin ini, kami anjurkan saudara untuk membaca buku Minhajul Qhasidin oleh Al Imam Ibnul Jauzi rahimahullah karena dibahas dengan jelas untuk kita disana dari hal. 107-111.

Demikian saudaraku, apa yang bisa saya sampaikan dalam kesempatan ini, dengan harapan nasehat ini bisa menambah semangat kita -terutama untuk kami pribadi- untuk semakin memperkaya hati kita dengan iman dan menjaganya hingga di hari dimana tidak bermanfaat anak-anak dan harta kita, yakni hari akhir. Tentu saja dengan senantiasa mengharapkan taufik dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala menambahkan ilmu dan keimanan dan menerima amal-amal ibadah kita. Wallahu a’lam.

Abu Hijaz Al Makassari

About the Author