Published On: Fri, Mar 15th, 2013

Jangan Jadi Orang Bangkrut!

Seorang pedagang di suatu toko, omzet penjualannya turun, pembeli dari hari ke hari semakin berkurang, bahkan tidak ada, dalam keadaan seperti itu dia menurunkan harga barang dagangannya sampai hampir di bawah harga modal demi melariskan dagangannya agar dapat uang untuk melunasi sewa tokonya. Jika kejadian tersebut berlangsung terus menerus maka modalnya akan habis dan bisa dipastikan pedagang tersebut akan bangkrut alias pailit.

Gambaran di atas adalah contoh orang bangkrut yang ada di kepala kita. Alih-alih mendapat untung malah modal tak urung buntung. Setidaknya begitu juga mungkin gambaran pertama yang ada di pikiran Sahabat Rasulullah ketika ditanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang siapa orang yang muflis (bangkrut). Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang yang bangkrut itu tidaklah seperti apa yang kita pahami. Orang yang bangkrut menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti apa yang diberitakan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut (pailit) itu? Maka mereka (para sahabat) menjawab: orang yang pailit di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan: “orang yang pailit dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya) dia telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu dan telah memukul orang lain (dengan tidak hak ), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, maka apabila kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya (kepada orang lain ), maka kesalahan orang yang didzalimi di dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka. (HR. Muslim).

Begitulah yang sampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang bangkrut itu adalah orang yang intinya adalah orang yang ketika di dunia ia shalat, puasa dan membayar zakat tetapi pernah menganiaya orang lain. Dan karena aniayanya itu semua amal kebaikannya ketika di dunia akan habis, modal amal kebaikan yang dibawanya tidak bersisa untuk membayar kepada orang yang dianiayanya ketika di dunia. Ketika habis semua modal pahala itu masih juga dilimpahkan dosa dari orang-orang yang lainnya yang dianiayanya. Yang pada akhirnya orang tersebut dimasukkan kedalam neraka. Sebuah kesusahan yang tak berguna lagi penyesalan.

Dari hadits di atas, kita bisa simpulkan bahwa bangkrut di akhirat tidaklah sama dengan bangkrut di dunia. Jika di dunia, bangkrut identik dengan harta, maka bangkrut di akhirat berkaitan dengan amalan kita, entah itu kebajikan atau keburukan.

Seseorang akan dinyatakan bangkrut di akhirat jika amal kebajikannya tidak hanya habis untuk ‘membayar’ kejahatan yang dia lakukan, namun dia harus mendapat ‘sumbangan’ amal keburukan dari orang-orang yang pernah dia aniaya/perlakukan tidak baik.

Di dunia ini, mungkin banyak orang-orang yang merasa kuat dapat membebaskan diri mereka dari jeratan hukum akibat perbuatan dzalim mereka terhadap orang lain, baik berupa hutang, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan oleh Allah, mencaci maki orang lain dan sebagainya, namun tidak demikian dengan hukum dan keadilan yang Allah tegakkan di hari kiamat kelak, pada saat itu tidak seorang-pun yang dapat membebaskan diri dari kesalahannya selama di dunia yang dia tak pernah bertaubat dan menyesalinya, orang yang mereka dzalimi datang kehadapan Allah mengadukan kedzaliman orang tersebut sedang ia bergantung dengan kepala saudaranya sambil berkata : wahai Tuhan-ku tanyakan kepada orang ini (yang telah membunuhku) kenapa dia telah membunuhku di dunia? Dan sebagainya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada ummatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf)nya sekarang juga sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayaannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dianiaya untuk ditanggungkan kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim).

Oleh karena itu, segeralah kita membebaskan diri kita dari mendzalimi orang lain, penuhilah setiap yang mempunyai hak akan haknya, dan jangan menunggu hari hari esok karena tidak seorangpun yang mengetahui akan keberadaannya di esok hari.

Ghibah bikin bangkrut

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa kebangkrutan bisa terjadi karena amal baik kita habis dipakai untuk membayar dosa-dosa yang kita lakukan terhadap orang lain yang belum sempat minta maaf dan dimaafkan. Bisa jadi seseorang yang rajin beribadah, banyak amalnya, tapi di akhir tetap bangkrut, karena selain beribadah ia juga rajin berbuat dosa, bukan hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia. Justru perbuatan salah dan dosa kepada manusia inilah yang seringkali menyulitkan kita, karena untuk menebusnya tidak cukup dengan bertaubat, tapi harus berhadapan langsung dengan yang bersangkutan untuk meminta maaf. Lebih parah lagi kalau kita melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak kita sadari bahwa sesungguhnya perbuatan kita tersebut berdosa, seperti melakukan ghibah. Kalau ini terus kita lakukan, sampai tiba saatnya kita meninggal dan belum sempat meminta maaf kepada orang yang pernah kita pergunjingkan, siap-siap saja kita akan menjadi orang yang bangkrut. Semua amal baik kita digunakan untuk membayar semua kesalahan kita kepada orang lain, dan bahkan mungkin tidak cukup, sehingga dosa-dosa orang lain harus kita tanggung sebagai pengganti dosa kita kepada mereka.

Dalam surat al-Hujurat, Allah melarang kita mencari-cari kesalahan sesama muslim, seperti manusia pemakan bangkai.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujurat: 12)

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman, supaya mereka menjauhkan diri dari su’uzhon (prasangka buruk) terhadap orang-orang beriman. Jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari saudaranya yang mukmin maka kalimat itu harus diberi tanggapan dan ditujukan kepada pengertian yang baik, jangan sampai timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan penyebab wajibnya orang mukmin menjauhkan diri dari prasangka yaitu karena sebagian prasangka itu mengandung dosa.

Mengenai definisi ghibah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci. “Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila yang diceritakannya itu benar ada padanya? “Rasulullah menjawab, “Kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar engkau berbuat buhtan (dusta).” (HR.Muslim, Tirmizi, Abu Daud, dan Ahmad).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecam orang yang suka ghibah dan mencari-cari kesalahan orang. Diriwayatkan oleh Abi Barzah al-Islami, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman itu belum masuk juga dalam hatinya, jangan sekali-kali kamu berghibah (bergunjing) terhadap kaum muslimin dan jangan sekali-kali mencari noda atau auratnya. Karena barang siapa mencari-cari noda mereka, maka Allah akan membalas pula dengan membuka noda-nodanya. Dan barang siapa yang diketahui kesalahannya oleh Allah, niscaya Dia akan menodai kehormatannya dalam lingkungan keluarganya sendiri.”

Ghibah seringkali dilakukan tanpa kita rasakan, bahkan sekarang menjadi hiburan yang dikemas dalam tayangan-tayangan infotainment. Sebagai orang yang peduli dengan akhirat, maka sudah seharusnya kita menjauhkan diri dan keluarga kita dengan tayangan semacam itu. Mungkin kita berkilah bahwa kita hanya sekedar menonton, tapi secara tidak langsung kita telah memberi andil dan paling minimal ridha dengan perbuatan ghibahnya, belum lagi efek negatif dari gosip-gosip tersebut.[ZL]

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author